Asta Nyamplong Sepudi

Pasareanna Adipoday

È kampong Nyamplong dhisa Nyamplong bâḍâ sèttong Asta (kobhuran kona) sè kasebbhut pasarèanna Aḍipoḍây otabâ asta Nyamplong, amarghâ ghi’ lambâ’ bânnya’ bhungkana nyamplongnga. Kacator sè èsarèyaghi è asta ka’dinto èngghi panèka Aḍipoḍây sareng Potrè Konèng.

Aḍipoḍây jhughân sè kasebbhut Panḍhung Siluman otabâ Arya Baribin Panembahan Wirakrama, sè marènta Songennep è taon 1399 kantos 1415 sè èngghun karaton è polo Poḍây (Sepudi). Mèlana ènyamaè Sepudi asal oca’ “Sepuh Dewe” artèna palèng towa amarghâ aghâma Islam maso’ ka Madhurâ (Songennep) lèbat Poḍây dhâddhi palèng ngadâ’ (towa) Islamma, sè èbhâkta sareng Sayyid Ali Murtadha Sunan Lembayung Fadhâl otabâ sè kasebbhut Rato Panḍhita, èngghi panèka kaka’na Sayyid Ali Rahmatullah otabâ Sunan Ampèl. Rato Panḍhita otabâ Sunan Lembanyung Fadhal kaaghungan potra empa’, èngghi panèka Usyman Haji / Sunan Ngudung, Haji Utsman / Sunan Manyuran Mandalika, Tumenggung Pulangjiwa / Panembahan Blingi, Nyè Ageng Tonḍo rajina Sunan Kertayasa Sampang. Sunan Ngudung ka’ḍinto ramana Sunan Kudus sè toron ka Pangèran Katandur. Sunan Manyuran aḍhâḍhuko è Manyuran Lombok (NTB), Pulangjiwo kaaghungan potra ḍuwâ’ èngghipanèka Aḍipoḍây sareng Aḍirasa.

Aḍipoḍay araji Potrè Konèng kaaghungan potra ḍuwâ’ asmana Jokotole sareng Agus Wèḍi. Jokotole ajuluk Raden Aryo Kujopanole Pangeran Secodiningrat III, jumenneng Adipati Songennep taon 1415 kantos 1460 engghun karaton è Lapataman Dungkè’. Aḍipoḍây ka’dinto sè ngajhâri maghârsarèna carana ngobu tor arabât sapè sè saè tor samporna, saengghâna sapè è polo Poḍây dhâdhhi gul-agulla sapè sa Madhura, kantos kalonta ḍâ’ manca naghârâ.

Sakèng cè’ èmanna ḍâ’ kabâdâ’ân asta panèka ampon aobâ ta’ kadhi aslina, saèngghâna ta’ bisa èpangghi omorra bâto kèjhing tor paèsan sè kona tor aropa’aghi ”peninggalan sisa situs sejarah” Sanaos kadhika’ḍinto, ghi’ bânnya’ para maghârsarè ḍâri lowar polo Madhurâ akadhi ḍâri Situbondo, Bondowoso, Jember sareng salaènna, rabu kaangghuy aziyarah ḍâ’ pasarèan otabâ asta Nyamplong ka’ḍinto.

Jhughân è pasarèan ka’ḍinto ghi’ bâḍâ pakakas sareng pèyadhânnèpon Adipoḍây sè ghi’ èrabât tor èparatènè sareng panjâgâna akadhi katèdungan, paddhâsân tor sanjâta akadhi calo’ koḍhi’ kerrès, gulu’ sareng tombhâk. Manabi para maos terro onènga, ngèrèng èatorè rabu ḍâ’ dhisa Nyamplong polo Poḍây Kabupatèn Songennep.

Sumber: Tadjul Arifien R

Label: , ,

Zawawi Imron Raih Penghargaan dari Thailand

Minggu depan, tanggal 12 Februari 2012, akan menjadi saat yang membanggakan bagi penyair jempolan asal Madura, D Zawawi Imron. Dia akan terbang ke Thailand guna memenuhi undangan Raja Thailand untuk menerima penghargaan Penyair Asia Tenggara (South East Asia Writer Award).

Sastrawan yang telah menginjak usia 69 (tapi dia tidak mengetahui tanggal dan bulannya) ini mengatakan bahwa penghargaan diperoleh dari antologi puisinya yang berjudul 'Kelenjar Laut'.

"Buku antologi puisi Kelenjar Laut ini yang mau saya bawa ke Thiland, karena ini yang dinilai," ungkap Zawawi kepada beritajatim.Com, saat ditemui di sela-sela acara Workshop Penulisan Kreatif di SMK Satya Widya, Kamis (02/02/2012).

Buku itu juga yang mengantarkannya meraih penghargaan tahun 2010 dan juga tahun 2011 dari Pusat Pembinaan Bahasa Nasional. Puisi-puisi yang mendapat apresiasi luar biasa ini, berisi puisi bebas yang tetap menunjukkan ke-khasan kampung halamannya, Madura.

Nilai seni yang tinggi dalam "Kelenjar Laut" juga diamini oleh sastrawan muda dan juga murid Zawawi Imron, Mardi Luhung. "Puisi-puisi beliau ini, memang punya kekhasan dan pantas jika mendapat penghargaan," kata Mardi.

Zawawi yang pernah memperoleh penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara di Malaysia ini juga siap melaunching 85 sajak-sajaknya terbaru yang ia beri judul 'Kaki Tiga'. Pemberian nama 'kaki tiga' terinspirasi dari kondisi zawawi yang sejak 4 bulan lalu harus berjalan dibantu dengan tongkat.

Saat ditanya apa pesan untuk para pemuda, Zawawi mengutip ungkapan di sastra Jawa yang sering disampaikan Sunan Kalijaga. "Dadio wong seng iso rumongso, ojo dadi wong seng rumongso iso," ungkapnya.

Sekadar diketahui, D Zawawi Imron adalah penyair yang tidak tamat Sekolah Rakyat. Sampai sekarang, dia tetap tinggal di desa kelahirannya (di Batang-batang, Sumenep, Madura). Dia pernah memenangkan hadiah utama penulisan puisi ANTV (1995).

Bersama Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, dan Ayu Utami, Zawawi pernah tampil dalam acara kesenian Winter Nachten di Belanda (2002). [hay/but]

Karya-karya Zawawi:
  • Semerbak Mayang (1977)
  • Madura Akulah Lautmu (1978)
  • Celurit Emas (1980)
  • Bulan Tertusuk Ilalang (1982; mengilhami film Garin Nugroho berjudul sama)
  • Nenek Moyangku Airmata (1985; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K, 1985)
  • Bantalku Ombak Selimutku Angin (1996)
  • Lautmu Tak Habis Gelombang (1996)
  • Madura Akulah Darahmu (1999).
Reporter: Hayik Ali Muntaha

Sumber: bertajatim, Kamis, 02 Februari 2012

Label: , , , , ,

Asal usul Nama dan Berdirinya Kabupaten Sumenep

Sumenep adalah nama salah satu Kabupaten diujung Paling Timur Pulau Madura, yang konon katanya merupakan Kadipaten Berpangaruh atas Lahirnya Kerajaan Majapahit dahulu. Berdirinya Kabupaten ini tak luput dari peran Tokoh zaman Kerajaan yang bijaksana dan pintar yakni “Arya Wiraraja”.
Dalam Tulisan kali ini, Warta Giligenting mencoba mengingatkan akan sejarah Sumenep dilihat dari asal usul nama “Sumenep”.

Dari kabar yang berkembang di kalangan masyarakat Kabupaten Sumenep, soal asal usul Nama Sumenep masih terdapat perbedaan dalam memaknainya. Misalnya kalangan kelompok terpelajar dan tinggal di sekitar pusat kabupaten Sumenep, umumnya menyebut dengan kata Sumenep.

Sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan, menyebutnya dengan kata “Songennep”. Namun dari sumber Pararaton disebutkan kata Songennep dikenal atau lahir lebih awal daripada sebutan Sumenep.

Pararaton menyebutkan sejumlah bukti antara lain sebutan Songennep lebih banyak dipakai atau dikenal oleh sebagian besar penduduk kabupaten Sumenep. Kemudian, pengarang buku sejarah dari Madura R. Werdisastro menggunakan istilah Songennep dalam bukunya berjudul “Babad Songennep”. Sementara sebutan Songennep kurang populer di masyarakat pedesaan Sumenep, (80% dari jumlah penduduk kabupaten Sumenep tinggal di desa).

Untuk menyeragamkan penyebutan Sumenep, maka pada ada inisiatif untuk merubah nama Songennep menjadi Sumenep di zaman penjajahan Belanda. Perubahan itu terjadi pada permulaan abad XVIII (1705), ketika Belanda memulai peran dalam menentukan politik kekuasaan pemerintahan di Madura termasuk Sumenep.

Perubahan nama Songennep menjadi Sumenep, antara lain untuk penyesuaian atau kemudahan dalam pengucapan agar lebih sesuai dengan aksen Belanda. Bagi mereka lebih mudah mengucapkan Sumenep daripada melafalkan Songennep.
Selian itu perubahan nama juga untuk menanamkan pengaruh kekuasaan Belanda terhadap Masyarakat Sumenep, sama seperti perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia.

Arti Kata

Dilihat dari arti katanya, Songennep adalah nama asal pada masa kuno. Songennep menurut arti etimologis (asal-usul kata), yaitu :Song berarti relung, geronggang (bahasa Kawi), Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi, Songennep berarti lembah bekas endapan yang tenang. Selain itu ada juga yang mengartiikan bahwa Song berarti sejuk, rindang, payung. Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi, Songennep berarti lembah endapan yang sejuk dan rindang.

Arti yang kata lainnya juga menyebutkan bahwa Song berarti relung atau cekungan. Ennep berarti tenang. Jadi, Songennep berarti lembah, cekungan yang tenang atau sama dengan pelabuhan yang tenang.

Dalam masyarakat Sumenep sendiri juga berkembang pengartian Songennep dibagi menjadiMoso ngenep.Moso dalam bahasa Madura berarti lawan atau musuh, Ngenep berarti bermalam. Jadi, Songennep berarti lawan atau musuh menginap atau bermalam. Cerita mengenai asal-usul nama “Songennep” berdasarkan versi ini sangat popular di lingkungan masyarakat Sumenep.

Cerita atau pendapat ini dihubungkan dengan suatu peristiwa bersejarah di Sumenep tahun 1750, yaitu saat diserangnya dan didudukinya keraton Sumenep oleh Ke Lesap yang berhasil menaklukkan Sumenep dan selama 1/2 bulan tinggal di keraton Sumenep. Karena peristiwa tersebut, maka dinamakan Moso Ngenep yang artinya musuh bermalam.

Meski demikian, pengartian Moso Nginep dinilai tidak benar, sebab kitab Pararaton yang ditulis tahun 1475-1485 sudah menuliskan nama Songennep. Ini berarti nama Songennep sudah lahir sebelum Ke Lesap menyerang Sumenep.
Kitab itu menyatakan bahwa, Songennep berasal dari kata-kata Ingsun Ngenep.Ingsun artinya saya, sedangkan Nginep artinya bermalam. Jadi Songennep berarti saya bermalam. Pendapat ini kurang popular di kalangan rakyat dibandingkan dengan versi lainnya. Ada orang yang menghubungkan dengan peristiwa ini dengan kejadian 700 tahunyang lalu, ketika Raden Wijaya mengungsi ke Madura akibat dikejar-kejar Jayakatwang.

Kadipaten Sumenep

Saat itu Kadipaten Sumenep berada dibawah kekuasaan Kerajaan Singosari, dengan penguasanya Raja Kertanegara. Dengan demikian Arya Wiraraja dilantik oleh Raja Kertanegara, sehingga sumber prasasti yang berhubungan dengan Raja Kertanegara dijadikan rujukan bagi penetapan Hari Jadi Kabupaten.

Sumber prasasti yang dapat dijadikan sebagai rujukan adalah prasasti antara lain, Prasasti Mua Manurung dari Raja Wisnuwardhana berangkat tahun 1255 M, Prasasti Kranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1356 M, Prasasti Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1267 M, Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1269 M.

Sedangkan sumber naskah (manuskrip) yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut tokoh Arya Wiraraja, antara lain Naskah Nagakertagama karya Rakawi Prapanca pada tahun 1365 M, Naskah Peraraton di tulis ulang tahun 1631 M, Kidung Harsa Wijaya, Kidung Ranggalawe, Kidung Pamancangan, Kidung Panji Wijayakramah, Kidung Sorandaka.

Dari sumber sejarah tersebut, maka sumber sejarah Prasasti Sarwadharma yang lengkapnya berangkat tahun 31 Oktober 1269 M, merupakan sejarah yang sangat signifikan dan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kertanegara telah menjadi Raja Singosari yang berdaulat penuh dan berhak mengangkat seorang Adipati.

Prasasti Sarwadharma dari Raja Kertanegara di Desa Penampihan lereng barat Gunung Wilis Kediri. Prasasti ini tidak lagi menyebut perkataan makamanggalya atau dibawah pengawasan. Artinya saat itu Raja Kertanegara telah berkuasa penuh, dan tidak lagi dibawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana telah meninggal tahun 1268 M.

Prasasti Sarwadharma berisi penetapan daerah menjadi daerah suatantra (berhak mengurus dirinya sendiri) dan lepas dari pengawasan wilayah thani bala (nama wilayah/daerah saat itu di Singosari). Sehingga daerah swatantra tersebut, yaitu daerah Sang Hyang Sarwadharma tidak lagi diwajibkan membayar bermacam-macam pajak, pungutan dan iuran.

Atas dasar fakta sejarah ini maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan tanggal 31 Oktober 1269 M, dan peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269 M, yang diperingati pada setiap tahun dengan berbagai macam peristiwa seni budaya, seperti prosesi Arya Wiraraja dan rekan seni Budaya Hari Jadi Kabupaten Sumenep. (*)

Sumber: Warta Giligenteng, Minggu, 19/02/2012

Label: , , ,

Labang Mesem

Wall Photo Abdul Hadi Wm

Labang Mesem atau Pintu Senyum -- pintu gerbang keluar kraton Sumenep, dibangun pada abad ke-18 M. Atap tumpang di atas gerbang ini sekeluarga dengan dg yang terdapat di Jawa dan Aceh. Inilah satu-satunya kraton lama di Jawa Timur yang masih ada dan utuh. Seharusnya lebih banyak mendapat perhatian pemerintah, apalagi banyak koleksi benda bersejarah dan seninya yang raib entah kemana

Label: , , , , , , ,

Diduga Bekas Kraton Bangkalan

foto: din/zonaberita.com
Rumah ini diduga bekas Keraton Bangkalan

Sebuah rumah milik Hansye Woing, warga kampung Saksak, Kelurahan Keraton, Kecamatan Bangkalan, diduga bekas bangunan kraton Raja Bangkalan, Raden Aryo Tjakraningrat.

Bangunan di atas tanah seluas 10 ribu meter persegi itu rencananya akan dibongkar dan dijual oleh pemilik rumah.

Menurut penuturan salah satu penghuni rumah, satu tiang rumah berlapis perunggu sudah ada yang menawar seharga Rp 100 juta. Bahkan beberapa bangunan mulai di bongkar karena tanahnya akan dijual.

“Bangunan itu tidak terdaftar di Trowulan makanya kami berani bongkar. Itu hak guna bangunan sah dari pertanahan,” kata Hansye Woing, pemilik bangunan, Rabu (29/12/2010).

Namun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangkalan melalui aparat kelurahan setempat mendesak agar pembongkaran rumah kuno dihentikan, karena merupakan peninggalan Raden Aryo Tjakraningrat.

Pemkab Bangkalan melalui Lurah Keraton berencana menggugat keberadaan sertifikat dan akan berupaya agar bangunan keraton tersebut kembali menjadi milik negara. (din/isp)

Sumber: ZonaBerita, Rabu, 29 Desember 2010

Label: , , , , ,

Pusaka Berusia Tiga Abad Dipamerkan di Bangkalan

Sebanyak tiga ratus benda pusaka, salah satunya berusia tiga abad, diikutkan dalam acara pameran pusaka di halaman Museum Cakraningrat, Jalan Soekarno-Hatta, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Sabtu.

Ketua Panitia Pameran Pusaka R. Abdul Hamid Mustari mengatakan, pihaknya menggelar pameran pusaka tersebut bertujuan untuk melestarikan budaya yang telah diwariskan nenek moyang.

"Kami sebagai generasi penerus harus bisa melestarikan budaya yang telah diwariskan. Sehingga keberadaan benda pusaka tetap terjaga dan masih ada," kata Hamid pada wartawan saat ditemui di sela-sela acara pameran.

Hamid menjelaskan, benda pusaka yang dipamerkan dalam acara tersebut meliputi keris, tombak, dan sebuah bokor patung kendedes. Benda pusaka yang dipamerkan itu usianya mulai 50 tahun hingga tiga abad.

"Seperti pusaka milik Raja Sultan Abdul Kadirun yang usianya telah mencapai 300 tahun. Itu juga ada dalam pemeran ini," katanya.

Menurut Hamid, acara pameran pusaka akan berlangsung selama tiga hari. Serta dalam pameran ini tidak hanya dipajang, namun jika ada pengungjung yang berminat ingin membeli salah satu dari pusaka itu diperbolehkan.

"Harga pusaka yang dipamerkan paling murah harganya Rp500 ribu hingga puluhan juta rupiah," ujarnya.

Hamid menambahkan, sebagai generasi muda sudah seharusnya melestarikan benda pusaka seperti keris. Sebab, keris merupkan salah satu warisan budaya yang diakui oleh dunia, yang sempat diklaim milik negara tetangga yakni Malaysia.

"Sebenarnya pameran pusaka dilaksanakan pada malam Bulan Suro (Muharam). Namun, karena banyak kegiatan akhirnya acara tersebut baru digelar sekarang," katanya menjelasklan.
foto: antiquemagicshop.blogspot.com

Sumber: Antara Jatim, 09/01/2010

Label: , , ,

Kenalkan Budaya Madura Sejak Dini

Suasana ruang kelas 2A SD Islam Al Azhar Kelapa Gading Surabaya berubah total Sabtu (16/1) pagi tadi. Bangku dan kursi siswa yang biasanya memenuhi kelas ini tak tampak.

Yang terlihat justru sebuah meja besar dengan beraneka macam makanan dan minuman di atasnya. Beberapa dari makanan dan minuman ini cukup asing di telinga warga Surabaya.

Sebut saja, es ko’buk, minuman dingin berbasis gula jawa, jahe dan cincau hitam ini sekilas mirip dawet. Namun ini adalah salah satu minuman khas madura yang disajikan untuk menyambut tamu-tamu penting kerajaan. Selain es ko’buk, ada juga nasi serpang, makanan nasi campur yang mirip dengan nasi krawu khas Gresik, topak ladhah, setup salak serta tajin sobik.

Makanan dan minuman ini disajikan untuk mengenalkan kuliner khas Madura kepada siswa-siswi perguruan Al Azhar Kelapa Gading Surabaya yang tadi pagi mengadakan pekan budaya Madura di sekolah mereka. Selain memamerkan makanan dan minuman khas madura, para siswa TK hingga SMP di sekolah ini juga disuguhi penampilan aneka macam kesenian khas Pulau Garam seperti tari pecut.

Yang menarik, seluruh siswa dan orang tua Tk dan SD diwajibkan memakai pakaian adat khas Madura. Mereka juga didaulat untuk melakukan peragaan busana di hadapan para undangan dari Dewan Kesenian Surabaya (DKS), tokoh masyarakat Madura, serta undangan yang hadir dalam acara tersebut. Lenggak-lenggok murid TK dan SD bersama orang tuanya tersebut, tak jarang disambut gelak tawa hadirin.

Menurut Drs Najib Sulhan MA yang merupakan ketua panitia acara, kegiatan kali ini diadakan dalam rangka milad ke-8 sekolah yang berlokasi di Perumahan Bhaskara Jaya, Mulyorejo ini. Tujuan utamanya adalah untuk mengenalkan budaya Madura sebagai salah satu budaya lokal yang harus dilestarikan. “Ide awalnya kita ingin membantu mempromosikan kebudayaan Madura setelah dibangunnya jembatan Suramadu,” kata Najib Sulhan. Selain itu, menurut Najib sekolah juga ingin mengenalkan kebudayaan Madura ini agar para siswa paham dan ikut mencintai salah satu budaya khas Indonesia tersebut.

“Kita tidak ingin budaya khas seperti ini hilang atau diklaim bangsa lain seperti yang sudah-sudah,” tegas Najib. Selain memperkenalkan budaya dan kesenian Madura, dalam rangkaian acara ini juga diadakan seminar Seni Komunikasi Orangtua dalam Membingkai Karakter Anak dengan pembicara Arno Kernaputra, dosen dari London School Jakarta. (den)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 16 Januari 2010

Label: , , , , ,

Delapan Cagar Budaya Telantar

Kota Bahari ternyata memiliki banyak cagar budaya yang bisa dikembangkan untuk mendongkrak bidang pariwisata. Buktinya, di beberapa kecamatan banyak ditemukan cagar budaya yang masih alami alias natural dan belum dikelola pemerintah. Catatan koran ini, ada sembilan cagar budaya yang layak dipoles. Sayangnya, baru satu cagar budaya yang telah dikelola, yakni Asta Makam Ratoh Ebuh.

Sembilan cagar budaya warisan leluhur tersebut terdiri dari Bujuk Aji Gunung, Sumur Daksan, Makam Santo Merto, dan Makam Ratoh Ebuh. Termasuk Wisata Religi R Sayyid Abdurahman di Kecamatan Sokobanah dan Bujuk Nono di Kecamatan Torjun. Ditambah, Gua Macan dan Gua Burung di Kecamatan Sokobanah.

Sayangnya, perhatian dari pemerintah belum maksimal. Buktinya, yang baru mendapat perhatian adalah Asta Makam Ratoh Ebuh yang berlokasi di Kelurahan Polagan. Asta tersebut, informasinya mendapat kucuran dana untuk rehabilitasi congkop dari Pemkab Sampang.

Kepala Disbudparpora Sampang Achmad Bahrawi yang dikonfirmasi koran ini membenarkan banyaknya cagar budaya yang bertebaran di Sampang. "Saat ini, yang mendapatkan kucuran dana untuk rehabilitasi congkop baru Asta Ratoh Ebuh di Kelurahan Polagan. Jumlah dana yang dihabiskan untuk rehabilitasi congkop Makam Ratoh Ebuh diperkirakan sekitar Rp 500 juta. Kalau pemagaran itu berasal dari swadaya masyarakat," ungkapnya.

Dijelaskan, pihaknya sampai saat ini masih mendata sejumlah cagar budaya yang ada di Sampang. "Karena itu, kami berharap kepada masyarakat untuk memberikan informasi keberadaan cagar budaya kepada disbudparpora. Sehingga, cagar budaya tersebut bisa dikembangkan menjadi objek pariwisata. Kalau soal anggaran cagar budaya, kita akan usahakan 2010 mendatang," pungkasnya. (c17/yan/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 13 Oktober 2009

Label: , , , ,

Memasuki Bulan Sya'ban, Asta Tinggi Dipadati Peziarah

Memasuki bulan Sya’ban, sejumlah tempat wisata religius dipadati pengunjung. Salah satunya pemakaman raja di Asta Tinggi. Selama dua hari kemarin, jumlah pengunjung meningkat.

Biasanya, Asta Tinggi ramai didatangi peziarah ketika liburan sekolah. Namun, pada waktu istimewa seperti bulan Sya’ban, Ramadan, dan Muharrom, tempat pemakaman raja-raja Sumenep ini tak sepi dari peziarah.

”Selama musim liburan, Asta Tinggi penuh sesak peziarah. Karena sekarang hampir bulan Sya’ban,” kata salah seorang penjaga Asta Tinggi, Abd Raqib.

Di sejumlah makam raja, para peziarah khusyuk membaca serangkaian doa dan zikir. Ada yang membaca istigfar dan surat Yasin serta bacaan lainnya. Sehingga, cungkup bangunan ukuran 6x5 meter itu dipadati peziarah.

Saat ini, sedikitnya 700 warga mendatangi tempat ini. Padahal, sebelum liburan sekolah, pengunjung yang datang berkisar antara 200 hingga 300 pengunjung.

Biasanya wisatawan mengawali kunjungannya ke makam Sayyid Yusuf di Pulau Talango. Setelah dhuhur, Asta tinggi baru terlihat ramai.

Salah seorang wisatawan asal Pasuruan, Moh. Anwar mengaku mengunjungi asta tinggi untuk mengetahui makam raja-raja, peninggalan keraton Sumenep.

Sebab, dari sejarah, keraton Sumenep masih memiliki hubungan dengan Pulau Jawa. Selain ingin tahu tempat bersejarah, dia bersama keluarganya juga ingin mengharap berkah dari para tokoh dan ulama yang disemayamkan di tempat tersebut.iir

Sumber: Surabaya Post, Senin, 27 Juli 2009

Label: , , , , , ,

Koleksi Sejarah Madura Minim

PENGELOLA Perpustakaan Umum Daerah Sumenep harus giat lagi untuk menambah koleksi buku tentang kemaduraan. Sebab, literatur terkait Pulau Garam yang seharusnya menjadi unsur penting perpustakaan masih minim.

Ida Ekawati, wakil ketua Dewan Pendidikan Sumenep, mengatakan, perpustakaan umum daerah dituntut mengoleksi literatur sejarah Madura. Itu agar masyarakat Madura, khususnya generasi muda, tahu banyak tentang sejarah dan babat tanah Madura.

"Itu merupakan upaya untuk lebih meningkatkan kecintaan pada Madura," katanya.

Data di Kantor Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Sumenep pada 2009, koleksi buku mencapai 33 ribu buah. Menurut Sri Agustini, Kasi pengelola perpustakaan, jika dipersentasekan, buku agama 35 persen, hukum 10 persen, pendidikan 40 persen, buku umum (pelajaran, sosial, budaya, dan lain - lain) 25 persen.

Terkait koleksi buku yang berkaitan dengan sejarah Madura yang minim, diakui Rahmad Febrianto, staf perpus. Buku tentang Madura di perpus pun bukan tentang sejarah Madura. "Ada beberapa buku yang berhubungan dengan Madura," kata Rahmad.

Menurut dia, minimnya koleksi buku sejarah Madura penyebab utamanya adalah langkanya buku tentang Madura yang diterbitkan. "Sejarah Madura merupakan peristiwa klasik dan tidak banyak orang yang banyak tahu tentang sejarah Madura," katanya

Nah, alternatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat mengenai literatur Madura, pihak perpustakaan akan menerbitkan buku sendiri. "Caranya, mengumpulkan beberapa budayawan dan sesepuh yang banyak tahu tentang sejarah Madura," terang Rahmad.

Untuk memenuhi kebutuhan literartur, perpustakaan menambah koleksi buku tiap tahunnya. Penambahan buku berdasarkan katalog dan buku-buku yang terbaru. Pada 2008, alokasi anggaran penambahan koleksi buku Rp 200 Juta. Sedangkan pada 2009 turun menjadi Rp 150 juta.

"Pihak perpustakaan hanya mengajukan permohonan bardasarkan katalog buku. Berapa anggaran yang diturunkan, adalah kebijakan dewan," ujar Rahmad.(C22/mat)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 14 September 2009

Label: , ,

Usung Budaya Madura ke Jepang

Kesempatan menempuh pendidikan di Jepang tidak disia-siakan Okie Dita Apriyanto, mahasiswa Fakultas Sastra Mahasiswa Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya. Lelaki yang dari awal tertarik mempelajari budaya dan bahasa Jepang itu langsung mempersiapkan diri begitu namanya masuk dalam program beasiswa Monbukagakusho Japanese Studies Program. Sampai-sampai mahasiswa semester tujuh itu siap menunda kelulusannya untuk bisa menambah pengetahuan di Jepang.

Okie merupakan satu di antara empat mahasiswa Indonesia yang lolos seleksi program tersebut dan berhak menuntut ilmu di Chiba University. Untuk bisa masuk program itu, ia harus bersaing dengan 150 pendaftar se-Jatim dan ratusan lain dari seluruh Indonesia.

“Pada saat tes wawancara saya memaparkan ada dua motivasi mengikuti program ini yakni untuk mengasah kemampuan bahasa sekaligus mengenal langsung budaya Jepang dan yang kedua ingin menjadi orang yang menjembatani hubungan antara Indonesia dengan Jepang,” ungkapnya, Minggu (23/8).

Kini sebelum berangkat ke Jepang, Okie berusaha mempelajari budaya masyarakat Madura. “Selama ini yang dikenal pulau Bali, jadi sekarang saya akan coba kenalkan budaya Madura dan tentunya Surabaya,” tegas Okie.

Program Japanese Studies dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jepang adalah program beasiswa Pemerintah Jepang yang dirancang khusus bagi mahasiswa jurusan satra Jepang. Diharapakan penerima beasiswa bisa meningkatkan kemampuan bahasa Jepang dan memperdalam pengertian kebudayaan Jepang.
Selama menempuh kuliah satu tahun di Jepang Okie akan mengikuti pelajaran sesuai dengan program kuliah di sana. (rey)

Sumber: Surya, Senin, 24 Agustus 2009

Label: ,

Madurese are not coarse -- they are just direct

All the warnings about the unpredictable temper of its people could not lessen Lorraine's love for Madura.

In fact, the stories told to her about the coarse and unrefined manners of the Madurese made her even more determined to sail across to Java's neighbor to the north to check out the island for herself.

Being very interested in cooking, she also was intrigued by signs that confronted her in almost every corner of Jakarta screaming Soto Madura and Sate Madura. She wanted to find out what was so special about the food of this near, yet seemingly remote place.

During her five-year stay in Indonesia, she has crossed Madura Strait three times and still cannot get enough of the batik, boats and bull races.She is in the process of planning her next trip to Madura later this year, mainly to find out more about the role of batik in the daily lives of the Madurese, an extremely colorful and friendly people whose zest for life shefinds most infectious.

""Actually it is like the flip side of a coin. For what people on this island (Java) call uncouth, I call open, direct and natural,"" Lorraine, an expatriate, told The Jakarta Post after giving a talk on Java's less luxuriant, but no less lascivious neighbor. The talk was part of the on-going lecture series organized by the Indonesian Heritage Society to explore the country's diverse cultures, both contemporary and traditional.

She compares the difference in attitude on the islands of Java and Madurathis way: ""A Javanese may be too polite to object to me parking my car in acertain place. He will not say anything to me. But I would not be surprisedto find the air from my tires gone as soon as my back is turned. However inMadura, I feel more comfortable about being told what is appreciated and what is frowned upon by them. I know where I stand in Madura. In Java, I can only keep guessing.""

During her trips, Lorraine has struck up a close relationship with a Madurese family that she considers very precious, and she wonders why more people do not visit the island when it is just a 30 minute boat ride from Surabaya.

Besides the view of the northern coastline of Java and of Mount Arjuna, south of Surabaya is so spectacular that people are known to have fallen inlove all over again with Java.

Lorraine has stayed overnight in Sumanep, a town in eastern Madura that was a prosperous center of trade in the 18th century. There you can find a small but charming castle and a mosque built by affluent Chinese Muslim traders. She drove along the northern coast of Madura stopping for delicious cups of coffee made from green beans, boiled in cardamom and sipped amid scenery that is out of this world.

She rowed to one of the many islands east of Sumanep to witness an amazing fleet of fishing boats, decorated in all the colors of the rainbow and in all conceivable patterns.

These boats come in different sizes and are made for various weather, from dangerous wind, treacherous currents, rough seas to cruising over shallows.

However in fair weather or foul, the sea continues to be treated with great respect. Although the Madurese are conservative followers of Islam, they still appease the spirits of the sea by hanging beautifully painted talismans on their boats. This is believed to help them avoid poor catches,loss of their boats or death by drowning.

Lorraine sat in one of the Lis Lis boats that bring fish ashore from Mayang. These boats are virtually floating factories, where salt and water are kept boiling all the time in terra-cotta pots on firewood for blanchingthe fish and keeping them from rotting. As the stock thickens it turns intodelectable terasi, or fish paste, which is eaten with much relish along with rice.

She has been to the famous bull races, but regrets that the final race was over before she could blink. Also, the crowds prevented her from seeingmuch, even from the VIP galleries. She prefers the more muddy, crowded, lively scene when the bulls are auctioned and later when the more informal,less crowded bull races are held at the village level.

Ever since she was a child in her native Sri Lanka, Lorraine was fascinated with islands. ""And the smaller they are the more they tend to tickle my imagination. It is their capacity to home diverse people all practicing different religions, customs and festivals that is so noble. If a tiny country like my own can accommodate so much diversity, imagine how colorful the world must be.""

As luck would have it she left for England where she married a geologist,whose job led them to live in different parts of Africa, the Middle East, Europe and Asia. For Chris, Lorraine's husband, Madura is just one of the many interesting places he has come across during his travels. ""But it is very special to me,"" adds Lorraine, who feels that maybe it is the similarity between the Madurese and the people of India and Sri Lanka, along with the glaring differences between them, that excites her.

She is a great admirer of the fierce individuality of the Madurese, whichis reflected most in the batik found on the island. Each design is unique and even pieces made by the same person rarely look alike.

""But why should anyone be made to follow another's idea of perfection,"" questions Lorraine, who hopes that one day people around the world, especially in her troubled home of Sri Lanka and in Indonesia, will stop attacking those who are different.

For all the magic in life is said to lie in that very area where similarities between human beings fade into differences and differences fade back into similarities.

Sumber: The Jakarta Post, Thu, 08/07/2008

Label:

Pengguma Bahasa Madura Kian Merosot

Kecintaan HR Soedirman Mertoadikoesoemo terhadap tanah kelahiran di Madura tidak perlu diragukan. Dia salahseorang warga asli Madura yang dilahirkan di Bangkalan pada 3 Juli 1932 silam. Di kediamannya terdapat berbagai benda khas Madura. Mulai peralatan rumah tangga pecah belah, hingga gambar leluhurnya di Madura.

Sebagai keturunan darah biru, dia sangat memerhatikan budaya dan sastra Madura. Sejak lama, suami Hj Rr Soediyah ini prihatin akan penggunaan bahasa Madura. Mantan bupati KDH Jombang dan Probolinggo ini melihat makin hari kian merosot. Bahkan, mulai jarang digunakan dalam percakapan keseharian masyarakat di pulaunya.

Baginya, bahasa adalah sebuah identitas. Tak heran meski jarang ke Madura, dia selalu menggunakan bahasa daerah dalam keseharian dan saat berkumpul serta bercengkrama dengan warga Madura.

Menurut dia, keberadaan bahasa Madura sebagai bahasa luhur dan memiliki nilai tinggi akan hilang jika tidak diperhatikan secara serius. Terlebih jika pergaulan generasi muda mulai meninggalkan bahasa Madura dalam berkomunikasi.

"Apalagi kalau perkawinannya sudah campuran. Bisa jadi bahasa Madura tidak pernah digunakan sama sekali. Bahkan, anak-keturunnya juga tidak akan mengerti bahasa Madura," ungkapnya.

Sebagai pemerhati Madura, Soedirman pernah mengusulkan kepada gubernur Jatim untuk mendirikan sekolah Khusus. Yakni sekolah yang dikhususkan pada guru bantu untuk mempelajari bahasa Madura.

Menurut pandangan dia, hilangnya bahasa Madura dalam pergaulan masyarakat dikarenakan pendidikan bahasa tersebut tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. "Makin merosotnya penggunaan bahasa Madura karena gurunya tidak siap. Atau tidak punya materi bahasa Madura," tegasnya. Sayang usulan Soedirman untuk mendirikan sekolah bahasa Madura tidak direspons positif.

Menurut pria kelahiran Bangkalan ini, merosotnya penggunaan bahasa daerah bakal membawa dampak makin hilangnya budaya Madura yang memiliki cita rasa tinggi. Dia mengungkapkan, leluhurnya adalah birokrat yang sangat mencintai seni dan budaya Madura.

"Semua leluhur saya adalah sastrawan. Bahkan, dari kecintaannya kepada seni membawa mereka biasa berkomunikasi dengan negara luar untuk saling bertukar informasi," terangnya.

Makin hilangnya kesenian Madura, lanjutnya, harus mendapatkan perhatian generasi muda dan pemerintah. "Pemerintah sebagai pihak paling bertanggungjawab memertahankan kebudayaan. Pemerintah tidak boleh membiarkan begitu saja ketika melihat seni dan budaya Madura makin hilang," pintanya.

Dia mengaku bangga melihat sastrawan D Zawawi Imron yang mendapatkan julukan Si Clurit Emas. Kendati bukan dari kalangan sastrawan, Zawawi sebagai tokoh agamawan berani mengangkat sastra Madura dimata masyarakat dan dunia. Karena itu Soedirman berharap, kedepan makin banyak pelaku seni yang mampu membawa seni dan budaya Madura ke luar daerah.

"Tapi bukan budaya kerasnya. Itu bukan budaya. Semua orang Madura memiliki sikap andhap asor (sopan santun, Red). Tapi kalau sudah berhubungan dengan hal prinsip, siapapun pasti tersulut emosinya," papar Soedirman.

Bahkan, dia menyatakan sama sekali tidak setuju jika celurit menjadi souvenir atau kenang-kenangan yang diberikan untuk pengunjung yang datang ke Madura. Sebab, souvenir semacam itu justru akan memperkuat pandangan bahwa Madura identik dengan kekerasan.

"Dulu pada saat konflik di Sambas saya sampaikan di KPP HAM Pusat. Saya katakan pada semua yang hadir, bahwa orang Madura tidak seperti yang digambarkan tuan-tuan sekalian," ujar mantan Kapolsek Srono Banyuwangi ini dengan penuh semangat.

Sebab, sambungnya, jika ada oknum yang berbuat kekerasan, masyarakat tidak boleh langsung memvonis sama rata. Seharusnya, oknum itulah yang mendapatkan tindakan tegas dan ditangkap berdasarkan hukum yang berlaku.

Generalisasi yang ditujukan kepada masyarakat Madura secara keseluruhan berdampak negatif. Pertama, membuat perlakuan masyarakat lain menjadi berbeda. Selanjutnya, menjadi kekhawatiran untuk mengakui identitasnya sebagai warga Madura. "Kalau saya tetap bangga sebagai orang Madura, karena saya tahu stereotip yang dilekatkan pada kita itu salah," tegasnya. (nra/tra)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 29 Juli 2008

Label: , , ,

Lintu Tulistyantoro Dosen 'Spesialis Madura'

Tertarik Madura karena Dekat dengan Penjual Sate

Awalnya, Lintu Tulistyantoro pergi ke Madura hanya untuk membuktikan berbagai stigma tentang penduduk di Pulau Garam tersebut. Namun, ternyata Madura telah mencuri hatinya.

Di kampusnya, Universitas Kristen Petra, Lintu Tulistyantoro kerap disapa 'spesialis Madura'. Itu disebabkan dia begitu banyak menghasilkan tulisan tentang negeri karapan sapi tersebut. Semua tulisannya bercerita tentang desain dan fungsi ruang arsitektur Madura. Bahkan, beberapa di antaranya sudah dipresentasikan di tingkat internasional oleh ketua jurusan Desain Interior UK Petra tersebut.

Februari tahun ini, Lintu pergi ke Ahmedabad, India. Dia mempresentasikan penumpukan fungsi ruang pada langgar (surau) di kompleks rumah keluarga Madura. Tulisan bertajuk The Idea of Heterotopy in the Dwelling of The Indonesian Madura itu dibawakan Lintu dalam event 4th International Seminar on Vernacular Settlement.

Makalah Lintu membahas bahwa langgar tak hanya digunakan untuk beribadah. Langgar juga kerap digunakan untuk menerima tamu, bekerja, bahkan bermain anak-anak. "Tulisan ini terinspirasi teori Michel Foucoult. Ternyata, teori penumpukan ruang tidak hanya di luar negeri. Di Indonesia juga ada," jelas pria yang meraih Master of Design dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2004 tersebut.

Pada even yang sama dua tahun lalu, Lintu juga membawa tulisan tentang Madura. Dia membuat dua tulisan. Yaitu, The Tegal Cosmological Value of The Society of Madura in The living Complex of Adipati Sumenep dan Tanean Lanjang, The Traditional Dwelling of The Society of Madura. Keduanya membahas kompleks rumah keluarga di Madura.

"Reaksi pertama ketika orang mendengar penelitian saya adalah 'kenapa kok Madura?' Setelah saya jelaskan, pertanyaannya jadi, Begitu ya, pola pikir dan cara hidup orang Madura?'," kata Lintu.

Dia pun tak kaget terhadap pertanyaan itu. Sebab, literatur tentang Madura memang tergolong minim. Tulisan tentang budaya Madura, jika dibandingkan dengan Jateng atau yang lain, tergolong sedikit.

Lintu lahir dan besar di Wonosobo, Jateng. Persentuhannya dengan budaya Madura bermula saat dia berkenalan dengan penjual sate yang tinggal di dekat rumahnya. "Dia perempuan Madura yang baik sekali," katanya. Lintu kerap diajak main ke rumah penjual sate tersebut. Lintu kecil kerap diberi bermacam-macam barang. Malah, dia juga dianggap sebagai anaknya sendiri.

Tapi, ingatannya tentang perempuan Madura yang baik itu mulai terusik saat Lintu remaja. Begitu banyak cerita dan stigma miring tentang warga Pulau Garam tersebut. Karena itu, Lintu bertekad lebih mengenal orang Madura. Dia ingin mengunjungi langsung pulau di utara Jawa Timur itu. Tapi, keinginannya terganjal. Orang tuanya tak merestui.

Lawatan Lintu ke Madura baru terwujud saat dia kuliah di Jurusan Desain Interior UK Petra. Apalagi, dia punya kenalan perempuan Madura yang telah memikat hatinya. Beberapa kali ke sana, Lintu menemukan hal lain yang juga membuatnya jatuh cinta. Yaitu, desain dan fungsi ruang yang memesona. Terutama, ukir-ukiran di makam bangsawan dan batik khas Madura.

Kisah kasih Lintu dengan si wanita memang kandas. Namun, rasa cintanya pada Madura tak luntur. Bahkan, dia pun kian kerap menyeberangi Selat Madura, mengeksplorasi Pulau Garam. Dalam setahun, dia mengunjungi Madura dua hingga tiga kali. Tak jarang, dia memandu peneliti asing yang ingin mengenal Madura lebih dekat.

''Saya menemukan banyak hal yang menarik tentang Madura. Misalnya, perbedaan pola pikir antara penduduk Madura Barat dan Timur. Lalu, banyaknya hiasan ukir-ukiran yang dipengaruhi budaya asing serta bagaimana mereka mengatur kompleks rumah tinggal,'' ujar pria yang menjadi dosen Desain Interior UK Petra sejak 1998 tersebut.

Lintu mencontohkan kompleks rumah tinggal keluarga tradisional di Sumenep, Madura, yang disebut Tanean Lanjang. Setiap keluarga mempunyai halaman yang digunakan untuk bercocok tanam. Karena itu, mereka tergolong masyarakat ladang yang menggantungkan diri pada halaman tersebut. Mereka yang masuk golongan itu cenderung bersifat individual dan tidak bergantung pada orang lain.

Pada sisi halaman yang memanjang, terdapat rumah tinggal yang hanya dihuni perempuan. Anak laki-laki yang belum akil balig tinggal di langgar yang berada di ujung halaman. Di seberang rumah tinggal terdapat kandang ternak. ''Rumah tinggalnya sempit sekali. Isinya hanya ranjang. Ini milik perempuan. Jadi kalau menikah, yang pindah ke sana ya laki-lakinya," jelas Lintu.

Sekarang rumah tradisional seperti itu sudah banyak ditinggalkan. Namun, ada beberapa budaya lain yang masih terjaga. Misalnya, bagi warga Madura, perempuan dan agama adalah kehormatan yang harus dijaga. "Kalau diejek soal yang lain, mereka tidak akan marah. Tapi, kalau perempuan di keluarganya atau agamanya yang diusik, mereka bisa marah dan tak segan membunuh. Seperti carok itu," jelasnya.

Saat meneliti, Lintu pernah membuat kesalahan yang bisa membahayakan keselamatannya. Ketika membawa peneliti perempuan dari Inggris, dia nekat masuk ke dalam kompleks rumah sebuah keluarga. Padahal, waktu itu tidak ada seorang pun laki-laki. "Untung saya bawa peneliti asing. Jadi, ketika laki-laki di keluarga itu pulang, saya tidak diapa-apakan," ujarnya lantas tertawa kecil.

Banyaknya peneliti asing di Madura memang membuat Lintu prihatin. Sebab, data tentang Madura justru lebih banyak dimiliki researcher luar negeri ketimbang peneliti lokal. Bahkan, dia banyak mendapat referensi soal Madura dari buku yang disusun Helene Bouvier, peneliti Prancis. Buku itu berjudul Lebur, Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. "Ironis, ya," kata Lintu. (ANY RUFAIDAH)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 07 Juni 2008

Label: , ,

Real Madura a haven of peace, tranquility

Tim Hannigan, Contributor, Madura

Tell the average Indonesian that you're going to Madura for a holiday and he'll laugh.

Then, as the realization that you're not joking dawns, jaws will drop; concerns may even be expressed for your safety.

Madura rides like a ship at anchor just off East Java's north coast. It is as big as Bali and rich in culture and sights, but it has a terrible reputation and no one visits.

It was the tales of filthy towns and villages, aggressive, rough-spoken people and infernal heat (all from people who had never been there) that made me determined to go and see for myself.

So, one Saturday morning I rode my motorbike to Surabaya's Tanjung Perak port. As the ferry slipped across the busy channel the grim silhouette of the docks fell behind and a more attractive coast of dense forest took shape ahead.

The dire warnings of Indonesian friends faded in my ears. Twenty minutes later I was breathing in clean air as I rode between sweeping rice fields.

Lush fields, deserted beaches

The road from Kamal to Sumenep, my destination at the eastern end of Madura, stays close to the coast, winding through broad vistas of rice fields, and stretches of cool forest.

Limestone outcrops rise among the hills that form the center of the island, and there are neat and delightfully friendly villages of red roofs hidden in the trees.

The journey was a pleasure as I skirted fishing villages, made detours down narrow lanes, and paused to chat with happy, easy-going locals. All the way to Sumenep I wondered why such a beautiful, charming place had such an awful reputation.

Sumenep is undoubtedly the nicest place to stay in Madura. It is a charming town of quiet streets where brightly decorated becak (pedicabs) roll by.

The great gateway of the Agung Mosque glowed in the sunlight next morning. Its heavyset, tiered fa‡ade was painted white, and edged in yellow, and a narrow passageway led to an elegant mosque with a three-tiered roof and a cool, airy interior.

It is one of the oldest mosques in Java, built in the 18th Century, and certainly one of the most striking. From the mosque I made my way across Sumenep's central square to the old palace or kraton (the last remaining in East Java province).

It was a quiet spot of high ceilings and soft breezes. A young man, Yanto, who worked in the nearby museum showed me around.

He pointed out a huge, sprawling banyan tree in the garden which was already standing in the 18th Century when the kraton was built. He also led me to the Taman Sari, a compound of pools and gardens where the women of the royal household used to bathe.

The baths are empty now, but for a few large goldfish, and Yanto told that at night the garden was haunted by ghosts. After a visit to the old royal cemetery at Asta Tinggi on a hilltop just outside the town where the faithful come to pray, and a quick stop in the bustling Pasar Anom market, I set out east on a deserted road.

The countryside was even more gorgeous than the day before, the forest now dominated by tall coconut palms, and the rice fields greener and richer, touched with a film of light mist.

The road ran close to the coast, and often by picking through the trees I found deserted beaches where a strip of tilting palm trees bent away and the shapes of small islands showed offshore.

At lunchtime I reached Lombang Beach, where a vast stretch of yellow sand backed by a bank of casuarinas trees faces a broad sea.

There were a few warung (food stalls) under the trees and I ate a bowl of tasty soto, Madura's most famous dish. It is a yellow soup with a delicious, lemony flavor mixed with rice, vegetables and shredded chicken.

Beyond Lombang the coastline hardened as the central ridge of limestone pushed up against the coast. The soil was thinner here and ribs of gray rock showed through the surface.

The villages were fewer, and there were many spots where a patch of clean beach lay utterly empty close to the road.

As I drove I asked myself over and over why this beautiful landscape was not crawling with tourists. I was glad that it wasn't, but baffled none the less.

Big-city gridlock a world away

That evening back in Sumenep I met a charming young man named Adi. A native of Sumenep, he works for the local tourism department and also acts as a guide.

He was a mine of information, whetting my appetite for a return visit with tales of all the places I had missed, and tantalizing talk of deserted islets of pure white sand and crystal-clear coral seas in the sprawling Kangean archipelago east of Madura.

He had his own theory about Madura's terrible reputation. Most outsiders form their opinion from the large numbers of Madurese migrants who have left the island in search of work.

Madura is beautiful and tranquil, and its people are laid-back and friendly.

Coming from such a place, Adi claimed, the clamor and chaos of the big cities of Java and beyond disturbs and unsettles the Madurese, and they respond with ill-temper and harsh words, a poor advert for their homeland.

The theory had some merit: after just two days in Madura I was relaxed and unwound, but the very thought of Surabaya gridlock was enough to sharpen my temper!

The next morning I crossed the central ridge where villagers were plowing fields of rich red earth with teams of cattle the same color as the soil. I reached the northern coast road at Slopeng village.

Here a great bank of sand knitted with palm trees, shelters the road. But stop anywhere and scramble up the dunes and you will meet a glorious panorama of empty beach, stretching far in each direction, and a shining blue ocean scattered with fishing boats.

Adi had told me that this area was famous for topeng, the carved masks used in the dance versions of the Mahabharata and Ramayana epics.

After an enjoyable wild goose chase through palm groves and rice paddies in the bright sunlight I found the hamlet of Tajjan where Pak Suraji, a topeng-maker lived.

As I sipped delicious green tea, a Madura specialty made from pandanus, he showed me his collection of masks, all carved from the local bintaos wood and skillfully painted in bright colors.

There was snub-nosed Semar the clown, hideous Ravana, handsome Arjuna, and a multitude of others. Pak Suraji told me that the masks had been made in the area for centuries, the skill passed from generation to generation.

His collection was not for sale: They were heirloom pieces used on the occasions when the villagers stage a dance, but in another hamlet nearby I bought a mask of Arjuna, decorated in fine red and black.

Madura is proudly Muslim. Arabic names are common and as you drive along the back roads you will pass men collecting donations for new mosques, and schoolboys in black peci caps walking home from village pesantren (religious schools).

But people in Java had painted a picture of something approaching Taliban-era Afghanistan. The high Hindu-culture of the topeng dances, and tales Adi had told of southern villages where spectacular Balinese-style ceremonies are held, proved that this was not the case.

Irresistible batik

The road west ran through friendly fishing villages where brightly decorated boats were moored in narrow inlets. I stopped several times to swim in the warm waters off deserted beaches. The hills were green to the south and running cloud dappled the sea with purple and turquoise.

In mid-afternoon I reached the village of Tanjungbumi. Back from the road a warren of white-washed alleys clustered around a glittering mosque.

In a cool courtyard of shade and broken sunlight I admired exquisite batik sarongs, the work of Hajji Affandi, a kindly, soft-spoken man.

Madura batik is famous, characterized by motifs of flowers and birds, with hints of Chinese art. The best pieces are made of silk, and painstakingly decorated by hand, sometimes taking several weeks to complete.

Tanjungbumi is one of the centers of batik-making, and there are many workshops hidden in the white alleyways.

I had not intended to buy anything, but one piece, an intricate spread of birds and flowers in rich reds and greens was the most gorgeous batik I had ever seen: I was unable to resist.

My special souvenir safely in my bag, I rode on. As the land softened and the hills fell away I turned south again.

Here, elegant new mosques stood beside the road. They were far more pleasing than the modern mosques of Java, and I stopped beside one particularly startling Mughal-style building.

A jolly man, Pak Suni, led me to the rooftop. I was not far from the port at Kamal now, bringing my journey full circle. As I looked out over the colored plain of rice fields and villages, the sea shining golden in the lengthening light, the hills dark behind, I wondered why it had taken me so long to come to this marvelous place.

Half an hour later, as the ferry slipped over the murky brown water of the channel back towards the grimy smudge of Surabaya I was certain of two things: I would be back to Madura before long, and the next time I heard someone bad-mouthing the place, I would be sure to set them straight!

Sumber: The Jakarta Post, April 08, 2007

Label:

Alquran Terjemahan Bahasa Madura

Kitab-kitab kuning, sangat banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Madura. Namun terjemahan Alquran dalam Bahasa Madura masih jarang kita ketahui. Sebagian malah yakin memang belum pernah ada Alquran terjemahan dalam Bahasa Madura. Padahal, kehadirannya sangat dirindu sebagai wahana keagamaan, keilmuan, maupun budaya.

Saat ini sebenarnya sudah ada mushaf Alquran terjemahan Bahasa Madura. Penerjemahnya adalah Jamaah Pengajian Surabaya (JPS). Sayangnya, mushaf karya JPS ini mengandung banyak kesalahan dalam memaknai ayat. Bisa jadi ini karena pemahaman Bahasa Madura yang kurang mendalam dari tim penterjemah. Untuk itu Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan memprakarsai pelaksanaan Lokakarya Nasional Telaah dan Tashih Terjemahan AlQuran dalam Bahasa Madura.

Lokakarya ini direncanakan akan dilakukan bertahap, yakni tahap pra lokakarya, pengkajian dan penyelarasan, konsultasi, dan inti lokakarya. Pra lokakarya dilaksanakan Selasa (15/4) di Aula Kampus STAIN, Jl. Raya Tlanakan, Pamekasan. Pada tahapan pra lokakrya ini dilakukan sharing gagasan teknis dalam rangka pemantapan orientasi telaah dan tashih atas mushaf Alquran terjemahan tersebut. Hadir dalam kesempatan itu Forum Musyawarah Ulama (FMU) Madura yang akan menjadi pen-tashih, Yayasan Pakem Maddu, yayasan yang bergerak dalam pengkajian dan pengembangan Bahasa Madura Pamekasan, juga pimpinan dan anggota JPS.

Muhammad Zahid, M.Ag, salah seorang panitia lokakarya mengatakan mushaf Alquran karya JPS merupakan sebuah karya monumental yang patut diapresiasi dengan bagus oleh umat Islam, khususnya Muslim Madura. Karena itu, kata dia, STAIN Pamekasan tertarik untuk membantu menyempurnakan terjemahan itu dengan melibatkan semua elemen terkait yang dibutuhkan, antara lain ahli Bahasa Madura dan ahli Bahasa Arab.

"Temuan Forum Musyawarah Ulama (FMU) menyebut dalam mushaf terjemahan itu masih banyak kekurangan dan kekeliruan, terutama dalam makna Bahasa Maduranya. Hal ini bisa menyalahi maksud yang terkandung dalam Alquran itu sendiri. Dari sinilah kami berhasrat memperbaiki kesalahn itu melalui lokakarya tersebut," katanya.

Hasil lokakarya telaah dan tashih tersebut, lanjut Zahid, nantinya akan diajukan ke Menteri Agama RI untuk dijadikan dasar dalam men-tashih terjemahan Alquran Bahasa Madura sebagai terjemahan yang layak dicetak dan dipublikasikan untuk kepentingan publik.

"Mushaf itu tidak boleh digandakan, dicetak dan dipubilakasikan untuk umum tanpa tashih dari Departemen Agama," katanya. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Kamis 16/04/2008

Label: , , ,

Situs Makam Rato Ebuh

Banyak Kerusakan, Berharap Pemkab Bisa Turun Tangan

Pemeliharaan situs bersejarah yang memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat di suatu daerah, rupanya masih menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Akibatnya, saat terjadi kerusakan tak langsung bisa tertangani. Seperti yang menimpa situs makam Ratoh Ebuh di Desa Polagan, Kecamatan Kota Sampang. Bagaimana kondisinya kini?

Situs makam Ratoh Ebuh terletak di Desa Polagan, Kecamatan Kota, Sampang. Untuk menuju situs tersebut, hanya membutuhkan waktu tidak lebih 10 menit dari pusat Kota Bahari. Yakni, 1 km arah utara.

Situs tersebut merupakan makam ibunda Raden Praseno atau Pangeran Cakraningrat I, yang sekaligus merupakan raja pertama di Madura. Berdasar catatan sejarah, kerajaan tersebut berkedudukan di Sampang pada tahun 1624 Masehi.

Di samping memiliki nilai historis bagi masyarakat Sampang terkait hari jadi kotanya, di lokasi tersebut juga terdapat salah satu masjid tertua di Madura. Yakni Masjid Madeggan. Konon, masjid tersebut dibangun hanya dalam waktu semalam. Tak heran, hingga kini makam dan masjid tersebut masih dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, dan Madura pada umumnya.

Kondisi masjid ini masih terlihat baik dan terawat. Bahkan menurut warga sekitar, masjid ini hingga kini masih sering digunakan oleh masyarakat untuk melaksanakan sumpah pocong.

Pintu masuk masjid tersebut bersebelahan dengan pintu masuk menuju komplek pemakaman Rato Ebuh ini. Letak pintu masuk makam Ratu Ebuh ini berada di tengah-tengah antara komplek makam para sesepuh Bupati Sampang sekarang (H Noer Tjahja) dan pintu masjid.

Pemandangan menjadi sedikit terganggu karena terhalang atap gedung sebelah barat gapura makam Rato Ebuh ini. Kesannya, begitu kuno dan sarat nilai budaya. Termasuk kaya nilai pengetahuan sejarah tentang Madura dan adat-istiadat Pulau Garam ini.

Sempit, pendek, dan kecilnya pintu masuk menuju situs makam, memperlihatkan bagaimana harus menjaga kesopanan untuk masuk makam. Menurut cerita, para abdi yang hendak masuk makam, atau para peziarah dulunya harus masuk secara tertib. Satu-persatu dengan posisi berjongkok. Ini melambangkan penghormatan pada sang ratu.

Sayangnya, pintu gapura tersebut diamankan di Balai Pelestarian Peninggalan Peninggalan Purbakala di Trowulan, Mojokerto. "Rencananya akan saya ambil, tapi masih belum ada dana," ungkap Nurul Amik, juru kunci situs makam tersebut.

Menurut dia, di pintu makam tersebut terdapat ukiran naga terkena panah. "Kata ahli sejarah itu artinya naga kapanah titis ing midi. Ini melambangkan tahun pembuatannya, yaitu 1624," terangnya.

Usai menjelaskan pintu masuk situs, dirinya mulai menunjukkan beberpa titik kerusakan di gapura tersebut. "Ini lihat mas, keropos seperti ini. Kalau dibiarkan lama-lama bisa roboh," katanya sambil menunjukkan kerusakan yang dimaksud.

Lubang-lubang lainnya juga bayak terdapat di gapura. Di kanan-kiri serta atas dan bawah gapura, hampir seluruhnya mengalami kerusakan. "Mari masuk mas, kita lihat kondisi makamnya," ajak Amik -sapaannya.

Tahun 1996 adalah pemugaran pertama dan terakhir yang pernah dilakukan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Peninggalan Purbakala Dinas Pedidikan dan Kebudayaan Surabaya. "Itupun hanya dipugar 1 makam saja. Padahal disini ada 12 makam," ujar pria yang sudah mengabdikan diri selama 14 tahun sebagai juru kunci ini.

Menurut Amik, itu wajar terjadi. Karena dibalai pemeliharaan tidak hanya mengurus situs di Sampang saja. Tapi juga daerah lainnya di wilayah Jawa Timur yang juga memiliki situs purbakala.

"Setiap bulan memang ada biaya pemeliharaan sebesar Rp 480 ribu," tuturnya. Tapi, lanjutnya, dana itu hanya cukup untuk membayar uang kebersihan untuk warga sekitar yang menjaga situs tersebut. "Jadi tidak bisa dibuat perbaikan," tandasnya.

Mengenai hal tersebut, dia sebenarnya berharap pemerintah setempat bisa membantu. Karena situs tersebut merupakan tonggak sejarah bagi Kota Sampang. Namun, dia berharap, jika pemerintah maupun pihak lain ingin melestarikan situs ini, maka harus dikembalikan ke balai purbakala.

"Sebab hanya mereka saja yang bisa dan paham cara atau teknik pemeliharaannya. Jadi tidak bisa asal bantu kemudian ditenderkan," ujarnya tersenyum.

Batu-batu yang tersusun untuk makam Rato Ebuh dan 11 makam lainnya memang terlihat begitu memprihatinkan. Hitam karena terkena hujan dan panas, tertumpuk tidak rata dan muali miring karena tidak ada pondasi dalam tanahnya.

"Kami sendiri sebenarnya sudah setiap minggu mengusulkan ada perbaikan. Tapi mau bagaimana lagi," keluhnya.

Terpaksa, sambungnya, setiap harinya dia dan beberpa orang warga sekitar lainnya hanya bisa membersihkan situs saja. Kerusakan bukannya dibiarkan, tapi tidak ada kemampuan. Tidak hanya alam, tapi juga oleh tangan-tangan jahil manusia. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 08 Mar 2008

Label: , , , ,