Arif Rahman: Calon Wisudawan
Universitas Trunojoyo dengan IPK Tertinggi
Pernah Dicibir karena Masuk Unijoyo
Meraih sukses di bangku kuiah bukan hal yang mudah. Sebab, kesuksesan tidak hanya diperoleh dari tatap muka dengan dosen atau ujian semata. Kesuksesan di masa kuliah berarti seimbang memperlakukan diri di pergaulan dan lingkungan belajar. Bagaimana Arif Rahman bisa meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) tertinggi?
MASUK Universitas Trunojoyo Madura (Unijoyo) pada 2005, pemuda yang akrab disapa Arif ini berhasil lulus tepat waktu. Di samping lulus tepat waktu, hal yang paling membanggakan adalah lulus dengan predikat cumlaude. IPK-nya 3,87, tertinggi dari semua calon wisudawan yang akan dikukuhkan besok di kampus Unijoyo.
Pemuda kelahiran Sumenep, 28 Februari 1987 itu masuk fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Sejak semester I dia telah mendapatkan nilai di atas rata-rata.
Di akhir kuliahnya dia membuat karya tulis akhir skripsi tentang akuntansi yang berkaitan dengan perpajakan. Yaitu, Pengaruh Pemahaman Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak PBB terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak di Kecamatan Kota Kabupaten sumenep.
Judul skripsi akuntansi yang berhubungan dengan pajak di Unijoyo masih sangat langka dan penerimaan pajak yang kurang maksimal melatarbelakanginya membuat skripsi tentang pajak. Kesimpulannya dalam penelitian tersebut bahwa faktor yang memengaruhi pembayaran pajak hanya kesadaran. Artinya, minimnya pembayaran pajak PBB di Sumenep Kota disebabkan kesadaran yang rendah.
Saat ditemui koran ini, Arif ternyata sosok yang cukup pemalu. Kepada koran ini dia menceritakan bagaimana awal hingga akhir dia kuliah di Unijoyo. "Saya masuk lewat jalur PMDK (penelusuran minat dan kemampuan). Jadi, memang sejak awal niatnya masuk Unijoyo," tuturnya.
Saat memutuskan masuk Unijoyo, teman-temannya sempat mencibirnya. Sebab, kebanyakan temannya banyak memutuskan kuliah di luar Madura. "Saya lalu aktif di kegiatan mahasiswa. Saya akhirnya bisa mengunjungi kampus di luar Madura sana. Saya melihat kualitas kami sama saja dengan yang di luar sana," ungkapnya.
Hanya, sambungnya, yang membedakan Unijoyo dengan kampus luar Madura adalah kurangnya fasilitas pendukung belajar. "Tapi bagi saya yang penting bukan itu. Yang penting semangat dan niat belajar. Soalnya, meski ada fasilitas kalau mahasiswanya tidak niat ya tetap saja ketinggalan," ungkapnya.
Minimnya fasilitas di Unijoyo menurutnya akan segera berlalu dengan makin banyaknya pembangunan dan upaya melengkapi berbagai perlengkapan pendukung belajar. "Saya yakin, akan makin banyak yang berminat kuliah di kampus ini. Masak sudah banyak yang minat mau tetap seperti dulu. Saya sudah melihat perubahan dan peningkatan fasilitas sekarang," ujarnya.
Keberadaan fasilitas itu tidak akan membuahkan hasil jika tak diimbangi dengan semangat dan niat belajar. Bisa jadi, banyak mahasiswa kurang punya niat belajar dan semangat karena lingkungannya. Namun, lingkungan belajar yang menciptakan niat dan semangat bisa diciptakan.
"Seperti saya, barangkali mahasiswa yang kurang niat dan tidak semangat itu bisa diingatkan untuk bagaimana mencapai hidup yang lebih berkualitas. Ingatkan mereka pada jerih payah orang tuanya untuk membiayai kuliah anak-anaknya," imbaunya.
"Jujur saja, saya tidak terlalu rajin belajar. Saya hanya berusaha fokus pada pelajaran yang saya terima dan membahasnya dengan teman," paparnya. Dengan begitu, imbuhnya, dia tak perlu harus belajar tiap malam untuk menghadapi ujian. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)
Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 16 Oktober 2009
Label: humaniora, pendidikan, unijoyo
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda