Mengunjungi tempat wisata di saat Tellasan Topak merupakan kebiasaan orang Madura. Di Bangkalan, beberapa lokasi wisata dipadati warga. Sedangkan tradisi Lomban di Kamal masih tetap terjaga.
SUARA petasan saling menyambut. Pagi itu jam menunjukkan pukul 06.00. Masyarakat di Bangkalan mulai merayakan Lebaran Ketupat pada hari ketujuh setelah Lebaran Idul Fitri. Masyarakat Bangkalan punya tradisi turun temurun yang masih terjaga hingga kini. Yakni saling antar ketupat dan lepet kepada tetangganya.
Usai berlebaran, masyarakat berekreasi. Di Kamal, masyarakat setempat menggelar tradisi naik perahu mengitari perairan Kamal. Mereka menyebutnya lomban. Tradisi itu cukup menarik.
Biasanya, pemilik mengiasi perahunya dengan umbul-umbul warna warni. Di antara tiang perahu digantungi berbagai makanan khas tellasan topak. "Senang bisa naik perahu," kata Annisa, pelajar SD di Kota Bangkalan usai naik perahu Lomban.
Mercusuar dan Rongkang Dipadati WargaSementara, di Mercusuar Ujung Piring juga tidak kalah ramai. Bangunan peninggalan Belanda pada 1879 itu diminati masyarakat, khususnya kaum muda.
Estari Santoso, salah satu penjaga mercusuar dari Distrik Navigasi Perhubungan Laut, Surabaya mengatakan, mercusuar peninggalan ZM William III setiap Lebaran Ketupat dikunjungi 400-500 orang.
Namun, kondisi seperti tidak terlihat lagi pada Lebaran Ketupat tahun ini. Masyarakat yang berwisata di menara suar ini diperkirakan 200-350 orang. "Lebaran kali ini sepi Mas. Tidak tahu kenapa," jelasnya.
Meskipun pengunjung menurun, lanjut Estari, mercusuar yang dikelola Departeman Perhubungan tidak dikomersilkan. Sehingga tidak ada beban yang harus ditanggung pengelolanya. "Selain menjaga mercusuar, kita bertugas menyalakan lampu setiap pukul 17.30," terangnya.
Sedangkan perayaan Lebaran Ketupat di Rongkang, Kecamatan Kwanyar sangat padat. Banyak masyarakat sekitar bahkan dari Surabaya naik perahu.
Tabrianto salah satu pemilik perahu mengatakan, pada Lebaran Ketupat ongkos naik perahu Rp 5 ribu. Dalam sehari, dia bisa meraup penghasilan Rp 200 ribu. "Ini kan satu tahun sekali. Setelah ini (Lebaran ketupat, Red) saya jadi kuli," katanya. (ZARNUJI)
kembaliTellasan Topa' ala Warga SampangBagi warga Madura, Lebaran Ketupat atau dalam bahasa Maduranya lazim dengan sebutan Tellasan Topa', merupakan puncak perayaan Idul Fitri. Bahkan suasananya terbilang jauh lebih semarak dari awal Lebaran, yaitu 1 Syawal. Seperti halnya yang terjadi di Sampang. Berbagai tradisi unik dilakukan warga Sampang saat Tellasan Topa'. Apa saja?
BERKUNJUNGLAH ke Desa Dharma Tanjung, Kecamatan Camplong saat Tellasan Topa'. Suasana kampung pesisir tersebut bakal berubah semarak. Saat koran ini melintas di desa tersebut, kemarin (8/10), suasana tampak lain dari biasanya. Hampir seluruh warganya mejeng di pinggir jalan dengan baju barunya. Tidak hanya anak kecil yang lucu, para muda-mudi, bahkan ibu-ibu juga tak mau ketinggalan. Sebagian di antara mereka ada yang hanya sekadar nongkrong di teras rumah. Bahkan ada yang berbondong-bondong naik andong.
Itulah bagian dari tradisi turun temurun warga desa ujung timur Sampang tersebut yang disebut
pir-piran alias naik andong. Sebab arti
pir sendiri menurut warga setempat adalah andong.
"
Pir sebutan orang Madura untuk andong roda 4 di zaman dulu. Sekarang andong hanya beroda 2 dan berganti nama jadi dokar," terang Sufyan, warga Desa Tanjung Sampang.
Berdasar cerita neneknya, menaiki andong saat
Tellasan Topa' merupakan bagian dari tradisi warga setempat yang terjaga dari masa ke masa. Tradisi unik tersebut bahkan kabarnya tidak hanya dimiliki warga Desa Tanjung. Namun berjabat erat dengan kebiasaan warga Desa Bandaran, Pamekasan. Kebetulan, kedua tetangga desa ini merupakan pemisah antara teritorial Pamekasan dan Sampang.
"Maksud dan tujuan naik andong adalah untuk menjalin tali silaturahmi saat Lebaran yang dilakukan oleh warga Desa Tanjung dan Desa Bandaran yang kebetulan memiliki hubungan kekerabatan. Jadi tradisi itu juga dipakai di Desa Bandaran," terang Sufyan.
Tak jarang saat Tellasan Topa' sepanjang perjalanan dari Desa Bandaran menuju Tanjung kerap kali macet. Bahkan tergolong padat merayap. Situasi tersebut juga terjadi kemarin pagi. Bahkan semakin sore, simpul kemacetan semakin tak terurai. Sebab warga dua desa tersebut menambahi tradisi
pir-piran itu dengan adu nyaring
sound system. Tak puas hanya duduk sambil berdangdut-ria, warga kini mayoritas mengusung
sound system-nya di atas kendaraan roda empat. Bahkan tak jarang diusung di atas truk.
Seiring bergulirnya waktu, tradisi tersebut kini telah berubah makna. Naik andong yang menjadi ajang untuk mengikat tali silaturahmi mengalami peralihan makna. Hal tersebut diakui oleh Hamidah, warga desa setempat. "Kalau orang dulu naik andong itu memang sebagai transportasi untuk menjalin silaturahmi. Tapi sekarang malah dijadikan untuk senang-senang semata," ujar nenek 1 cucu tersebut.
Terjadinya perubahan tradisi tersebut menurut Hamidah adalah imbas dari perubahan masa. "Kalau anak-anak zaman sekarang sudah tidak mau tradisi. Sebagian di antara mereka sengaja naik andong hanya untuk mejeng," tambahnya dengan logat Madura yang kental.
Kalungi Kambing dengan KetupatDari Tanjung, kita beralih melihat tradisi unik lainnya yang dimiliki warga Sampang. Salah satunya di Kelurahan Banyuanyar, Kota Sampang. Meski masih tergolong daerah pinggiran kota, namun warga Banyuanyar memilki tradisi unik saat
Tellasan Topa' tiba.
Tidak hanya warga yang menikmati makna
Tellasan Topa'. Tetapi juga sejumlah hewan ternak. Seperti sapi dan kambing. Buktinya, beberapa kambing milik warga setempat sengaja dilepas dan dibiarkan keluar kandang menggunakan kalung ketupat.
Fathur Rohman, warga Banyuanyar mengungkapkan bahwa tradisi tersebut tetap dijaganya hingga kini. Utamanya dilestarikan oleh sebagian warga yang memiliki hewan ternak. Namun diakuinya, suasananya tradisi unik tersebut sudah tak seramai dulu.
"Kita sengaja mengalungkan kambing atau sapi dengan ketupat. Maknanya, bahwa Lebaran ini bukan hanya milik kita. Tapi hewan pun juga diajak merasakan maraknya berlebaran ketupat," ujar Fathur Rahman yang juga merupakan ketua RT setempat.
Namun, sekali lagi, bergulirnya zaman juga diakuinya sedikit mengikis tradisi tersebut. "Kalau zaman dulu kambing yang dikalungi ketupat itu sengaja dikeluarkan dari kandang. Dan anak-anak berebut mengejar kambing untuk diambil ketupatnya untuk disantap. Sayangnya, sejak berapa tahun ini tidak ada lagi tradisi kejar kambing tersebut," cerita Fathur Rahman.
Seperti halnya Hamidah, Fathur Rahman juga menyadari hal itu adalah imbas dari pergeseran zaman. Dan itu merupakan hal yang wajar. Itu mengingat sang penganut tradisi sudah mulai berganti generasi. "Wajarlah, orang zaman sekarang sudah berbeda dengan orang zaman dulu. Jadi tradisi yang tidak dianggap penting sudah tak perlu dilakukan lagi," ujar Fathur Rohman sembari tersenyum. (SARI PURWATI)
Sumber: Jawa Pos, 09/10/08
kembali
Pegadaian Menjelang Lebaran KetupatMenghadapi Lebaran Ketupat, Perum Pegadaian Bangkalan kembali dipenuhi nasabah. Namun, pemandangan kali ini berbeda dari sebelumnya. Ketika Lebaran Idul Fitri masyarakat ramai menebus barang. Tapi, kali ini masyarakat antre menunggu giliran mendapatkan pinjaman.
SIANG itu, nasabah pegadaian sangat ramai. Mereka duduk di kursi antrean menunggu giliran dipanggil untuk mendapatkan dana kontan. Tapi, pemberian dana segar ini tidak serta merta diberikan. Masyarakat harus memberi barang sebagai jaminan.
Kepala Cabang Pegadaian Bangkalan Coyyin mengatakan, fenomena gadai barang menjelang Lebaran sudah biasa. Nasabah meminjam uang untuk kebutuhan mereka. "Sudah biasa, menjelang Lebaran kebutuhan masyarakat meningkat," katanya.
Sehari Salurkan Rp 201 JutaBerdasarkan data pegadaian, pada September 2008 dana yang disalurkan pegadaian mencapai Rp 1.367.564.000 Jumlah ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Bulan yang sama pada 2006, dana yang disalurkan mencapai Rp 1.170.751.000. Pada 2007 lebih rendah, yakni Rp 983.925.000.
Sedangkan Oktober ini, lanjut Coyyin, pihaknya belum bisa memastikan besar dana yang akan disalurkan. "Tapi untuk hari masuk pertama kemarin (Senin 6/10), dana yang disalurkan sudah mencapai Rp 201 juta," terangnya.
Sementara, pemberian pinjaman dengan bunga 0,9 persen untuk usaha, pegadaian belum bisa merealisasikan. "Kita tunggu sampai bunga turun 0,3 persen. Baru kita salurkan," jelas Coyyin.
Meskipun suku bunga menurun, tambahnya, pegadaian tidak langsung memberi pinjaman. Karena pinjaman jenis usaha, pihaknya terlebih dahulu melakukan beberapa survei. "Kalau memang layak mendapatkan dana, kita salurkan," tandasnya. (ZARNUJI)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 08 Oktober 2008)
kembaliLabel: bangkalan, tellasan topa, tradisi