Unijoyo Bangun Gedung Tertinggi di Madura

Untuk Gedung Rektorat Unijoyo

Universitas Trunojoyo Madura (Unijoyo) punya proyek besar. Universitas negeri satu-satunya di Madura ini membangun gedung 10 lantai untuk pelayanan administrasi yang nantinya akan dikenal sebagai Gedung Rektorat. Gedung ini sementara akan menjadi gedung tertingi di Madura sebelum ada gedung lain dibangun lebih tinggi.

Tak tanggung-tanggung pembangunan gedung tersebut akan menelan dana sebesar Rp 105 miliar. Dana tersebut datang dari menteri pendidikan nasional (Mendiknas) melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Diprediksi pembangunannya baru akan selesai lima tahun mendatang.

Pembangunan gedung tersebut diresmikan kemarin usai melantik pimpinan baru di lima fakultas di Unijoyo. Peresmiannya dilakukan langsung oleh Rektor Unijoyo Prof DR H Ariffin MS.

"Gedung ini dibangun berdasarkan hasil evaluasi inspektorat dirjen dikti. Menurut mereka, situasi administrasi rektorat yang ada sekarang ini tidak layak. Bahkan, mereka menyebutnya seperti pasar yang begitu padat," ungkap Ariffin saat memberi sambutan. Sehingga, sambungnya, kondisi demikian membuat pekerjaan administrasi tidak bisa optimal dan sering terganggu.

Berdasarkan hasil evaluasi tersebut dirjen dikti membuat rekomendasi pada Mendiknas. Rekomendasi itu berbalas, selanjutnya dirjen dikti dipercaya untuk merealisasikan proyek besar itu.

Seperti rencana awal, gedung tersebut akan dibangun setinggi 10 lantai. Total luasnya 18 ribu meter persegi dengan besar pembiayaan mencapai Rp 105 miliar. Sebagai penunjang pembangunan gedung tersebut, senat kampus juga telah memutuskan Unijoyo jadi Kampus Tanean Lanjang. "Jadi, akan ada jalan terusan mulai dari depan kampus hingga gedung rektorat ini," jelas Ariffin.

Jadwal penyelesaian gedung tersebut lima tahun. "Tapi, itu semua bergantung pada kondisi ekonomi Indonesia. Ini-lah tujuan saya mengajak para pimpinan fakultas dan semua bagian datang ke acara ini. Saya berharap semua berdoa agar gedung ini bisa selesai cepat dan tepat," tuturnya.

Menurut Ariffin, selain untuk memenuhi kebutuhan, gedung tersebut diharapkan dapat meningkatkan kebanggaan warga kampus. "Kampus ini tidak lagi mewah (mepet sawah, Red) tapi akan menjadi kampus yang megah. Saya harap siapa pun memiliki kebanggaan ada di kampus ini," ungkapnya.

Ditambahkan, saat ini Unijoyo juga tengah memenuhi kebutuhan ruang kuliah. Sebab, setiap tahun makin banyak minat untuk masuk kampus tersebut. "Tahun ini kita hanya menerima sepertiga mahasiswa yang mendaftar. Itu sudah membuat mahasiswa kuliah sampai pukul delapan malam. Mudah-mudahan semua kebutuhan itu secara bertahap bisa kami penuhi," harapnya.

Sebelumnya peresmian, Ariffin melantik lima pimpinan fakultas dan memberhentikan dengan hormat pimpinan sebelumnya. Mereka yang dilantik sebagai pimpinan baru di antaranya DR Drs Suryo Tri Saksono MPd sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Drs H Kaswan Badami MSi dekan Fakultas Pertanian, DR H Moh. Nizarul Alim SE MSi Ak dekan Fakultas Ekonomi, Yudi Widagdo Harimurti SH MH sebagai dekan Fakultas Hukum dan Ir H Soeprapto MT. (nra/*)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 30 Oktober 2009

Label: , , ,

Iniyatul Jannah: Juara Pidato Bilingual

Grogi sebelum Tampil, Ragu saat Juri Umumkan Pemenang

Ada siswa yang benar-benar mendalami penguasaan Bahasa Inggris. Bahkan, lebih cepat daripada berbahasa Indonesia. Salah satunya Iniyatul Jannah, siswi SMAN 2 Pamekasan, yang diuji kemampuan bilingualnya di Surabaya. Pada lomba yang digelar CICS (Centre for Indonesia Communities Studies), Iniyatul merebut peserta terbaik dari Madura dan peringkat ketiga Jatim.

PADA 28 Oktober, Pamekasan mengirim siswi SMAN 2 untuk mengikuti lomba pidato (bilingual) di Balai Pemuda Surabaya. Lomba ini diikuti 80 peserta dari SMA/SMK/MA se Jatim. Di dalam lomba ini, siswa mengintegrasikan sejarah, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Semua peserta diuji kompetensi kesejarahan (nasionalisme) dan kebahasaan dalam waktu yang bersamaan.

Ketika ditemui di sekolahnya kemarin, Iniyatul mengaku kelelahan. Sebab, sejak sepekan terakhir dia mempersiapkan bahan pidato. Ketika di Surabaya pun, siswi kelas XII-IPA ini bertarung dalam kondisi lelah dan kantuk. Sebab, lomba digelar mulai pukul 08.00 hingga 21.00.

Semula dia tidak berpikir menjadi tiga besar dalam lomba yang diikuti siswa dari berbagai sekolah unggulan setingkat SMA/SMK/MA di Jatim. Iniyatul sempat grogi ketika menyaksikan penampilan siswa-siswi dari SMA favorit Surabaya. Usai sidang juri, dia nyaris tidak percaya ketika juri menyebutnya sebagai the big three (tiga besar) dalam lomba ini. "Benar-benar tidak nyangka (menang)," akunya.

Menurut dia, guru pembina di sekolahnya telah menyiapkan keberangkatannya selama sepekan. Dia juga dituntut kembali mengingat kosa kata dan struktur bahasa yang harus diintegrasikan dengan sejarah.

Dalam lomba ini, terangnya, penyelenggara menggabungkan tiga bidang studi dalam satu kali pidato. Itu agar remaja tidak mudah lupa terhadap sejarah bangsanya meski belajar bahasa asing di satu sisi. "Pelaksanaannya kan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda," ujarnya.

Kepala SMAN 2 Pamekasan Muyanto mengaku bangga dengan prestasi yang diraih siswinya. Dia menilai kemenangan ini bukan hanya keberhasilan siswi dan sekolahnya. Menurut dia, itu kemenangan Pamekasan secara umum.

Menurut dia, sekolahnya memiliki kebiasaan untuk memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi. "Jangan dilihat apa hadiahnya, tapi substansinya kan apresiasi kepada siswa berprestasi," tuturnya.

Dukungan moral juga diberikan dinas pendidikan (disdik). Kepala Disdik, Achmad Hidayat, menilai kemenangan pidato (bilingual) yang diraih Pamekasan menguatkan hasil riset. Dalam riset disdik, penguasaan bahasa asing siswa menunjukkan tren positif. Ada siswa yang lebih lancar berbahasa Inggris dibanding bahasa ibunya. "Semoga siswa yang lain termotivasi untuk menguasai bahasa asing," dia berharap. (ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 30 Oktober 2009

Label: , , , ,

Air Goa Payudan Dipercaya Sebagai Obat

Air Gua Payudan Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Madura dipercaya sebagai obat segala macam penyakit. Air itu menetes dari batu yang berbentuk naga dan buaya setiap 5 detik sekali.

Setiap pengunjung gua yang ingin mendapatkan air itu sangat mudah. Hanya minta izin untuk mengambil air yang sudah ditampung di sebuah drum. Apalagi, penjaga gua sudah menyediakan dalam bungkusan plastik kecil.

Konon, Gua Payudan tersebut sebagai tempat semedi para pendekar atau raja-raja Sumenep tempo dulu. Bahkan, gua tersebut tempat memperdalam ilmu putri keraton yakni Potre Koneng yang sampai saat ini tetap menjadi cerita setiap kali membicarakan sejarah keraton Sumenep.

Warga Sumenep dan umumnya masyarakat Madura percaya jika tetesan air dari Gua Payudan dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Bahkan, tetesan air yang sangat jernih dan dingin itu diyakini menambah aura kecantikan layaknya yang disandang Potre Koneng yang termasyhur ke pelosok daerah pada tempo dulu.

Salah seorang penjaga Gua Payudan, Slamet (52) mengatakan sejak dulu warga mempercayai tetesan air itu mengandung khasiat penyembuhan yang luar biasa. "Warga percaya akan menyembuhkan 1001 jenis penyakit dengan izin yang maha kuasa," kata Slamet saat ditemui di gua, Senin (26/1/2009).

Bahkan, kata dia, pengunjung pun ada yang bermalam di dalam gua. Mereka ingin mendapatkan wangsit untuk kepentingan usahanya. Kesan yang sering disampaikan pada penjaga goa, selain penyakit yang diderita bisa sembuh juga segala macam hajatnya banyak yang dikabulkan.

Pengunjung Goa Payudan ini terlihat banyak jika pada hari Jumat dan Mingggu atau waktu liburan seperti saat ini. Mereka datang dari berbagai daerah. Dari sekitar lokasi gua, pengunjung juga dapat menikmati keindahan sebagian wilayah Sumenep, karena berada di dataran sangat tinggi.

Sumber: MaduraExplore, Senin, 28 September 2009

Label: , ,

Batik Madura Tempo Dulu

Raden Roro Siti Maimuna, desainer sekaligus kolektor batik kuno ini tinggal di Bangkalan, Pulau Madura. Wanita 37 tahun ini sangat dikenal kalangan pejabat dan pengelola museum. Baik di Indonesia maupun luar negeri seperti di Jepang.

Dia punya lima batik kuno buatan perajin batik di Kecamatan Tanjung Bumi, Bangkalan. Karena itu, koleksi batik kunonya tersebut sering dipinjam untuk dipamerkan di hadapan khalayak.

Oleh TAUFIQURRAHMAN

Dari mana Mei [sapaan akrab Siti Maimuna] memperoleh batik kuno tersebut? Ternyata, wanita ini beruntung mendapat warisan dari buyutnya. Dengan koleksi batik warisan itu, dia mendapat kesempatan untuk memamerkannya hingga ke luar negeri.

Koleksi batik kunonya tersebut ada yang berumur 200 tahun. ”Saya punya lima batik yang usianya 200 tahun. Penetapan umur batik itu bukan saya yang menentukan. Tapi berdasarkan hasil penelitian Museum Tekstil di Jakarta,” kata Mei.

Penetapan umur batik buatan pengrajin di Tanjung Bumi ratsuan tahun lalu itu, jelasnya, didasarkan bahan kain serta pewarna yang dijadikan bahan untuk membatik. ”Untuk pewarnanya alamiah semua. Bahan dari nila. Ada yang menyebutnya tom atau daun tarum,” jelasnya.

Kelima koleksi batik yang dimilikinya adalah jenis mano’ juduh tarpotè kellèngan, tarpotè bangan, burubur”, rawan mèra”, tana pasèr mèra. Semuanya berusia 200 tahun.

Dari koleksi itu, jenis mano’ juduh tarpotè kellèngan yang banyak diminati para kolektor dan pemilik museum. ”Ada yang menawar Rp 60 juta. Tapi tidak saya jual, karena itu warisan dari buyut saya,” ujarnya.

Menurut Mei, kain batik berupa sampèr atau kain panjang dipercaya oleh banyak orang memiliki kekuatan mistik. ”Dulu, kain batik ini sering dipinjam orang kalau ada ibu-ibu kesulitan saat melahirkan. Biasanya, kain (batik) ini dililitkan ke perut sang ibu agar bisa melahirkan dengan lancar,” kenangnya.

Selain koleksi lima batik kuno tersebut, Mei juga memiliki 300 kain batik kuno lain yang usianya di atas 40 tahun. Namun, koleksinya banyak yang dipinjam pemilik museum atau peneliti batik. Sebut saja Prof Tozu dari Jepang. Dia meminjam 85 koleksi batik kuno Mei untuk diteliti. Juga Okawa, pengelola graha budaya di Jepang, meminjam 200 lembar kain batik kuno untuk dipamerkan.

"Ada dua kain batik usia 120 tahun yang telanjur saya jual Rp 48 juta. Jenisnya sik melayah [Tasikmalaya] dan laskalasan [binatang hutan]. Maunya tidak saya jual, tapi terpaksa dijual untuk koleksi museum,” jelas kolektor yang mengaku masih punya garis keturunan dari Rato Ebhu ini.

Ketika ditanya dari mana dia memperoleh batik kuno tersebut, Mei mengaku memburu dari saudara dan kerabatnya. Sebab, orang tuanya juga punya banyak koleksi batik kuno peninggalan zaman kerajaan di Bangkalan tempo doeloe.
Selain itu, Mei memperoleh batik kuno dari hasil berburu langsung kepada masyarakat dan perajin di kawasanTanjung Bumi. ”Semua koleksi saya merupakan batik Tanjung Bumi,” katanya

TAUFIQURRAHMAN, Wartawan Radar Madura

Sumber: MaduraExplore, Minggu, 01 Maret 2009

Label: ,

Waspada Klaim Atas Aset Budaya Bangsa

Sekedar mengingatkan, bahwa ada artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan/atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain


Sumber: Alang-lang - Milangkori, 24/08/2009

Label:

Madura Jadi Pusat Informasi Kesejarahan

Warisan budaya di Madura dianggap memiliki nilai sejarah yang tinggi. Hal itu menjadi salah satu pertimbangan untuk menjadikan Pulau Madura sebagai pusat pengembangan sistem informasi kesejarahan.

"Kerajaan Sumenep di Pulau Madura merupakan salah satu kerajaan Islam dari berbagai kerajaan Islam di Nusantara. Ini bukti, bahwa Sumenep merupakan salah satu wilayah yang memiliki nilai historis dalam sejarah yang tinggi dalam dunia Islam," ujar Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Pemprov Jatim, Sudjono MM, saat menerima rombongan press tour Pengembangan Sistem Informasi Kesejarahan Melalui Publikasi Warisan Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, di Kantor Gubernur Jatim, Selasa (8/9).

Menurut dia, sejarah Sumenep di masa lalu diperintah oleh raja. Ada 35 raja yang telah memimpin Kerajaan Sumenep. Sekarang dipimpin oleh seorang bupati dan telah ada 14 bupati yang memerintah di Sumenep. Salah satu tokoh Madura yang populer dalam sejarah adalah Arya Wiraraja yang dilantik sebagai adipati pertama Sumenep pada 31 Oktober 1269 yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep.

Sudjono berharap, dengan Pengembangan Sistem Informasi Kesejarahan Melalui Publikasi Warisan Sejarah, akan mampu mengurangi angka pengangguran di Jatim. ”Silakan lakukan publikasi warisan sejarah dengan baik, asal tidak mengurangi nilai sejarah yang ada dan tidak mengurangi nilai adat ketimuran yang selama ini menjadi kultur bangsa Indonesia,” tambahnya.

Kepala Sub Direktorat Nilai Sejarah Dirjen Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, Sri Suharni MM, selaku ketua rombongan, mengatakan kegiatan press tour Pengembangan Sistem Informasi Kesejarahan Melalui Publikasi Warisan Sejarah dimaksudkan untuk meningkatkan peran media cetak dan elektronika dalam menyebarluaskan informasi nilai-nilai sejarah di wilayah Madura melalui publikasi media cetak dan elektronik.

Lingkup kegiatan dan daerah yang akan dikunjungi, yakni Sumenep meliputi Benteng Peninggalan Belanda, Gedung Sentral Garam, Makam Asta Tinggi, Masjid Jami dan Keraton Sumnep. Pamekasan, meliputi kompleks Makam Astadaja/Panembahan Ronggo Sukowati, Buju Gayam, Makam Batu Ampar dan Makam Kosambi. Sampang, meliputi Makam Ratu Ibu, Makan Panji Laras, Makam Sento Merto, Sumur Daksan. Bangkalan, meliputi Makam Blega, Museum Bangkalan, Mercusuar 1879, Makam Agung Aros Baya, dan Makam Aermata Ibu. (tok/rif)

Sumber: Republika, Selasa, 08 September 2009

Label: , , , ,

Ikamra Tolak Hiburan Malam di Madura

Ikatan Masyarakat Madura (IKAMRA) menyambut gembira peresmian jembatan Suramadu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Rabu (10/6). Meski demikian, IKAMRA menolak masuknya hiburan malam dan panti pijat di kawasan Pulau Madura, Jatim.

Menurut Ketua IKAMRA, Ali Badri Zaini, hiburan malam akan menjadikan Madura dipenuhi kegiatan maksiat. Hal ini tentu saja akan memengaruhi religiusitas warga Madura yang selama ini sudah dikenal masyarakat luas.

Ia tak menolak rencana pemerintah untuk mengembangkan Madura sebagai kawasan industri. Untuk itu, ia minta agar warga Madura ikukt dilibatkan dalam proses industrialisasi supaya perkembangan ekonomi Madura tak salah arah.

"Jangan sampai dalam kurun waktu 10-20 tahun ke depan hiburan malam bertebaran di Madura. Apalagi jika masyarakat Madura hanya akan jadi penonton seperti halnya masyarakat Betawi. Dengan dioperasikannya Jembatan Suramadu, ini sekaligus menjadi tantangan masyarakat Madura, terutama kesiapan sumber daya manusia, untuk terlibat aktif dalam seluruh proses pengembangan wilayah," ungkap Ali Badri.

Sebagai bentuk kontribusi yang diberikan Ikamra setelah beroperasinya jembatan Suramadu, Ikamra akan meningkatkan potensi budaya Madura dari empat kabupaten yang ada di pulau Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep).

"Kita mengagendakan kegiatan di Madura dan di Surabaya dalam waktu dekat ini. Kita tampilkan beragam budaya yang ada di Madura agar lebih dikenal oleh masyarakat luas," ujarnya. (uki/rif)

Sumber: Republika, Rabu, 10 Juni 2009

Label: , ,

Hentikan Kekerasan dalam Karapan Sapi

Para pemuda rantau dan tokoh Madura meminta kekerasan dalam lomba karapan sapi dihentikan, karena tergolong bentuk penyiksaan terhadap satwa.

"Kesan yang timbul di kalangan masyarakat luar Madura saat ini, karapan sapi yang selama ini digelar penuh dengan penyiksaan," kata tokoh muda Madura, Sulaisi Abdurrazak, Selasa.

Membacokan paku ke pantat sapi dengan tujuan supaya larinya kencang, merupakan tindakan penyiksaan. Seharusnya, kata Ketua "Central for Regiligion and Political Studies" (Centris) ini, hal itu tidak dilakukan.

Disamping menyimpang dari nilai kemanusiaan, agama juga melarang adanya penyiksaan terhadap hewan. Ia juga meminta pemerintah dan para ulama di Madura tidak tinggal diam dalam menyikapi persoalan tersebut.

"Sebenarnya, tanpa membacokkan paku ke pantat sapi, sapi akan tetap bisa lari," katanya.

Mahasiswa strata dua (S2) Universitas Indonesia (UI) yang juga mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Pamekasan ini menyatakan, karapan sapi merupakan aset tradisi dan kebudayaan peninggalan leluhur yang perlu dilestarikan.

"Oleh sebab itu, peninggalan budaya itu harus terjaga dan terpelihara. Jangan dikotori dengan penyiksaan seperti membacokkan paku di pantat sapi sebagaimana sering dilakukan dalam lomba karapan sapi akhir-akhir ini," ujarnya.

Sebagian masyarakat luar Madura, sambung Sulaisi, saat ini berkembang anggapan bahwa karapan sapi adalah bentuk penyiksaan hewan yang dilegalkan. "Ini kan akhirnya mencemarkan nama baik Madura," katanya menegaskan.

Menyimpang dari Agama

Hal yang sama juga disampaikan mantan Bupati Probolinggo dan Jombang, Soedirman.
Mantan Bupati di dua kabupaten kelahiran Pamekasan, Madura ini menyatakan, bentuk penyiksaan terhadap sapi karapan yang akhir-akhir ini dilakukan dalam setiap pelaksanaan karapan sapi, sebenarnya merupakan tindakan yang sangat tidak 'peri kebinatangan' dan menyimpang dari ketentuan agama.

"Oleh sebab itu, saya titip kepada para kepala daerah yang ada di Madura ini, jangan biarkan penyiksaan terhadap sapi karapan kembali terjadi pada pelaksanaan karapan sapi di masa-masa yang akan datang," katanya.

Menurut sejarawan Pamekasan, Sulaiman Sadik, sebenarnya karapan sapi pada awalnya tanpa penyiksaan sebagaimana yang telah terjadi sekarang ini. "Dulu karapan sapi ini hanya menggunakan cemeti dan dikenal dengan 'karapan salaga'," katanya.

Salaga merupakan alat untuk membajak sawah yang ditarik oleh sapi. Karapan salaga ini diperkenalkan oleh Pangeran Katandur, yakni tokoh ulama yang dikirim oleh Sunan Kudus ke Madura. Pangeran Katandur sendiri merupakan nama julukan dari Sayyid Ahmad Baidawi, cucu dari Sunan Kudus.

Dalam perkembangannya karapan salaga ini berubah menjadi karapan keleles. Yakni karapan sapi dengan menggunakan 'keleles' seperti yang berlaku hingga saat ini.

Menurut Sulaiman Sadik, perubahan dari karapan salaga ke karapan keleles ini karena saat ini terjadi kekeringan di Madura dan semua tanah kering.

"Jadi kalau jaman dulu sejak diperkenalkan oleh Sayyid Ahmad Baidawi atau Pangeran Katandur, karapan ini memang tanpa penyiksaan. Baru akhir-akhir ini saja yang ada unsur penyiksaan dengan alasan agar larinya kencang," katanya.

Selain membacokkan paku ke pantat sapi agar larinya lebih kencang, pemilik sapi karapan biasanya juga mengoleskan balsem ke mata sapi dan sekujur tubuhnya dengan tujuan yang sama, yakni sapi bisa berlari kencang. (ant/ahi)

Sumber: Republika, Selasa, 29 September 2009

Label:

Bahasa Madura Nyaris Punah


Bahasa Madura mulai ditinggalkan oleh masyarakat, bahkan pemakaian Bahasa Madura nyaris punah ditelan perkembangan zaman seperti sekarang ini.Hal tersebut disampaikan penulis Kamus Lengkap Bahasa Madura, Adrian Pawitra, Sabtu, saat peluncuran karyanya di salah satu rumah makan, Jalan Raya Soekarno-Hatta, Bangkalan.

"Saat ini Bahasa Madura mulai punah. Masyarakat Madura sendiri jarang sekali memakai Bahasa Madura dalam berkomunikasi sehari-hari," terang Adrian .

Menurut Adrian, hal itu terbukti dari warga Madura yang telah kawin silang dengan suku Jawa. Kemudian ketika anaknya lahir diajari Bahasa Indonesia. Sehingga keberadaan Bahasa Madura sangat memprihatinkan."Padahal Bahasa Madura sendiri merupakan bahasa paling besar keempat di negara Indonesia," ungkapnya.

Sehingga, sambung Adrian, berbekal kekhawatiran akan punahnya Bahasa Madura tersebut, pihaknya mencoba membuat Kamus Lengkap Bahasa Madura dengan 13.500 kosa kata. "Saya rasa dengan adanya Kamus Lengkap Bahasa Madura bisa melestarikan Bahasa Madura dan menambah minat orang untuk memakai Bahasa Madura," ucapnya.

Adrian menjelaskan, Kamus Lengkap Bahasa Madura berisi tentang kata-kata Madura lalu diterjemahkan dengan bahasa Indonesia. Sehingga masyarakat yang membacanya mudah paham terhadap arti dari kata Madura tersebut.

"Di samping takut punah, saya juga ingin Kamus Bahasa Madura ini juga berjejer di gerai toko buku dengan kamus-kamus bahasa yang lain seperti bahasa Inggris dan Arab," ucapnya.

Ia menambahkan, dengan diluncurkannya Kamus Lengkap Bahasa Madura yang lengkap dengan ejaan dan berjumlah 739 halaman, bisa bermanfaat bagi khalayak, khususnya warga Madura sendiri."Saya kira guru sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) serta muridnya harus punya Kamus Lengkap Bahasa Madura ini. Dan untuk peluncuran perdana, kami mencetak sebanyak 5.000 buah," urainya.

Ancaman akan punahnya bahasa Madura juga diakui sejumlah pihak di Madura. Bahkan dalam Kongres I Bahasa Madura yang digelar pada 15 hingga 19 Desember 2008 di Kabupaten Pamekasan, direkomendasikan agar Bahasa Madura dimasukkan sebagai pelajaran tersendiri mulai dari tingkat SD hingga tingkat perguruan tinggi. (ant/kpo)

Sumber: Republika, Sabtu, 15 Agustus 2009

Label: , , , ,

Campor Khas Sumenep

Foto: Moh Hartono Sumenep

Bagi pencinta kuliner tidak ada salahnya mencoba menu satu ini. Namanya Campor. Makanan ini berasal dari Sumenep salah satu kabupaten di Pulau Madura. Masyarakat setempat menyebutnya begitu karena panganan ini terdiri dari campuran berbagai macam bahan.

Ada ketela pohon, lontong, daun bawang serta tulang muda sapi dan mie soon. Ketika disajikan bahan itu dicampur menjadi satu. Daun bawang dipotong kecil-kecil kemudian ditaburi di atas makanan itu. Makanan ini rasanya gurih karena disirami dengan santan cair.

Tertarik ingin mencobanya, mampirlah ke warung makan milik Ettus berada di Pandian Kota. Lidah para penikmat makan enak akan tergoda ketagihan.Harga yang ditawarkan juga terjangkau kocek. Satu porsi dijual dengan harga Rp 3.000. Jikalau menambah menu lainnya seperti telur ayam kampung, krupuk dan air mineral, pembeli membayar Rp 5.000.

"Alhamdulillah, setiap harinya bisa meraup keuntungan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga," ujar Ettus kepada detiksurabaya.com, Senin (19/10/2009). (wln/wln)

Sumber: detikSurabaya, Senin, 19/10/2009

Label: , ,

Buka Mailing Pos di Sekretariat Kabupaten

Pemerintah Kabupaten Gandeng PT Pos Indonesia

Untuk meningkatkan pelayanan dan memermudah konsumen, Pemkab Pamekasan dan PT Pos Indonesia menjalin kerjasama. Kesepakatan berbasis kinerja itu dipastikan hari ini diresmikan. Program diberi nama Mailing Pos. Lokasinya di Sekretariat Kabupaten (Setkab).

Peresmian akan dihadiri sejumlah pejabat PT Pos Indonesia Jawa Timur. Seperti, Kepala Kanwil Jatim T. Widodo dan seluruh pimpinan PT Pos se Madura. Mailing Pos akan diresmikan Bupati Kholilurrahman.

T. Widodo mengatakan, perusahaannya tak hanya sebagai 'tukang antar surat'. Namun, BUMN yang dikelolanya meliputi sejumlah bidang bisnis, seperti logistik dan jasa keuangan. Bahkan, menuut dia, dengan lebih dari 3.500 outlet, PT Pos Indonesia adalah mitra perbankan yang handal.

"Mailing Pos yang akan dibuka di Setkab tersebut merupalan terobosan kami dalam pelayanan pos. Sebab, Pos merupakan perusahaan yang selalu mengikuti perkembangan teknologi, terutama di dunia bisnis," katanya saat ditemui koran ini kemarin.

Dijelaskan, dengan teknologi IT, single entry dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Single entry merupakan program cara mudah untuk masyarakat. Jika sebelumnya harus melalui sejumlah meja, kini hanya di satu meja sudah selesai.

"Nanti surat yang diterima di front liner sudah tercatat dengan barcode reader dan masuk dalam sistem komputer. Sekarang surat dicatat di front liner, lalu dicatat lagi di bagian lain," urainya.

Acara launching hari ini dimulai pukul 09.00. Bakal dikenalkan berbagai produk, mulai dari sistem yang hanya menggunakan pesan pendek (SMS) hingga email.

"Obsesi kami bahkan ingin merealisasikan kartu TKI (tenaga kerja Indonesia) yang sekaligus dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Namun, sampai saat ini belum ada koordinasi yang baik antara perusahaan pengirim tenaga kerja, Departemen Tenaga Kerja, dan PT Pos Indonesia," terangnya.

Mailing Pos juga berfungsi sebagai layanan kirim uang, terutama melalui wesel. "Sistem kerjanya jauh berbeda dengan bank yang harus dilakukan account to account atau cash to account. Artinya, dengan Mailing Pos itu semua pelayanan bisa dilakukan disana," tuturnya.

Sementara itu, Bupati Kholirahman menyambut baik adanya program tersebut. "Dengan adanya program kerjsama ini, mudah-mudahan tugas-tugas yang membutuhkan bantuan jasa Pos semakin lancar dan optimal," katanya didampingi Kabag Humas dan Protokoler, Fadjar Santosa. (nam/*)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 19 Oktober 2009

Label: ,

Tuntut Salsabila Bubar

Puluhan Warga Pabian Demo

Gejolak terhadap Yayasan Salsabila yang sempat dijadikan tempat mengajar Aris, tersangka teroris yang menyerahkan diri ke polisi, selama tiga tahun (2006 - 2009), belum reda. Bahkan, kemarin (17/10) puluhan warga Desa Pabian, Kecamatan Kota Sumenep, demo di kantor Salsabila.

Massa membawa sejumlah poster yang tulisannya mengecam keberadaan teroris di Sumenep. Mereka menuntut agar Yayasan Salsabila dibubarkan, jika hanya mengganggu keamanan dan kenyamanan kehidupan bermasyarakat di Desa Pabian.

Demo warga di depan kantor Yayasan Salsabila di Jalan Payudan Barat no. 3 mendapatkan pengamanan ketat dari aparat kepolisian. Sedikitnya satu peleton polisi dari polsek kota dan polres membuat pagar betis untuk mencegah massa masuk ke kantor Salsabila.

Tidak lama kemudian, tiga perwakilan pengunjuk rasa diminta untuk bertemu langsung dengan Ketua Yayasan Salsabila, Warsito WS, di ruangannya. Di ruang pertemuan hadir juga Kasat Samapta AKP Mujib dan Kapolsek Kota AKP Heri.

Imam Sutarjo, perwakilan dari pengunjuk rasa, mendesak pihak Salsabila memberikan kejelasan terkait keberadaan Aris di Sumenep. "Kami harapkan dalam sepekan ini sudah ada kejelasan terkait keberadaan akte notaris Salsabila, kronologis keberadaan Aris di Sumenep, dan pencopotan Warsito dari ketua yayasan. Kalau tidak bisa memastikan, Salsabila burbarkan saja," katanya.

Imam juga mempertanyakan kenapa harus Sumenep sebagai tempat berdomisili buronan Densus 88 Antiteror itu sebelum menyerahkan diri di Temanggung. Padahal, kata dia, Madura terdiri dari empat kabupaten yang semuanya berpotensi untuk ditempati. "Apakah Warsito yang menginginkan Aris berada di Sumenep?" sergah Imam yang didampingi dua warga lainnya.

Warga juga mempertanyakan status berdomisilinya Nizar (nama lain dari Aris) di Desa Pabian yang ditengarai ada campur tangan pihak yayasan. "Informasi yang kami terima, saat Aris mengurus pernikahannya di sini, dia mendapatkan rekomendasi dari Salsabila," ungkapnya.

Sementara Warsito memastikan, keberadaan Aris di Sumenep hanya kebetulan. Diceritakan, awalnya pihak Salsabila terkesima dengan kemampuan berbahasa Inggris Aris. "Tanpa berpikir cukup selektif, akhirnya Aris diangkat menjadi guru bahasa di sini. Tak tahunya dia terlibat aksi teroris," jelasnya.

Terkait dengan akte notaris Salsabila, Warsito minta waktu sepekan untuk pengurusannya hingga ke tingkat menteri. Dalihnya, pihaknya sudah berupaya mengurus akte notaris, tapi belum ada hasilnya seperti yang diinginkan.

"Kalau saya mesti harus dicopot atau tidak menjadi ketua yayasan, menurut saya, tidak jadi soal. Sebab, jabatan menurut saya bukan kekuasaan yang harus dibangga-banggakan," cetusnya lalu tersenyum.

Sementara Kasat Samapta AKP Mujib mengatakan, kepolisian tidak berwenang terlibat dalam kesepakatan antara warga dengan Salsabila. "Kami kan hanya mengawal supaya tidak terjadi hal yang tidak kita inginkan," katanya. (uji/mat)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 18 Oktober 2009

Label: ,

Enam Pasang Sapi Terpilih

Pagi Ini Final Juara Atas dan Bawah

Agenda rutin tahunan, yakni kerapan sapi kembali digelar. Kemarin (18/10) giliran kerapan sapi tingkat Kabupaten Bangkalan dilaksanakan di lapangan kerapan sapi di Skep, Jl Pertahanan, Kelurahan Pejagan, Kota Bangkalan. Lomba ini sekaligus ajang mencari enam pasang sapi yang berhak melaju ke kerapan sapi tingkat eks karesidenan Madura.

Sebanyak 30 pasang sapi yang merupakan wakil dari lima eks kawedanan se Kabupaten Bangkalan turun berlaga. Masing - masing tampil maksimal untuk dapat mewakili Kabupaten Bangkalan pada perlombaan memperebutkan Piala Presiden di Pamekasan, minggu depan.

"Ajang ini memang mencari enam pasang sapi terbaik. Tiga pemenang dari kategori kalah dan tiga pasang dari kategori menang. Yang terpilih nantinya akan mewakili Bangkalan," ujar Saad Asj'ari, ketua penyelenggara.

Sejak pagi, ratusan masyarakat Bangkalan sudah memadati lapangan kerap yang cukup megah tersebut. Beberapa tokoh Bangkalan juga nongol untuk melihat dari dekat pasangan sapinya saat beradu cepat di lintasan pacu. Sebelum perlombaan dimulai, tari kolosal berjudul Pasemoan Kerraban Sapeh ditampilkan. Tari ini mengisahkan tentang serangkaian budaya kerapan sapi di Madura. Dimulai dari perawatan, ritual, perlombaan hingga perayaan kemenangan sapi kerap.

Hingga kemarin petang, enam sapi yang akan mewakili Bangkalan untuk merebut Piala Presiden 2009 sudah dapat diketahui. Tiga pasangan sapi dari kelompok menang adalah Anak Manja milik Aus Toni (Arosbaya), Teroris milik H Junaidi (Sepuluh) dan Gagak Rimang milik H M Thohir, SE (Socah). Sedangkan dari kategori kalah, tiga sapi yang akan mewakili Bangkalan adalah Satelit milik H Safiuddin Asmoro (Tanah Merah), Sandang Pusaka milik H Hamzah (Arosbaya) dan Satria milik Kades Banda Soleh Sepuluh.

"Untuk babak final, penentuan juara atas dan bawah terpaksa kita lanjutkan besok pagi (hari ini, Red.)," pungkas Saad. (ale/ed)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 19 Oktober 2009

Label:

Investor Tertarik Pantai Jumiang

Pemerintah bakal menjual pesona pantai Jumiang di Kecamatan Pademawu. Pasalnya, pantai tersebut dinilai unik, menarik, dan layak jual. Bahkan, beberapa investor dikabarkan memantau dan melakukan riset pantai bertebing tinggi itu.

Bupati Khalilurrahman mengaku kedatangan invertor yang tertarik mengembangkan beberapa tempat wisata di Pamekasan. Salah satunya Pantai Jumiang. Alasannya, dia mendengar Jumiang seperti Tanjung karena daratannya menjorok ke lautan. Selain itu, Jumiang berada di kawasan tebing di satu sisi yang menyebabkan lautan bisa dilihat dari ketinggian.

Sedangkan sisi lainnya, Jumiang juga terdiri atas pesisir yang bisa dinikmati pasirnya seperti di Parang Tritis, Jogjakarta. "Kabarnya, ada investor yang tertarik Jumiang," ujarnya pada wartawan di pendopo.

Selain Pantai Jumiang, investor juga akan mengembangkan Branta Pesisir di Kecamatan Tlanakan. Disana terdapat objek wisata pancing dan dapat dijadikan wisata ikan. Ini, kata bupati, harus didukung semua lapisan masyarakat luas. "Tanpa dukungan, tak akan ada kemajuan," katanya.

Salah seorang tokoh pemuda di Kecamatan Pademawu, Jamali, mengklaim Jumiang lebih cantik dibanding saat ini. Itu berarti, dia yakin ekonomi warga Jumiang juga terdongkrak. Sebab, bila wisatwan datang pasti akan berbelanja di sekitar pantai. Secara otomatis, warga ketiban rezeki. Namun, jika Jumiang tetap tidak berubah, dia ragu pengunjung akan lebih ramai. "Jumiang bisa dikelola dengan baik," katanya. (c23/abe)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 19 Oktober 2009

Label: , ,

Keluhkan Pesta Kerapan Sapi

Tuding Hadiah dan Aturan Balapan Tak Sesuai

Pelaksanaan lomba karapan sapi tingkat kabupaten di Stadion Giling Sumenep kemarin (18/10) dikeluhkan pemilik sapi dan anggota DPRD Sumenep. Mereka melihat adanya kejanggalan mengenai biaya dan aturan pertandingan.

Zaini, salah satu pemilik sapi dari Kec Bluto, mengeluhkan pelayanan panitia kerapan. Baik hadiah maupun lomba, tidak sesuai dengan anggaran yang dimiliki oleh panitia, dalam hal ini disbudparpora.

"Setahu saya, jumlah anggaran mencapai Rp 95 juta lebih. Tapi hadiahnya hanya motor (buatan) Cina dan alat elektronik saja. Padahal, untuk golongan menang sudah jelas Rp 20 juta dan (pemenang) golongan kalah dianggarkan Rp 15 juta. Kok hadiahnya hanya itu," keluhnya saat ditemui di sela-sela pertandingan.

Selain hadiah yang dianggap terlalu kecil, Zaeni mencurigai aturan perlombaan yang hanya menguntungkan beberapa pihak. Dalihnya, aturan pada tahun itu berbeda dengan aturan - aturan sebelumnya.

"Selain ada pemangkasan kawedanan dan konsumsi yang minim, jarak lomba juga diubah. Dari dulu, itu biasanya 195 meter. Tapi karena ada panitia yang jadi peserta dan sapinya tidak sanggup, jaraknya diubah jadi 190 meter," tuturnya.

Zaeni juga mengaku sudah menanyakan hal tersebut kepada panitia. Namun, menurut dia, panitia berdalih hal itu dilakukan demi keamanan. "Itu tidak mungkin Mas. Sebab, selama tujuh tahun terakhir jarak yang digunakan selalu 195 meter dan tidak apa - apa," paparnya.

Sementara itu, anggota DPRD Sumenep, Decki Purwanto, membenarkan jika anggaran yang dialokasikan untuk lomba karapan sapi mencapai Rp 95 juta. Rinciannya, Rp 35 juta untuk hadiah (baik golongan menang maupun golongan kalah) dan Rp 1,5 juta untuk pembelian tropi. Sementara sisanya yang Rp 58,5 digunakan untuk pelaksanaan dan biaya bayaran panitia selama dua hari perlombaan.

Sayangnya, menurut Decki, baik hadiah maupun pelaksanaan yang dilakukan tidak sesuai dengan anggaran. Bahkan, panitia masih membawa sponsor dan menarik karcis sebesar Rp 5.000 dari warga Sumenep yang hendak menonton salah satu budaya masayarakat Madura tersebut.

"Dana yang diambil dari APBD 2009 murni demi melestarikan budaya, bukan ajang mencari keuntungan sendiri. Kalau pemkab sudah punya anggaran yang cukup, untuk apa membawa sponsor segala. Hal itu justru merusak citra pemkab yang ingin memeriahkan hari Jadi Sumenep ke 740," terangnya.

Di tempat yang sama, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) M. Nasir mengatakan, apa yang dilakukan pihaknya bersama panitia sesuai dengan aturan yang ada. Namun, terkait dengan aturan pertandingan, dia mengaku tidak tahu-menahu.

"Semua sudah sesuai RAB (rencana anggaran biaya) yang ada. Kami melibatkan sponsor untuk melengkapi saja. Tapi bukan berarti anggaran kurang. Dengan, harapan kegiatan bisa lebih meriah," terangnya. (c14/mat)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 19 Oktober 2009

Label:

Ada Indikasi Kuat Dibakar

Polisi Selidiki Kasus Terbakarnya SDN Basanah

Polisi terus menyelidiki terbakarnya satu gedung di SDN Basanah, Kec Tanah Merah, Rabu (14/10) malam. Hasil sementara, indikasi sekolah dibakar semakin menguat. Selain telah ditemukan botol yang berisi minyak tanah dan sebungkus korek api, kebakaran dipastikan bukan karena kortsleting.

Sebab, pihak sekolah tidak pernah merasa menyimpan semacam lampu minyak atau penerangan lain di dalam ruangan. Bahkan, sekolah tersebut juga tidak dialiri listrik.

Kerjasama tim penyelidik dari Polres Bangkalan dibantu Polsek Tanah Merah hingga kemarin baru memeriksa lima orang saksi awal. Mereka antara lain Kepala SDN Basanah Nanik, warga sekitar SD, Hoiriyeh, Kades Basanah, dan dua orang lainnya.

Kapolsek Tanah Merah AKP Sungkono mengatakan, berkas kasus saat ini telah dilimpahkan ke Polres Bangkalan. Alasannya, selain minimnya personel di polsek, kebakaran melanda sebuah fasilitas publik. "Hari ini (kemarin, Red) berkas bersama barang bukti telah dilimpahkan ke polres," katanya.

Kasatreskrim Polres Bangkalan AKP Suwarno membenarkan berkas kasus terbakarnya SDN Basanah telah berada di polres. "Kasus tersebut saat ini sedang dalam penyelidikan. Pengumpulan keterangan telah dilakukan," ujarnya.

Lokasi sekolah yang berada di pinggir perkampungan itu membuat kebakaran agak lamban diketahui. Kepala SDN Basanah Nanik mengetahui sekolahnya terbakar sekitar pukul 07.30. Nanik yang malam itu berada di rumahnya tahu adanya kebakaran dari salah satu warga yang tinggal di dekat sekolah. "Saya tahu setelah di telepon Mik Hoiriyeh. Setelah itu saya bersama suami langsung ke sini," ujarnya kemarin (17/10).

Seperti diberitakan, sebanyak 5 meter kubik kayu yang akan dipakai untuk merenovasi gedung SD ludes menjadi arang. Dokumen penting siswa dan guru juga hangus. SDN Basanah terbakar saat dimulainya proyek dari dana alokasi khusus (DAK).

Saat ditemui kemarin, Nanik sedang mengawasi realisasi DAK untuk rehab gedung sekolah. Dia mengaku telah melaksanakan petunjuk teknis penggunaan DAK. "Saya sudah kerjakan sesuai dengan juknis bersama komite sekolah dan Kades. Sekolah adalah rumah kedua, jadi saya inginkan yang terbaik," ujarnya.

Salah satu guru, Yayuk, mengungkapkan, di ruang yang terbakar itu itu berisi semua buku pelajaran dari kelas I sampai VI. Sebab, pada Rabu (14/10) sekolah sudah mulai dibongkar dan semua barang diungsikan di kantor yang hangus tersebut.

Demikian juga dengan siswa SDN Basanah pada hari itu sudah berpindah ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Ibrohimy. Sebab, semua kelas sedang direhab. (c18/mat)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 18 Oktober 2009

Label: , , ,

Tuntut Salsabila Bubar

Puluhan Warga Pabian Demo

Gejolak terhadap Yayasan Salsabila yang sempat dijadikan tempat mengajar Aris, tersangka teroris yang menyerahkan diri ke polisi, selama tiga tahun (2006 - 2009), belum reda. Bahkan, kemarin (17/10) puluhan warga Desa Pabian, Kec Kota Sumenep, demo di kantor Salsabila.

Massa membawa sejumlah poster yang tulisannya mengecam keberadaan teroris di Sumenep. Mereka menuntut agar Yayasan Salsabila dibubarkan, jika hanya mengganggu keamanan dan kenyamanan kehidupan bermasyarakat di Desa Pabian.

Demo warga di depan kantor Yayasan Salsabila di Jalan Payudan Barat no. 3 mendapatkan pengamanan ketat dari aparat kepolisian. Sedikitnya satu peleton polisi dari polsek kota dan polres membuat pagar betis untuk mencegah massa masuk ke kantor Salsabila.

Tidak lama kemudian, tiga perwakilan pengunjuk rasa diminta untuk bertemu langsung dengan Ketua Yayasan Salsabila Warsito W. S. di ruangannya. Di ruang pertemuan hadir juga Kasat Samapta AKP Mujib dan Kapolsek Kota AKP Heri.

Imam Sutarjo, perwakilan dari pengunjuk rasa, mendesak pihak Salsabila memberikan kejelasan terkait keberadaan Aris di Sumenep. "Kami harapkan dalam sepekan ini sudah ada kejelasan terkait keberadaan akte notaris Salsabila, kronologis keberadaan Aris di Sumenep, dan pencopotan Warsito dari ketua yayasan. Kalau tidak bisa memastikan, Salsabila burbarkan saja," katanya.

Imam juga mempertanyakan kenapa harus Sumenep sebagai tempat berdomisili buronan Densus 88 Antiteror itu sebelum menyerahkan diri di Temanggung. Padahal, kata dia, Madura terdiri dari empat kabupaten yang semuanya berpotensi untuk ditempati. "Apakah Warsito yang menginginkan Aris berada di Sumenep?" sergah Imam yang didampingi dua warga lainnya.

Warga juga mempertanyakan status berdomisilinya Nizar (nama lain dari Aris) di Desa Pabian yang ditengarai ada campur tangan pihak yayasan. "Informasi yang kami terima, saat Aris mengurus pernikahannya di sini, dia mendapatkan rekomendasi dari Salsabila," ungkapnya.

Sementara Warsito memastikan, keberadaan Aris di Sumenep hanya kebetulan. Diceritakan, awalnya pihak Salsabila terkesima dengan kemampuan berbahasa Inggris Aris. "Tanpa berpikir cukup selektif, akhirnya Aris diangkat menjadi guru bahasa di sini. Tak tahunya dia terlibat aksi teroris," jelasnya.

Terkait dengan akte notaris Salsabila, Warsito minta waktu sepekan untuk pengurusannya hingga ke tingkat menteri. Dalihnya, pihaknya sudah berupaya mengurus akte notaris, tapi belum ada hasilnya seperti yang diinginkan.

"Kalau saya mesti harus dicopot atau tidak menjadi ketua yayasan, menurut saya, tidak jadi soal. Sebab, jabatan menurut saya bukan kekuasaan yang harus dibangga - banggakan," cetusnya lalu tersenyum.

Sementara Kasat Samapta AKP Mujib mengatakan, kepolisian tidak berwenang terlibat dalam kesepakatan antara warga dengan Salsabila. "Kami kan hanya mengawal supaya tidak terjadi hal yang tidak kita inginkan," katanya. (uji/mat)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 18 Oktober 2009

Label: ,

Pembangunan Madura dan Universitas Trunojoyo

UNIVERSITAS Trunojoyo Madura (Unijoyo) adalah satu-satunya universitas negeri di Madura. Tak heran jika kampus ini menjadi salah satu penentu keberhasilan pembangunan di Madura.

Pihak kampus tak bisa mengingkari tanggung jawab untuk membangun Madura. Sebab, membangun Madura tidak akan cukup hanya dengan mengandalkan bangunan fisik yang tinggi dan megah. Semua harus diiringi oleh persiapan peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM).

"Kami paham tanggung jawab itu. Sejak awal kami sudah berkomitmen agar jangan sampai kemajuan di Madura pascapembangunan Suramadu memarjinalan generasi Madura sendiri," papar Ariffin. Nah, untuk bisa terlibat dalam berbagai pembangunan, maka generasi Madura harus memiliki kemampuan yang dibutuhkan gerak pembangunan itu sendiri.

"Universitas ini berfungsi untuk mempersiapkan SDM. Kami sudah berkomitmen untuk mengisi generasi Madura dengan berbagai ilmu yang dibutuhkan dalam pembangunan Madura ke depan," katanya mantap.

Menindaklanjuti hal tersebut, Ariffin mengungkapkan telah menelaah apa yang akan dibutuhkan generasi muda untuk membangun Maduranya. Berbagai kerjasama sudah dijalin untuk memberi pendidikan dengan beasiswa pada puluhan bahkan ratusan generasi muda di Madura.

"Dengan dinas pendidikan se Madura kami menjalin kerjasama di bidang IT (informasi teknologi). Sebanyak 180 mahasiswa kami rekrut dari empat kabupaten Madura untuk diberi pendidikan IT. Tahun depan mereka lulus," tandasnya. IT dipilih karena ke depan teknologi informasi di masa pembangunan harus semakin canggih. Sehingga, 180 mahasiswa itu diharapkan dapat mengembangkan IT di kabupatennya masing-masing.

Di samping itu Unijoyo juga membuka berbagai vokasi (program diploma) untuk menyiapkan SDM tenaga ahli yang siap pakai di semua sektor. Di antaranya program studi Diploma 3 (D3) Manejemen Informatika, Mekatronika, Akuntansi dan Kewirausahaan. "Tidak hanya diploma, kami juga tengah menggagas pendidikan pascasarjana. Sebab, disamping SDM tenaga ahli yang siap kerja, Madura juga membutuhkan tenaga magister di bidangnya," jelasnya. (nra/*)

Baca juga:
Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 17 Oktober 2009

Label: ,

Ciptakan Lulusan Pembuat Lapangan Kerja

PEPATAH ekonomi tentang harus berani meminjam di bank bisa menjadi salah satu dasar Unijoyo membangun laboratorium wirausaha. Laboratorium ini dibangun untuk melatih mahasiswa Unijoyo menjadi seorang entreprenuer sejak kuliah. Sebuah upaya untuk meluluskan pembuat lapangan kerja, bukan pencari kerja.

Pihak kampus meyakini latihan sejak dini dengan pengawasan dan pendidikan yang benar akan membuat seseorang punya jiwa entreprenuer mantap. Laboratorium wirausaha disiapkan menjadi arena latihan untuk menanamkan jiwa usaha.

"Kami tidak ingin melahirkan lulusan yang takut meminjam uang di bank," tegas Ariffin, rektor Unijoyo. Karena itu, sambungnya, semua yang ada di laboratorium wirausaha dibuat senyata mungkin laiknya seorang memulai usaha baru.

"Nanti ada dosen yang akan membimbing. Ada juga dana yang akan digulirkan sebagai modal usaha. Mahasiswa akan diajari mulai dari membuat proposal usaha hingga bagaimana mereka harus berurusan dengan lembaga keuangan," ujarnya. Semua simulasi usaha itu dibuat agar tak ada lagi kata 'kekurangan modal' dalam kamus lulusan Unijoyo. Sebab, banyak pengangguran bertitel sarjana terpaksa tak melakukan apa-apa karena tak paham entreprenuer dan gagap memulai usaha.

Pemanfaatan gedung laboratrium wirausaha itu akan dimulai 2010 mendatang. Segala persiapan terus dimatangkan untuk menjadikan laboratorium itu sebagai lembaga yang diurus sepenuhnya oleh dan untuk mahasiswa. "Tentunya diawasi oleh para dosen. Sehingga, tata kelola usahanya bisa berjalan optimal. Jika berhasil, usaha yang dirintis itu akan menjadi bekal sebelum lulus kuliah," terangnya.

Untuk menggugah peran mahasiswa di laboratorium wirausaha itu, civitas akademik telah sepakat memasukkan mata kuliah soft skill wirausaha di setiap program studi. "Kami yakin, setiap ilmu dan teknologi harus disentuh dengan pengetahuan usaha. Semuanya untuk masa depan mahasiswa," tutur pria asal Malang ini. (nra/*)

Baca juga:

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 17 Oktober 2009

Label: ,

Universitas Trunojoyo Madura
setelah Delapan Wisuda

Fokus Benahi Kualitas Lulusan, Kejar World Class University

Sejak didirikan pada 2001, Universitas Trunojoyo Madura (Unijoyo) telah meluluskan ribuan mahasiswa. Dari tahun ke tahun pihak kampus pun berupaya memperbaiki kualitas lulusannya. Bagaimana dan sejauh mana dampaknya? Berikut petikan wawancara khusus Radar Madura dengan Rektor Unijoyo Prof DR Ir H Ariffin MS.

Hari ini Unijoyo menggelar wisuda untuk ke delapan kalinya. Bagaimana Anda menilai perkembangan peserta wisuda dari tahun ke tahun?

Ada dua hal yang saya perhatikan. Yaitu, perkembangan indeks prestasi dan ketepatan waktu lulus kuliah.

Dari tahun ke tahun saya melihat selalu ada perkembangan pada IPK (indeks prestasi kumulatif). Kalau di tahun-tahun sebelumnya hanya ada segelintir mahasiswa yang lulus dengan pujian, maka tahun ini beda. Dari 367 peserta wisuda, ada sedikitnya 60 persen yang lulus dengan pujian pada IPK minimal 3,55. Sedangkan mereka yang lulus dengan IPK terendah ada di rata-rata 2,50.

Selain peningkatan kualitas pada hasil evaluasi belajar, saya juga melihat mahasiswa yang lulus di atas semester bisa dihitung dengan jari. Itu sisa mahasiswa lama-lama dulu. Saya hitung ada paling sedikit 15 orang yang berhasil lulus dengan hanya menempuh kuliah selama 3,5 tahun atau tujuh semester. Itu merata di semua fakultas.

Lalu apa jaminan para lulusan itu siap menghadapi dunia kerja?

Ditanya tentang kesiapan tentu sangat relatif. Dari segi intelektual insya Allah mereka (lulusan Unijoyo, Red) siap. Namun, untuk mental masih harus terus dipompa.

Apa yang sudah dilakukan kampus untuk persiapan mental itu?

Masuk 2009 kami telah berupaya menyiapkan kemampuan mahasiswa secara mental. Sehingga, para lulusan bisa siap secara mental dan profesional menghadapi dunia setelah lulus kuliah. Pendidikan soft skill mutlak kami nilai perlu. Itu yang kami berikan pada mahasiswa.

Namun, bagaimanapun kampus ini ada di Madura. Selain kecakapan intelektual dan profesional, kami juga fokus memberi mahasiswa kecakapan religius dan moralitas.

Kecakapan dan kualitas lulusan, fasilitas, dosen dan mahasiswa selalu jadi sorotan. Setelah delapan kali wisuda bagaimana sekarang?

Dari segi fasilitas, terus terang 80 persen bangunan di kampus ini adalah peninggalan Universitas Bangkalan dengan usia bangunan rata-rata 20 tahun. Namun, program-program pembangunan terus direalisasikan. Anda bisa lihat sendiri bagaimana kami sedang membangun ruang-ruang kuliah baru, melengkapi fasilitas laboratorium hingga fasilitas untuk pengembangan minat bakat.

Tahun ini kami tengah membangun 20 lokal ruang kuliah untuk 2000 mahasiswa. Itu untuk mengantisipasi minat yang makin tinggi untuk masuk Unijoyo. 2009 kami terpaksa hanya menerima 1300 mahasiswa dari 3300 yang mendaftar. Sekarang jumlah mahasiswa kami lebih dari 5000 dengan jam kuliah hingga pukul 20.00.

Bagaimana dengan kualitas dosen?

Tiap tahun 40-50 dosen kami tugaskan untuk belajar. Banyak yang tugas belajar S2, menempuh S3 sekitar 38 dosen, yang sudah S3 sebanyak 14. Tiga tahun mendatang kami akan punya sedikitnya 50 dosen S3 dan banyak dosen S2. Tidak ada lagi dosen S1 di kampus ini.

Mereka yang menempuh kuliah di luar negeri untuk S2 dan S3 tersebar di Jepang, Philipina, Australia, Rusia, Amerika hingga Jerman. Penugasan belajar ke luar negeri ini juga merupakan upaya kami mencapai apa yang didengung-dengungkan oleh Dirjen Dikti World Class University (Universitas Bertaraf Dunia).

Kualitas mahasiswa dan alumni?

Seperti yang saya jelaskan di awal tadi. Ada dua tantangan meningkatkan kualitas mahasiswa. Melihat banyaknya alumni yang bergerak di birokrasi dan politik, kami merasa penting memberikan bekal kemampuan leadership dan managerial pada mahasiswa. Sehingga, saat lulus mereka telah memiliki kemampuan entrepreneur yang hebat. Kami yakin, semua orang memiliki potensi untuk menjadi lulusan berkualitas. Tinggal bagaimana memoles kualitas mereka menjadi lebih baik dengan keilmuan, teknologi dan etika.

Apa yang sudah ada dan diupayakan, sejauh mana semuanya bisa menjawab harapan mahasiswa berikut orangtuanya?

Yang jelas 3-4 tahun lalu masih ada gengsi untuk tidak memilih Unijoyo. Tapi, dua tahun belakangan kondisinya sudah jauh berubah. Ada lonjakan luar biasa minat untuk masuk kampus ini. Saya rasa ini merupakan salah satu indikasi bagaimana kampus ini menjadi harapan. Hal ini juga berarti kepercayaan masyarakat pada Unijoyo juga semakin tinggi.

Untuk menjawab harapan dan menjaga kepercayaan kami telah berupaya membuat kurikulum bagi mahasiswa agar benar-benar siap menghadapi dunia luar. Kami terus meningkatkan cara mendidik mahasiswa agar bisa bersaing di luar sana. Kami memberi mereka apa yang dibutuhkan di dunia luar. Sehingga, selesai kuliah mereka sudah punya sesuatu yang dibutuhkan untuk membangun usaha sendiri maupun bersaing di dunia kerja. (nra/*)

Baca juga:

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 17 Oktober 2009

Label: , ,

Arif Rahman: Calon Wisudawan
Universitas Trunojoyo dengan IPK Tertinggi

Pernah Dicibir karena Masuk Unijoyo

Meraih sukses di bangku kuiah bukan hal yang mudah. Sebab, kesuksesan tidak hanya diperoleh dari tatap muka dengan dosen atau ujian semata. Kesuksesan di masa kuliah berarti seimbang memperlakukan diri di pergaulan dan lingkungan belajar. Bagaimana Arif Rahman bisa meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) tertinggi?

MASUK Universitas Trunojoyo Madura (Unijoyo) pada 2005, pemuda yang akrab disapa Arif ini berhasil lulus tepat waktu. Di samping lulus tepat waktu, hal yang paling membanggakan adalah lulus dengan predikat cumlaude. IPK-nya 3,87, tertinggi dari semua calon wisudawan yang akan dikukuhkan besok di kampus Unijoyo.

Pemuda kelahiran Sumenep, 28 Februari 1987 itu masuk fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Sejak semester I dia telah mendapatkan nilai di atas rata-rata.

Di akhir kuliahnya dia membuat karya tulis akhir skripsi tentang akuntansi yang berkaitan dengan perpajakan. Yaitu, Pengaruh Pemahaman Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak PBB terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak di Kecamatan Kota Kabupaten sumenep.

Judul skripsi akuntansi yang berhubungan dengan pajak di Unijoyo masih sangat langka dan penerimaan pajak yang kurang maksimal melatarbelakanginya membuat skripsi tentang pajak. Kesimpulannya dalam penelitian tersebut bahwa faktor yang memengaruhi pembayaran pajak hanya kesadaran. Artinya, minimnya pembayaran pajak PBB di Sumenep Kota disebabkan kesadaran yang rendah.

Saat ditemui koran ini, Arif ternyata sosok yang cukup pemalu. Kepada koran ini dia menceritakan bagaimana awal hingga akhir dia kuliah di Unijoyo. "Saya masuk lewat jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Jadi, memang sejak awal niatnya masuk Unijoyo," tuturnya.

Saat memutuskan masuk Unijoyo, teman-temannya sempat mencibirnya. Sebab, kebanyakan temannya banyak memutuskan kuliah di luar Madura. "Saya lalu aktif di kegiatan mahasiswa. Saya akhirnya bisa mengunjungi kampus di luar Madura sana. Saya melihat kualitas kami sama saja dengan yang di luar sana," ungkapnya.

Hanya, sambungnya, yang membedakan Unijoyo dengan kampus luar Madura adalah kurangnya fasilitas pendukung belajar. "Tapi bagi saya yang penting bukan itu. Yang penting semangat dan niat belajar. Soalnya, meski ada fasilitas kalau mahasiswanya tidak niat ya tetap saja ketinggalan," ungkapnya.

Minimnya fasilitas di Unijoyo menurutnya akan segera berlalu dengan makin banyaknya pembangunan dan upaya melengkapi berbagai perlengkapan pendukung belajar. "Saya yakin, akan makin banyak yang berminat kuliah di kampus ini. Masak sudah banyak yang minat mau tetap seperti dulu. Saya sudah melihat perubahan dan peningkatan fasilitas sekarang," ujarnya.

Keberadaan fasilitas itu tidak akan membuahkan hasil jika tak diimbangi dengan semangat dan niat belajar. Bisa jadi, banyak mahasiswa kurang punya niat belajar dan semangat karena lingkungannya. Namun, lingkungan belajar yang menciptakan niat dan semangat bisa diciptakan.

"Seperti saya, barangkali mahasiswa yang kurang niat dan tidak semangat itu bisa diingatkan untuk bagaimana mencapai hidup yang lebih berkualitas. Ingatkan mereka pada jerih payah orang tuanya untuk membiayai kuliah anak-anaknya," imbaunya.

"Jujur saja, saya tidak terlalu rajin belajar. Saya hanya berusaha fokus pada pelajaran yang saya terima dan membahasnya dengan teman," paparnya. Dengan begitu, imbuhnya, dia tak perlu harus belajar tiap malam untuk menghadapi ujian. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 16 Oktober 2009

Label: , ,

Membatik Tradisional di Tanjung Bumi

Rp 15 Ribu Per Lembar, Dikerjakan Sambil Santai

Melekatnya batik di masyarakat Kecamatan Tanjung Bumi tak sekadar sebagai pekerjaan semata. Melukis di atas kain itu sudah menjadi semacam kebiasaan yang kini mulai dipacu untuk bersaing dengan industri. Bagaimana cara kerja tradisional membatik di sana?

JIKA membatik jadi pekerjaan, maka upah yang diperoleh dari para pengepul jelas tak cukup. Sebab, untuk selembar batik yang dikerjakan paling cepat sebulan pembatik hanya bisa mendapat upah paling besar Rp 100 ribu. Upah tertinggi itu hanya untuk batik dengan kualitas gambar yang "luar biasa". Kalau untuk batik yang biasa-biasa saja, pembatik hanya bisa mendapat upah Rp 15 ribu.

Di Tanjung Bumi, hampir semua desa jadi lokasi pembuatan batik. Tak heran jika salah satu kecamatan di Bangkalan ini disebut sentra batik.

Koran ini mengunjungi keluarga Masrifah, satu keluarga pembuat, pengepul dan penjual batik. Saat didatangi koran ini Masrifah tengah sibuk mencuci batik yang didapatkannya dari warga sekitar. "Kalau dibuat sendiri tidak mungkin bisa banyak seperti ini. Buat batik itu lama Mas, bisa berbulan-bulan," ujarnya. Membuat batik memang tak boleh terburu-buru. Maklum, membatik masih belum dipandang sebagai pekerjaan, tapi kebiasaan yang dikerjakan sambil santai.

Menurut cerita warga, kebiasaan membatik tumbuh karena wilayah Tanjung Bumi dekat dengan pantai. Berdekatan dengan pantai jelas membuat warga Tanjung Bumi kebanyakan jadi nelayan. Tak seperti bertani, para istri nelayan tak bisa ikut melaut. Mereka hanya menunggu di rumah hingga suaminya datang dari tengah laut.

Nah, di waktu kosong menunggu suami pulang itulah para istri nelayan memanfaatkan waktunya untuk membatik. "Jadi tempatnya membatik itu kadang-kadang di dapur, di kamar tidur, dekat kamar mandi atau di depan tivi," tutur Masrifah.

"Namanya juga untuk mengisi waktu. Kalau ada pekerjaan lain ya batiknya ditinggal," imbuh Masrifah. Kondisi tersebut membuat produksi batik tak bisa ditarget. Selesai berapa pun per hari tetap diterima. Warga yang ikut membatik juga tak bisa diminta cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. "Saya juga punya yang cetak. Kalau yang itu (batik cetak, Red) sehari bisa sepuluh lembar," ungkapnya.

Bagaimana cara kerja warga? Warga yang bisa dan biasa membatik datang ke pengepul untuk mendapatkan kain putih. Tak ada perjanjian kapan batik itu akan selesai. Namun, warga tersebut biasanya menjanjikan kapan dirinya akan menyelesaikan selembar batik itu. "Motifnya kadang mereka minta dari saya. Tapi banyak juga yang kreasinya sendiri. Saya percaya saja, motif yamg digambar pasti bagus," paparnya.

Sekembalinya lembaran batik dari warga, di pengepul lalu menilai motif. Dari sinilah pengepul menentukan berapa upah yang akan dibayarnya untuk selembar batik. "Menilai itu tidak bisa sembarangan. Kasihan orang bikinnya lama," tandasnya.

Berapa per lembarnya? Tidak tentu. Paling murah upah per lembar batik hanya dihargai Rp 15 ribu. Sedangkan batik terbaik dihargai dengan upah sebesar Rp 100 ribu. Luar biasanya, taksiran harga itu tak pernah mendapat protes. Sebab, si pengepul tahu betul bagaimana menghargai hasil kerja orang lain. (NUR RAHMAD AKHIRULAH)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 13 Oktober 2009

Label: ,

Alquran Berumur Empat Abad

Dari Kulit Kijang Putih, Tahan Api, Perekatnya Lidi

Moh. Hasyim, 54, warga Desa/Kec Tambelangan, mengaku sebagai ahli waris dari sebuah kitab Alquran yang berumur sekitar 400 tahun. Kitab itu ditulis oleh nenek moyangnya saat tirakat di Gua Pajudan, Desa Nangger, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep. Apa keunikannya?

ALQURAN itu tampak lusuh seakan tak terawat. Bagian sampul kitab suci yang berisi firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad itu sudah banyak yang sobek. Pada bagian belakang atau bagian perekatnya masih disisipi lidi yang juga tampak lusuh dan kuno.

Tebal kertas antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Saat disentuh, bagian halaman mushaf tersebut ada yang kasar, ada juga yang halus. Tapi, tulisan dan huruf-huruf hijaiyah rapi dan bagus. Kendati ada sebagian yang lusuh seperti terkena tetesan air.

Kitab Alquran itu kini dipegang H Moh. Hasyim, warga Desa/Kec Tambelangan, Sampang. Dia disebut-sebut sebagai pewaris kitab yang ditulis tangan leluhurnya itu. Menurut ceritanya, Alquran tersebut ditulis di Gua Payudan, Desa Nangger, Kec Guluk-Guluk, Sumenep, sekitar tahun 1628 Masehi.

Moh. Hasyim mengatakan, Alquran tersebut ditulis Bujuk Nyabrengan, warga Desa/Kec Lenteng, Sumenep. "Menurut Mbah yang menceritakan kepada saya, Alquran tersebut ditulis pada sekitar 1628 Masehi," ujar pria yang mengklaim keturunan kedelapan penulis kitab suci tersebut.

Ceritanya, kata dia, Bujuk Nyabrengan tirakat di Gua Payudan, Guluk-Guluk, untuk menulis Alquran selama 40 hari 40 malam. Semasa menjalani tirakat, Bujuk Nyabrengan konon tidak makan dan minum. "Sebelum tirakat, dia berpesan kepada istrinya. Jika istrinya bermimpi Bujuk Nyabrengan menulis kitab suci Alquran, berarti sang penulis sedang lapar," katanya.

Ketika mimpi itu datang, Bujuk Nyabrengan minta istrinya langsung menanak nasi. Nasi tersebut bukan untuk dikirim kepada sang ulama yang sedang menulis Alquran di Gua Payudan. Tapi, nasi itu cukup dikipas-kipas saja dari rumah. Dengan begitu, Bujuk Nyabrengan sudah merasa kenyang begitu mencium aroma nasi. Hanya, tidak diceritakan secara rinci berapa kali sang istri memasak nasi dan mengipasinya.

"Kalau secara logika, memang tidak masuk akal Alquran bisa selesai dalam waktu 40 hari 40 malam," kata Hasyim. Menurut dia, Alquran dibuat dari kulit kijang putih. Keunikannya, kertas dari kulit kijang putih itu tahan dari api dan tidak bisa dimakan rayap. Sementara perekat sampul menggunakan lidi. Sehingga kitab suci itu kelihatan kusam dan kertasnya agak kasar.

Lalu, bagaimana Alquran itu bisa sampai ke tangan sang pewaris? Benarkah kitab suci itu ditawar Rp 1 millar? Selanjutnya, apa keistimewaan Alquran yang dikenal masyarakat setempat sebagai Alquran se imat tersebut? (BUSRI THAHA) (bersambung)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 13 Oktober 2009

Label: , ,

Delapan Cagar Budaya Telantar

Kota Bahari ternyata memiliki banyak cagar budaya yang bisa dikembangkan untuk mendongkrak bidang pariwisata. Buktinya, di beberapa kecamatan banyak ditemukan cagar budaya yang masih alami alias natural dan belum dikelola pemerintah. Catatan koran ini, ada sembilan cagar budaya yang layak dipoles. Sayangnya, baru satu cagar budaya yang telah dikelola, yakni Asta Makam Ratoh Ebuh.

Sembilan cagar budaya warisan leluhur tersebut terdiri dari Bujuk Aji Gunung, Sumur Daksan, Makam Santo Merto, dan Makam Ratoh Ebuh. Termasuk Wisata Religi R Sayyid Abdurahman di Kecamatan Sokobanah dan Bujuk Nono di Kecamatan Torjun. Ditambah, Gua Macan dan Gua Burung di Kecamatan Sokobanah.

Sayangnya, perhatian dari pemerintah belum maksimal. Buktinya, yang baru mendapat perhatian adalah Asta Makam Ratoh Ebuh yang berlokasi di Kelurahan Polagan. Asta tersebut, informasinya mendapat kucuran dana untuk rehabilitasi congkop dari Pemkab Sampang.

Kepala Disbudparpora Sampang Achmad Bahrawi yang dikonfirmasi koran ini membenarkan banyaknya cagar budaya yang bertebaran di Sampang. "Saat ini, yang mendapatkan kucuran dana untuk rehabilitasi congkop baru Asta Ratoh Ebuh di Kelurahan Polagan. Jumlah dana yang dihabiskan untuk rehabilitasi congkop Makam Ratoh Ebuh diperkirakan sekitar Rp 500 juta. Kalau pemagaran itu berasal dari swadaya masyarakat," ungkapnya.

Dijelaskan, pihaknya sampai saat ini masih mendata sejumlah cagar budaya yang ada di Sampang. "Karena itu, kami berharap kepada masyarakat untuk memberikan informasi keberadaan cagar budaya kepada disbudparpora. Sehingga, cagar budaya tersebut bisa dikembangkan menjadi objek pariwisata. Kalau soal anggaran cagar budaya, kita akan usahakan 2010 mendatang," pungkasnya. (c17/yan/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 13 Oktober 2009

Label: , , , ,

Kerapan Sapi Menuai Protes

Setelah 2 Kecamatan Gagal Jadi Penyelenggara

Salah satu warisan budaya tradisional kerapan sapi masih kental di tengah masyarakat. Terbukti, kemarin puluhan sapi yang ada di berbagai kecamatan ikut serta dalam lomba kerapan sapi di Lapangan Giling.

Dari pantauan koran ini, Lapangan Giling tampak dipadati pengunjung. Mereka berasal dari berbagai daerah di Sumenep. Lomba kerapan sapi tersebut merupakan kegiatan terakhir yang ditunjuk oleh dinas kebupadayaan pariwisata pemuda dan olah raga (disbudparpora).

Sayangnya, sebelum kegiatan diselenggarakan sempat menuai perotes dari sejumlah warga. Sebab, dua kecamatan, yakni Kecamatan Guluk-Guluk dan Batang-Batang tidak diikutkan sebagai penyelenggara. Padahal, tahun sebelumnya dua kecamatan itu juga ditunjuk sebagai penyelenggara.

Sedangkan tahun ini hanya 4 kecamatan yang ditunjuk sebagai penyelenggara lomba. Yakni, Kecamatan Kota, Bluto, Ambunten dan Kecamatan Gayam.

Aksi protes tersebut dilakukan dua paguyuban, yakni Faisol Fayat selaku ketua Paguyuban Guluk - Guluk dan H Busyairi, ketua Paguyuban Batang - Batang dengan menemui pihak disbudparpora Jumat (25/09) lalu.

Menurut Faisol, tidak diikutsertakannya dua kecamatan terkesan rekayasa. Sebab menurutnya, dua kecamatan tersebut dinilai mencukupi sarat menjadi penyelenggara kerapan sapi.

"Di daerah saya (Guluk-Guluk, Red) ada 8 sapi karapan, di Batang-Batang juga ada 8 sapi. Jumlah tersebut sudah cukup. Sebab, nanti yang dikirim ke kabupaten hanya enam. Sementara, ada kecamatan yang tidak memiliki sapi, tapi menjadi penyelenggara," ungkap Faisol.

Karena itulah, kata Faisol, tidak diikutkannya Kecamatan Guluk-Guluk dan Batang-Batang membuat sejumlah warga kecewa. Pasalnya, setiap tahun kedua kecamatan ikut dalam penyelenggaraan salah satu tradisi Madura yang menjadi kebanggaan masyarakatnya itu.

Sementara itu, saat dihubungi koran ini Kepala Disbudparpora M. Nasir mengatakan, hal itu sudah sesuai dengan SK Bupati Nomor 188/13/KEP/3455.013/2009 tentang Pelaksanaan Kerapan Sapi Tradisional. "Dalam SK tersebut sudah jelas bahwa hanya empat kecamatan yang ditunjuk penyelenggara," terangnya.

Nasir juga menjelaskan, tidak diikutkannya dua kecamatan sebagai penyelanggara karena dinilai tidak layak. Pasalnya, sapi di daerah tersebut dinilai sangat sedikit. "Dikhawatirkan di daerah tersebut peserta yang ikut akan sedikit," pungkasnya saat ditemui koran ini di kantornya kemarin. (c14/zid/fiq)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 12 Oktober 2009

Label:

Musim Mangga Datang Lagi

Jika beruntung musim mangga berbuah bisa dua kali dalam setahun. Namun, tahun ini musim mangga hanya terjadi sekali. Memasuki bulan Oktober pemilik kebun dan pohon mangga bisa tersenyum. Meski harganya cukup murah buah mangga mampu menjadi penghasilan tambahan.

Wilayah yang dikenal punya banyak kebun mangga ada di bagian utara Bangkalan. Mulai dari Arosbaya, Klampis hingga Tanjung Bumi. Tiga kecamatan ini termasuk wilayah penghasil mangga terbesar di Bangkalan. Terbukti, saat kecamatan lain buah mangganya masih muda, di tiga kecamatan itu sudah panen.

Kegiatan panen mangga di utara Bangkalan terlihat di hampir sepanjang jalan. Demikian pula dengan warga yang hendak menjual mangganya ke luar Bangkalan. sejak pagi mereka sudah menunggu kendaraan untuk mengangkut buah itu.

Di ruas jalan menuju Sampang di jalur utara koran ini menemui Anhar. Seorang pengepul dan pengusaha mangga di Klampis. Saat ditemui pria tersebut tengah sibuk menata buah mangga sesuai dengan jenisnya ke dalam keranjang. "Ini ada mangga golek dan arumanis. Yang lain masih masih kecil-kecil dan belum dipanen. Sementara yang jenis ini," ujarnya.

Mangga-mangga yang dijual Anhar didatangkan dari Arosbaya, Klampis dan Tanjung Bumi. Dalam sehari dia bisa menjual bertruk-truk mangga untuk dikirim ke Surabaya. Tidak sedikit modal yang dikeluarkan Anhar untuk bisnis buahnya itu. "Kalau sudah busuk ya risiko bisnis. Masak mau dikembalikan mangga sudah busuk," sergahnya.

Berapa penghasilannya? Anhar tak mau terlalu membuka rahasia usahanya. Dia hanya membuka rahasia tentang harga satu keranjang mangga yang diperolehnya dari pemilik pohon. "Segini biasanya saya beli Rp 40.000 ribu. Dijual di Surabaya per kilogram sekitar Rp 3.500-an," ujarnya.

Mengenai pengalaman rugi, Anhar mengaku sudah asing. Dia hanya bisa pasrah jika harga mangga tiba-tiba turun dan jualannya tak laku. (nra)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 11 Oktober 2009

Label: , ,

Patung Peninggalan Majapahit Hilang

Patung peninggalan umat Hindu pada masa Kerajaan Majapahit yang ditemukan warga Desa Candi Burung, Kecamatan Proppo, Pamekasan, Madura, Jawa Timur (Jatim), hilang.

“Dulu yang menemukan patung itu bernama Dul Ahmad di lokasi bekas pembangunan candi,” kata Halifah (58), warga Desa Candi Burung, Minggu (4/10).

Ada dua patung yang ditemukan Dul Ahmad saat itu. Diperkirakan memang merupakan patung peninggalan umat Hindu saat akan membangun candi di desa tersebut.

Oleh warga setempat, dua patung temuan Dul Ahmad itu berupaya dipindah, tetapi sebagian warga tidak setuju karena di tempat patung yang ditemukan itu memang merupakan bekas bangunan candi.

“Katanya itu merupakan situs sejarah. Karena bekas bangunan candi yang ada di sini ini konon dibangun pada masa Kerajaan Mahapahit dulu,” tutur Halifah.

Keinginan warga memindah dua patung tersebut karena sebagian tokoh agama yang ada di wilayah Kecamatan Proppo khawatir bisa membuat masyarakat beralih kepercayaan. Sebab, menurut cerita yang berkembang di sana, sebelumnya ada warga yang berupaya membuang patung tersebut, tetapi tidak bisa.

Dul Ahmad sendiri menemukan patung kuno itu konon melalui petunjuk mimpi bahwa di bekas bangunan candi di desanya itu ada dua buah patung yang terpendam dan harus digali.

Sejarawan Pamekasan, Sulaiman Sadik, menyatakan, wilayah Kabupaten Pamekasan memang pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit sebelum Islam masuk ke Madura.

Sementara Desa Candi Burung sendiri terekam dalam sejarah termasuk sebagai pusat pengembangan agama Hindu di Pamekasan. Dengan demikian, di wilayah tersebut ada situs candi.

Diperkirakan, candi yang ada di desa itu pada sekitar abad XVI, awal masuknya ajaran agama Islam ke Pamekasan.

“Di sana itu memang ada situs bangunan candi yang gagal dibangun, dan gagalnya pembangunan candi menjadi nama sebuah desa, yakni Candi Burung,” katanya.

Burung merupakan istilah bahasa Madura yang artinya adalah gagal. Gagalnya pembangunan candi di Desa Candi Burung tersebut karena pada saat yang bersamaan ajaran agama Islam juga mulai menyebar luas di Pamekasan yang juga berpusat di wilayah Kecamatan Proppo, yakni di Desa Jambringin.

Hal itu, kata Sulaiman Sadiq, ditandai dengan adanya situs langgar, yakni sejenis musala dan menjadi tempat ibadah umat Islam di rumahnya masing-masing tapi terbuat dari kayu. Langgar itu bernama langgar Gayam.

“Kalau akhirnya ada warga yang menemukan patung di sekitar lokasi candi, itu jelas merupakan patung umat Hindu pada masa Kerajaan Majapahit dulu,” katanya menjelaskan.

Menurut Suheb, salah seorang aparat desa setempat, sejak patung itu ditemukan oleh warga bernama Dul Ahmad tidak diperhatikan sama sekali. “Wong masyarakat di sini sudah berpikir tidak ada gunanya,” terang Suheb. kcm

Sumber: Surya, Minggu, 4 Oktober 2009

Label: , , , , , ,

Madura proves a valuable site for religious tourism

Air Mata Ibu graveyard

The Madurese people deeply respect their Islamic teachers, even when they are dead. One of their traditions is to pray at their graves to ask their blessings.

No wonder, then, that across the island are many graves of Islamic teachers (kyai), which are deemed sacred. As such, they are proving a boon for local religious tourism.

By Achmad Faisal

The people call such graves bujuk, a Madurese word that refers to the elderly members of a family. In context, it means a respected person whose advice and directions should be followed.

Bujuk are usually named after the birthplace of the kyai or the place where they grew up, or after an incident during their life. For example, Bujuk Banyu Sangka, located in Banyu Sangka village, (Tanjung Bumi district, Bangkalan), is the grave of a kyai named Sayyid Husein.

In Batu Ampar village (Proppo district, Pamekasan) is a grave called Bujuk Latthong; latthong means manure. According to Kisah Aulia Batu Ampar (Story of Aulia Batu Ampar), a book by KH Achmad Fauzi Damanhuri, a grandson of Bujuk Latthong, whose real name was Syekh Abu Syamsuddin, the kyai once hid the weapon of his enemy in a pile of cow manure.

There are also graves that bear the kyai's real name, such as Bujuk Sara in Martajasah village (Kota district, Bangkalan). The kyai's full name was Siti Maisaroh.

Hundreds of graveyards are found across Madura's four regencies, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, and Sumenep, but only some attract many pilgrims from both nearby areas and outside Madura.

Observation of the numbers of visitors to the graves shows that among the most popular are those of Syaikhona Klolil and Siti Maisaroh in Martajasah village; Air Mata Ibu graveyard in Buduran village (Arosbaya district, Bangkalan); Batu Ampar graveyard; Desa Batu Ampar; the Asta Tinggi graveyard complex of the Sumenep kingdom royal families in Kebun Agung village (Kota district); and the graveyard of Sayyid Yusuf in Talango village (Talango district, Sumenep).

Some of the graveyards are dozens of years old; others date back centuries. Most of the kyai were the descendants of Arabs who came to Madura to spread Islam; some are believed to be the descendants of Wali Songo or the nine first Muslim missionaries to Java, or the descendants of royal families from Javanese or Madurese kingdoms who played significant roles in spreading the religion.

Bujuk Latthong was a great-grandson of Bujuk Banyu Sangka, who was a relative of a ulema buried in Luar Batang, North Jakarta.

Bujuk Bindhara Saud in the Asta Tinggih graveyard complex was in the same bloodline as Raden Fattah, king of Demak Kingdom in Java. Syaikhona Kholil was a relative of Sunan Kudus and Sunan Ampel of Wali Songo.

However, a Madurese scholar, Zawawi Imron, is not convinced that all those buried in the graveyards were kyai. Some of them, he suggests, might have been local public figures.

"Observing that a graveyard is often visited by many people, who are actually the deceased's relatives, locals later can get the idea that the deceased is an important person and the words are spread by word of mouth so that many people come to visit the graveyard," he said.

Many people believe that visiting a graveyard to pray for the deceased is encouraged by Islam.

Some graveyards, such as Asta Tinggi and Air Mata Ibu, are categorized as items of cultural heritage and receive great attention from the authorities.

By contrast, however, local governments seem to pay little attention to the many other graveyards, even though they do appear to have good commercial potential as tourist sites. Many beggars hang around the entrances to the modest graveyards, as do many hawkers. The facilities are maintained thanks to donations from pilgrims.

Before the fasting month, such graveyards usually attract many visitors from places as far away as Java and Kalimantan, who come in groups by bus or private car.

Syaikhona Kholil graveyard in Martajasah village, for instance, draws thousands of people from outside Madura before the fasting month, according to Muhammad Zainal, its guard.

"Ahead of Ramadan, about 80 to 90 buses come every day," he said.

It is believed that people visit the graveyard to cleanse themselves so that they are ready to enter the fasting month with a clean heart.

Said Abdullah, a visitor from Surabaya, said that they also come to ask for blessings. They believe that, if they pray at the grave of a person with lots of knowledge and who is close to God, their prayer is more likely to be answered.

"Going on a pilgrimage to a ulema's graveyard is our yearly tradition. It is also quite refreshing," said Said, who has visited graveyards in Madura several times along with other members of the congregation of Jamaah Sholawat Nariyahnya.

Public interest in visiting graveyards has been noted by travel agencies, many of which offer religious tourism packages to Madura.

Chairman of the East Java Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies (Asita), Haryono Gondosoewito, said that the number of religious tourists to Madura is expected to increase by 20 percent, especially with the recently opened of the Suramadu toll bridge that connects Surabaya with Madura.

He called upon local governments to support religious tourism in the area, especially by improving access to the tourist sites.

Head of the East Java Tourist Agency, Djoni Irianto, said locals also needed to give their support by creating a clean and peaceful environment so that visitors could enjoy the atmosphere.

"What's important is that there should not be any beggars at the tourist sites," he said.

He said that the government had the concept for stepwise development of several locations for religious tourism. This year, he had asked the Culture and Tourism Ministry to provide Rp 600 million for the Batu Ampar graveyard.

Most graveyards in Madura have unusual and mystic stories, such as the Bujuk Nepa in Betiyoh village (Banyuates district, Sampang), where a ulema named Kyai Abdul Majid or Sunan Segara was buried.

It is said that the kyai did not want any gravestone to be placed on his grave, which was located in the middle of a forest inhabited by monkeys.

"A gravestone was placed on the grave several times, but they always disappear," said a villager "The guard later dreamed of being told to remove the gravestone."

People ended up putting a modest sign made of a piece of cloth and a little flag under the tree where the kyai was believed to be buried.

Natural features near the graveyards are also often considered sacred, such as the water in the spring at the Air Mata Ibu graveyard complex. It is said to be called Air Mata Ibu (Mother's Tears) because the wife of King Arosbaya, Syarifah Ambami, who was buried in the cemetery, cried when she prayed for her children with the hope that they would become the rulers of Madura.

The woman, who was also a granddaughter of Sunan Giri (one of the Wali Sanga), is said to have cried so much that her tears became a spring, which can now be found in the well. People believe that water from the spring can heal diseases.

Such magic water is also believed to be found near the Asta Tinggi graveyard compound, where the water flows continuously from stone walls instead of an underground spring.

Sumber: Jakarta Post, Fri, 09/11/2009

Label: ,

Warga Nekat Naik Kapal Barang

Kapal Darma Sumekar yang melayani pelayaran ke Pulau Kangean, Sumenep, Madura, Jawa Timur, sudah sepekan rusak. Ini membuat warga pulau telantar dan tidak bisa pulang. Karena bekal sudah menipis, sebagian warga, Kamis (8/10), nekat naik perahu barang meski cukup berisiko dihantam ombak di tengah laut.

Para pemilik kapal barang tidak berani mengangkut penumpang terlalu banyak karena khawatir kelebihan beban. Sebab kapal juga mengangkut barang kebutuhan pokok. Biasanya kapal barang ini hanya bisa mengangkut 10 penumpang. Simak selengkapnya di video.(IAN)

Sumber: Liputan6, Jumat, 9 Oktober 2009

Label: , ,

Pamekasan Bingung Patenkan Motif Batik

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan, Madura, Jawa Timur, mengaku bingung mengajukan hak paten motif batik tulis yang ada di wilayah tersebut, karena motif batik yang ada terlalu beragam.

"Sampai saat ini kami belum mengajukan hak paten motif batik yang ada di Pamekasan," kata Kasi Pembinaan Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisi, Dinas Pemuda, Olah Raga dan Kebudayaan (Disporabud) Pamekasan, Halifaturrahman, Sabtu.

Hal ini terjadi, kata "Mamang" sapaan akrab Halifaturrahman, karena motif batik tulis di Pamekasan beragam, antara satu perajin dengan kelompok perajin lainnya.

Menurut Mamang, pihaknya perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu motif batik khas Pamekasan yang akan dipatenkan. Apalagi kerajinan membatik di Madura bukan hanya di Pamekasan, akan tetapi semua kabupaten di wilayah tersebut juga ada perajin batik.

"Setelah menemukan motif khusus yang memang menjadi ciri khas motif batik Pamekasan, baru kami bisa mengajukan hak paten," terangnya.

Di Pamekasan ada 28 sentra atau pusat kerajinan batik tulis yang tersebar di tujuh kecamatan dari 13 kecamatan yang ada di wilayah tersebut.

Rinciannya, di wilayah Kecamatan Pamekasan sebanyak lima sentra batik tulis, Kecamatan Proppo 12 sentra batik, Palengaan enam sentra, Waru satu sentra, Pegantenan dua sentra dan di Kecamatan Tlanakan sebanyak satu sentra batik.

"Di masing-masing sentra batik di Pamekasan ini memiliki motif batik tulis tersediri. Namun juga banyak sama. Makanya kalau belum menemukan mutif khusus yang menjadi ciri khas Pamekasan, kami sulit untuk mengajukan hak paten," kata Halifaturrahman.

Dari 28 sentra batik yang ada di Pamekasan dengan jumlah sekitar 1.200 unit usaha mampu memproduksi sebanyak 309.000 lembar batik setiap tahun dengan taksiran nilai produksi sekitar Rp24 miliar.

Wakil Bupati Pamekasan Kadarisman Sastrodiwirdjo menyatakan, jika menilai fakta tersebut, sebenarnya kerajinan batik di Pamekasan berpotensi menjadi sumber ekonomi masyarakat. Oleh karenanya Pemkab akhirnya menjadikan Kabupaten Pamekasan sebagai kota batik di Madura yang ditandai dengan adanya kegiatan "Seribu Perempuan Membatik" pada Juni 2009.

Kegiatan yang masuk dalam catatan Museum Rekor Indonesia-Dunia (Muri) tersebut, juga merupakan upaya untuk mempromusikan pasaran batik tulis di wilayah tersebut di tingkat nasional.

Sumber: Antara, Sabtu, 10 Oktober 2009

Label: ,

Warga Pamekasan Kembali Temukan Gua

Sebuah gua, belum lama ini kembali ditemukan warga Pamekasan, Madura, Jawa Timur, di Desa Klompang Barat, wilayah Kecamatan Pakong.

Menurut warga setempat, Badri, tempat gua ini sebenarnya sudah lama diketahui. Akan tetapi warga sekitar tidak berani masuk karena banyak ditumbuhi semak, sehingga warga khawatir banyak binatang liar di dalamnya.

"Musim kemarau ini baru diketahui warga bahwa di sini ada gua, ketika bola anak-anak masuk ke dalam gua saat bermain bola di ladang ini," katanya, Minggu

Gua yang berada di Desa Klompang Barat, Kecamatan Pakong ini, berjarak sekitar 1 kilometer dari gua yang ditemukan warga bernama Syukur di Desa Bicorong, Kecamatan Pakong, bulan Ramadhan lalu.

Jika dijadikan objek wisata, gua di Desa Klompang ini sebenarnya lebih potensial. Selain posisinya memang berada di pinggir jalan desa, juga lebih besar. Orang yang akan masuk ke dalam gua ini tidak perlu berjongkok sebagaimana di gua Bicorong.

Ukuran gua juga lebih besat, yakni dengan lebar tujuh meter dan panjang sekitar 20 meter. Di dalam gua juga terdapat "dug-dug batu" yang menimbulkan bunyi yang sangat keras jika dipukul.

Gua di Desa Klompang ini memang terlihat belum terawat sebagaimana gus di Desa Bicorong. "Gua ini sebenarnya juga potensial untuk dijadikan objek wisata," kata Badri.

Menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat, gua di Desa Klompang Barat ini juga tembus ke gua Payudan yang ada di Desa Payudan Dungdang, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep yang merupakan guna bersejarah di Madura.

Di jarak sekitar 500 meter dari mulut gua, ada batu yang menyerupai ranjang tidur. Hanya untuk menuju ke tempat itu membutuhkan penerangan yang cukup dan terkadang harus berjalan jongkok, karena lorong gua sempit.

"Yang pernah masuk ada warga desa itu juga, tapi dia sudah meninggal. Saat hidup menceritakan tentang kondisi lorong gua ini yang ada di dalam sana," kata Badri menuturkan. (*)

Sumber: Antara, Minggu, 4 Oktober 2009

Label: ,

Sate Lalat Khas Madura

Jalan-jalan ke Madura, terutama Kota Pamekasan dan Sumenep, rasanya tidak tuntas jika belum mencicipi Sate Lalat.

Madura tak hanya identik dengan soto Madura yang telah kesohor. Di pulau Garam ini khususnya di Pamekasan dan Sumenep ada menu istemewa yakni Sate Lala' (madura, red).

Eiit, jangan terkecoh dengan namanya. Mungkin Anda akan jijik atau geli. Namun, jika Anda merasa geli Anda tidak salah. Tetapi, aroma dan rasanya benar-benar mengundang selera.

Jika Anda menyempatkan diri mengunjung Jalan Niaga di Kabupaten Pamekasan. aroma sate lalat sudah menggoda sepanjang jalan. Para penjaja sate tentu berjejeran di sepanjang jalan ini.

Seperti sate kebanyakan, sate lalat terbuat dari daging ayam, kambing atau sapi. Namun ukurannya yang kecil seperti lalat, sehingga sate yang satu ini dijuluki sate lalat.

Anehnya, meski jenis daging berbeda. Namun harganya tetap sama. Yakni Rp 6 ribu per porsi. Muzammil, salah satu penjual sate lalat di Jalan Trunojoyo kabupaten Sumenep mengaku per harinya menyediakan 200 tusuk sate lalat.

"Karena dagingnya kecil-kecil. Cara membakarnya pun harus cepat-cepat. Jika lama ya akan gosong," katanya.

Muzammil yang telah 11 tahun menjual sate lalat mengaku, meski sate lalat porsinya sedikit tape rasanya selangit. Dan, penggemarnya pun beragam. Dari rakyat biasa, pejabat hingga pengusaha kaya.

Apa menu rahasianya? Sebetulnya sangat sederhana. Jenis bumbunya pun tak asing. Yakni kacang, sambal dan kecap. Yang membedakan adalah cara meramunya. Caranya?
"Justru itu rahasianya mas," ungkapnya.(CK-Haris)

Sumber: berita8.com, Minggu, 18 Januari 2009

Label: , , ,

Bubur Sarikoyo Dari Bangkalan

Bagi warga bangkalan. Saat ini ada menu khusus yang tidak lagi didapatkan selain bulan ramadlan. Ya, namanya Bubur Sarikoyo. Meski mirip dengan nama buah yaitu srikaya, tetapi bahan utama pembuatan bubur sarikoyo tak sedikitpun berasal dari buah tersebut.

Makanan ringan ini, terbuat dari irisan pisang raja, roti tawar serta santan bercampur telur. Sarikoyo ini biasa menjadi menu pengantar berbuka puasa. Namun, karena banyaknya permintaan dari penggemar bubur Sarikoyo, saat ini bubur sarikoyo tidak lagi disantap pada menu buka puasa. Tetapi sudah menjadi santapan setiap hari warga Bangkalan.

Menu khas bangkalan yang satu ini, tidak kalah nikmat dengan menu santapan di tempat lain. Warga Bangakalan biasa menyebut makanan ringan ini dengan sebutan sarikoyo. Apalagi, proses pembuatannya sangat mudah.

Mau tahu?. Jika anda kebelet membuat menu yang satu ini. Maka. siapkan wadah sesuai selera yang diisi dengan roti tawar yang disuwir-suwir. Lalu, campurankan santan dan telur. Nah, di atas wadah tersebut kemudian diberi irisan pisang raja.

Setelah selesai, sarikoyo yang setengah jadi ini kemudian dikukus Selama 10 hingga 15 menit. Sarikoyo yang sudah dikukus selama 15 menit tersebut sudah siap dihidangkan. Sangat mudah kan.

Aminah, penjual sarikoyo mengatakan, makanan ringan sarikoyo ini dulunya memang khusus dibuat pada bulan puasa. Namun, saat ini tidak. Sarikoyo dibuat dari irisan pisang raja, roti tawar dan susu dicampur telur. Agar aroma bisa menyatu, sarikoyo ini kemudian dikukus selama kurang lebih 10 menit.

Setiap hari, warung aminah ini ramai dikunjungi pelanggan. Seperti Muawanah, warga Bangkalan yang biasa menyantap sarikoyo. Muawanah mengaku, sarikoyo terasa nikmat dan segar, irisan pisang raja bercampur roti tawar dan susu yang telah dikukus terasa sejuk di tenggorokan.

“Untuk, menikmati sarikoyo, saya tidak menunggu lagi bulan puasa. Saat ini sudah tersedia. Rasanya sama-sama nikmat,” katanya.

Dalam setiap porsinya, sarikoyo ini dijual dengan Rp 4 ribu. Dalam sehari, Aminah bisa menjual sedikitnya 50 porsi sarikoyo. Mau? Silahkan mencoba membuatnya.(Hrs)

Sumber: berita8.com, Jum'at, 06 Maret 2009

Label: , , ,

Camilan Kripik Bentul Khas Madura

Komoditas bentul atau sejenis tanaman ubi-ubian kini tak asing lagi di Madura khususnya di Kabupaten Sampang dan Pamekasan. Kripik bentul dengan Kombinasi konsumsi di kukus ini benar-benar berasa di lidah. Kerenyahannya telah dijadikan tangan pelancong jika menuju tanah Jawa.

Sri Warninda, adalah perempuan yang kesehariannya memeroduksi kripik bentul. Kripik bentul buatan warga Jalan Jokotole Pamekasan ini telah berhasil menembus pasaran kota-kota di pulau Madura. Sebagian lagi, kripik bentul racikannya telah berhasil tembus di kota besar Jawa seperti Malang, Surabaya, Bandung dan Yogyakarta.

Apalagi, kripik bentul buatan Sri Warninda kebanyakan dipesan pejabat di Pamekasan. Dan, banyak pelancong untuk dikirim sebagai buah tangan bagi koleganya di luar daerah.

Sri Sabtu, menceritakan Kamis, (14/2), tahap awal sebelum mengolahnya, Sri mendatangkan bahan baku bentul dari Kecamatan Proppo, Pamekasan. Dia mengatakan, yang paling baik di buat keripik adalah bentul besar dan sudah tua.

"Setiap harinya saya membeli Rp 8 ribu per umbi. Yang mana, setiap produksinya saya membutuhkan lima pulh umbi bentul yang berbobot satu kuintal," katanya.

Dikatakan, proses pembuatannya sebelum digoreng, umbi bentul harus dipotong dari tangkalnya. Setelah itu, dikupas bersih dan dicuci.

"Setelah proses ini baru di iris-iris dengan mesin pemotong," ungkapnya.

Irisan setebal dua mili ini, sambung Sri, lalu direbus di atas air mendidih. Sebelumnya, air mendidih ini dibumbui garam dan bawang putih.

"bumbu inilah yang membuat keripik bentul yang membuat cita rasanya berbeda," jelasnya.

Setelah semuanya siap, kini umbi rebus yang sudah diiris dan dicampur dengan bumbu siap digoreng. Gorengan kripik ini lalu dikemas ke dalam plastik kemasan seperampat kiloan.

"Ah ini setiap kantong plastik kripik bentul dilepas seharga Rp 10 ribu," paparnya.

Ia menambahkan, kripik bentul buatannya ini tidak pernah memakai bahan pengawet. Dirinya hanya menggunakan garam dan bawang putih. Namun, kenapa enak? Dirinya menceritakan, bahwa keripik bentul buatannya selalu menggunakan ubi yang segar yakni baru di cabut dari tanah.

"Jadilah kripik ini bisa bersaing di luar Madura. Yakni Malang, Surabaya, Tuban, Jogja dan Jakarta," terangnya.

menurut Erfan, suami Sri mengatakan, kelebihan kripik bentul buatan istrinya terletak pada rasanya yang gurih. Yakni, tidak lembek saat digoreng. Dan, di bagian dalam bentul terdapat serat warna warni yang halus.

"Serat inilah yang membuat cita rasanya lebih gurih," pungkasnya.

Saat ini, kripik bentul menjadi salah satu camilan khas Madura.Kripik ini selalu menjadi buah tangan warga Madura yang akan bepergian ke Jawa.(Hrs)

Sumber: berita8.com, Sabtu, 14 Februari 2009

Label: , , , ,

Perawatan Bak Ratu dengan Spa Keraton Sumenep

ADA begitu banyak teknik atau cara tradisional untuk merawat kecantikan dan kebersihan kulit. Salah satu yang pantas dicoba adalah spa Keraton Sumenep. Dalam perawatan ini, seorang perempuan dirawat bak ratu.

Keraton Sumenep di Jawa Timur dikenal dengan sebutan Potre Koneng atau Putri Kuning. Disebut seperti itu karena dulu pernah hidup seorang puteri keraton, Ratu Ayu Tirto Negoro, yang memiliki kulit kuning bersih. Untuk menghormati sang permaisuri, atap Keraton Sumenep diberi warna kuning cerah.

Rienne Tirmidzi kemudian mendirikan sebuah Salon & Spa, di kawasan Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, untuk melestarikan teknik perawatan kecantikan wanita yaitu spa Keraton Sumenep. "Karena suami saya berasal dari sana dan perwatan kecantikan dengan menggunakan bahan-bahan alami khas Keraton Sumenep," jelas ibu dari 4 orang anak ini.

Semua bahan yang digunakan dalam perawatan ini, yaitu rempah-rempah, didatangkan dari Keraton Sumenep. Dan perawatan ini untuk mereka yang akan menikah. "Sebenarnya perawatan ini adalah untuk mereka yang akan menikah. Berguna untuk menghaluskan dan memutihkan kulit," kata wanita berkacamata itu. Manfaat dari perawatan adalah mengeluarkan racun-racun dari dalam tubuh, mengangkat sel kulit mati, menyegarkan, menghaluskan, serta membersihkan kulit dari segala kotoran.

Bak Puteri

Perawatan ini dimulai dengan massage pada seluruh bagian tubuh. Pijatan barawal dari telapak kaki, lalu ke betis, pinggang, punggung, hingga ke bagian tengkuk leher untuk memperlancar peredaran darah. Dalam massage yang berlangsung selama 1-1,5 jam ini digunakan minyak zaitun.

Setelah massage, tahap berikutnya adalah scrub dengan scrub bulat berwarna kuning yang sudah dihaluskan dan dicampurkan dengan ramuan khas Madura. Ramuan itu dibalurkan ke seluruh tubuh sebagai peeling untuk mengikis kotoran dan sel kulit mati dan membuat kulit tidak bersisik, sehingga kulit lebih cerah dan mulus.

Setelah ramuan itu setengah kering, gosok perlahan. Sesekali bisa dilakukan pijat ringan seperti pada bagian punggung dan tangan. Selanjutnya, steam dengan rempah-rempah selama 15-20 menit. Atau dapat pula dengan sauna selama 10-15 menit dengan suhu sekitar 40 derajat C. "Untuk yang memiliki tekanan darah rendah atau pun tinggi, disarankan agar berhati-hati dan jangan berlama-lama untuk steam atau sauna," imbuh Rienna.

Tahap selanjutnya adalah pemberian masker secara merata ke seluruh tubuh. Diamkan hingga kering. Baru setelah itu klien bisa berendam dalam bath up berisi rempah-rempah yang sudah direbus terlebih dahulu. Rempah-rempah itu seperti kayu cendana, bunga cantil, akar wangi, kayu manis, dan bunga pala agar tubuh menjadi lebih wangi.

Perawatan dilanjutkan dengan ratus, yaitu duduk di atas bangku kayu yang tengahnya sudah dibuat lubang dan di bawah lubang telah ditaruh rempah-rempah khas sehingga membuat organ intim menjadi lebih sehat dan wangi. "Ratus sangat baik untuk organ intim wanita, baik dilakukan 15-20 menit, sambungnya. Setelah rangkaian perawatan tubuh selesai, rangkaian perawatan tubuh selesai, perawatan selanjutnya adalah perawatan rambut, yaitu hair mask.

Setelah seluruh rangkaian perawatan selesai, klien bisa menikmati ginger cookies dan poka, minuman khas daerah Sumenep yang terbuat dari serai, jahe, gula aren, dan rempah alami yang berguna untuk menghangatkan tubuh.

Perawatan ini bisa dilakukan oleh perempuan berusia 20-50 tahun. "Dalam 1 kali perawatan spa keraton Sumenep ini sudah terlihat hasilnya, dengan memakan waktu sekitar 3-3,5 jam dan harga yang cukup reasonable," tandas Rienna. (Genie/Genie/tty)

Sumber: OkeZone, Sabtu, 16 Mei 2009

Label: ,