Kambing Dikalungi Ketupat

Dari Tanjung, kita beralih melihat tradisi unik lainnya yang dimiliki warga Sampang. Salah satunya di Kelurahan Banyuanyar, Kota Sampang. Meski masih tergolong daerah pinggiran kota, namun warga Banyuanyar memilki tradisi unik saat Tellasan Topa' tiba.

Tidak hanya warga yang menikmati makna Tellasan Topa'. Tetapi juga sejumlah hewan ternak. Seperti sapi dan kambing. Buktinya, beberapa kambing milik warga setempat sengaja dilepas dan dibiarkan keluar kandang menggunakan kalung ketupat.

Fathur Rohman, warga Banyuanyar mengungkapkan bahwa tradisi tersebut tetap dijaganya hingga kini. Utamanya dilestarikan oleh sebagian warga yang memiliki hewan ternak. Namun diakuinya, suasananya tradisi unik tersebut sudah tak seramai dulu.

"Kita sengaja mengalungkan kambing atau sapi dengan ketupat. Maknanya, bahwa Lebaran ini bukan hanya milik kita. Tapi hewan pun juga diajak merasakan maraknya berlebaran ketupat," ujar Fathur Rahman yang juga merupakan ketua RT setempat.

Namun, sekali lagi, bergulirnya zaman juga diakuinya sedikit mengikis tradisi tersebut. "Kalau zaman dulu kambing yang dikalungi ketupat itu sengaja dikeluarkan dari kandang. Dan anak-anak berebut mengejar kambing untuk diambil ketupatnya untuk disantap. Sayangnya, sejak berapa tahun ini tidak ada lagi tradisi kejar kambing tersebut," cerita Fathur Rahman.

Seperti halnya Hamidah, Fathur Rahman juga menyadari hal itu adalah imbas dari pergeseran zaman. Dan itu merupakan hal yang wajar. Itu mengingat sang penganut tradisi sudah mulai berganti generasi. "Wajarlah, orang zaman sekarang sudah berbeda dengan orang zaman dulu. Jadi tradisi yang tidak dianggap penting sudah tak perlu dilakukan lagi," ujar Fathur Rohman sembari tersenyum. (SARI PURWATI)

Sumber: Jawa Pos, 09/10/08

Label: , , ,

Pegadaian Menjelang Lebaran Ketupat

Menghadapi Lebaran Ketupat, Perum Pegadaian Bangkalan kembali dipenuhi nasabah. Namun, pemandangan kali ini berbeda dari sebelumnya. Ketika Lebaran Idul Fitri masyarakat ramai menebus barang. Tapi, kali ini masyarakat antre menunggu giliran mendapatkan pinjaman.

SIANG itu, nasabah pegadaian sangat ramai. Mereka duduk di kursi antrean menunggu giliran dipanggil untuk mendapatkan dana kontan. Tapi, pemberian dana segar ini tidak serta merta diberikan. Masyarakat harus memberi barang sebagai jaminan.

Kepala Cabang Pegadaian Bangkalan Coyyin mengatakan, fenomena gadai barang menjelang Lebaran sudah biasa. Nasabah meminjam uang untuk kebutuhan mereka. "Sudah biasa, menjelang Lebaran kebutuhan masyarakat meningkat," katanya.

Sehari Salurkan Rp 201 Juta

Berdasarkan data pegadaian, pada September 2008 dana yang disalurkan pegadaian mencapai Rp 1.367.564.000 Jumlah ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Bulan yang sama pada 2006, dana yang disalurkan mencapai Rp 1.170.751.000. Pada 2007 lebih rendah, yakni Rp 983.925.000.

Sedangkan Oktober ini, lanjut Coyyin, pihaknya belum bisa memastikan besar dana yang akan disalurkan. "Tapi untuk hari masuk pertama kemarin (Senin 6/10), dana yang disalurkan sudah mencapai Rp 201 juta," terangnya.

Sementara, pemberian pinjaman dengan bunga 0,9 persen untuk usaha, pegadaian belum bisa merealisasikan. "Kita tunggu sampai bunga turun 0,3 persen. Baru kita salurkan," jelas Coyyin.

Meskipun suku bunga menurun, tambahnya, pegadaian tidak langsung memberi pinjaman. Karena pinjaman jenis usaha, pihaknya terlebih dahulu melakukan beberapa survei. "Kalau memang layak mendapatkan dana, kita salurkan," tandasnya. (ZARNUJI)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 08 Oktober 2008)

Label: , , ,

Tellasan Topa' di Madura Meriah

Mengunjungi tempat wisata di saat Tellasan Topak merupakan kebiasaan orang Madura. Di Bangkalan, beberapa lokasi wisata dipadati warga. Sedangkan tradisi Lomban di Kamal masih tetap terjaga.

SUARA petasan saling menyambut. Pagi itu jam menunjukkan pukul 06.00. Masyarakat di Bangkalan mulai merayakan Lebaran Ketupat pada hari ketujuh setelah Lebaran Idul Fitri. Masyarakat Bangkalan punya tradisi turun temurun yang masih terjaga hingga kini. Yakni saling antar ketupat dan lepet kepada tetangganya.

Usai berlebaran, masyarakat berekreasi. Di Kamal, masyarakat setempat menggelar tradisi naik perahu mengitari perairan Kamal. Mereka menyebutnya lomban. Tradisi itu cukup menarik.

Biasanya, pemilik mengiasi perahunya dengan umbul-umbul warna warni. Di antara tiang perahu digantungi berbagai makanan khas tellasan topak. "Senang bisa naik perahu," kata Annisa, pelajar SD di Kota Bangkalan usai naik perahu Lomban.

Mercusuar dan Rongkang Dipadati Warga

Sementara, di Mercusuar Ujung Piring juga tidak kalah ramai. Bangunan peninggalan Belanda pada 1879 itu diminati masyarakat, khususnya kaum muda.

Estari Santoso, salah satu penjaga mercusuar dari Distrik Navigasi Perhubungan Laut, Surabaya mengatakan, mercusuar peninggalan ZM William III setiap Lebaran Ketupat dikunjungi 400-500 orang.

Namun, kondisi seperti tidak terlihat lagi pada Lebaran Ketupat tahun ini. Masyarakat yang berwisata di menara suar ini diperkirakan 200-350 orang. "Lebaran kali ini sepi Mas. Tidak tahu kenapa," jelasnya.

Meskipun pengunjung menurun, lanjut Estari, mercusuar yang dikelola Departeman Perhubungan tidak dikomersilkan. Sehingga tidak ada beban yang harus ditanggung pengelolanya. "Selain menjaga mercusuar, kita bertugas menyalakan lampu setiap pukul 17.30," terangnya.

Sedangkan perayaan Lebaran Ketupat di Rongkang, Kecamatan Kwanyar sangat padat. Banyak masyarakat sekitar bahkan dari Surabaya naik perahu.

Tabrianto salah satu pemilik perahu mengatakan, pada Lebaran Ketupat ongkos naik perahu Rp 5 ribu. Dalam sehari, dia bisa meraup penghasilan Rp 200 ribu. "Ini kan satu tahun sekali. Setelah ini (Lebaran ketupat, Red) saya jadi kuli," katanya. (ZARNUJI)

kembali

Tellasan Topa' ala Warga Sampang

Bagi warga Madura, Lebaran Ketupat atau dalam bahasa Maduranya lazim dengan sebutan Tellasan Topa', merupakan puncak perayaan Idul Fitri. Bahkan suasananya terbilang jauh lebih semarak dari awal Lebaran, yaitu 1 Syawal. Seperti halnya yang terjadi di Sampang. Berbagai tradisi unik dilakukan warga Sampang saat Tellasan Topa'. Apa saja?

BERKUNJUNGLAH ke Desa Dharma Tanjung, Kecamatan Camplong saat Tellasan Topa'. Suasana kampung pesisir tersebut bakal berubah semarak. Saat koran ini melintas di desa tersebut, kemarin (8/10), suasana tampak lain dari biasanya. Hampir seluruh warganya mejeng di pinggir jalan dengan baju barunya. Tidak hanya anak kecil yang lucu, para muda-mudi, bahkan ibu-ibu juga tak mau ketinggalan. Sebagian di antara mereka ada yang hanya sekadar nongkrong di teras rumah. Bahkan ada yang berbondong-bondong naik andong.

Itulah bagian dari tradisi turun temurun warga desa ujung timur Sampang tersebut yang disebut pir-piran alias naik andong. Sebab arti pir sendiri menurut warga setempat adalah andong.

"Pir sebutan orang Madura untuk andong roda 4 di zaman dulu. Sekarang andong hanya beroda 2 dan berganti nama jadi dokar," terang Sufyan, warga Desa Tanjung Sampang.

Berdasar cerita neneknya, menaiki andong saat Tellasan Topa' merupakan bagian dari tradisi warga setempat yang terjaga dari masa ke masa. Tradisi unik tersebut bahkan kabarnya tidak hanya dimiliki warga Desa Tanjung. Namun berjabat erat dengan kebiasaan warga Desa Bandaran, Pamekasan. Kebetulan, kedua tetangga desa ini merupakan pemisah antara teritorial Pamekasan dan Sampang.

"Maksud dan tujuan naik andong adalah untuk menjalin tali silaturahmi saat Lebaran yang dilakukan oleh warga Desa Tanjung dan Desa Bandaran yang kebetulan memiliki hubungan kekerabatan. Jadi tradisi itu juga dipakai di Desa Bandaran," terang Sufyan.

Tak jarang saat Tellasan Topa' sepanjang perjalanan dari Desa Bandaran menuju Tanjung kerap kali macet. Bahkan tergolong padat merayap. Situasi tersebut juga terjadi kemarin pagi. Bahkan semakin sore, simpul kemacetan semakin tak terurai. Sebab warga dua desa tersebut menambahi tradisi pir-piran itu dengan adu nyaring sound system. Tak puas hanya duduk sambil berdangdut-ria, warga kini mayoritas mengusung sound system-nya di atas kendaraan roda empat. Bahkan tak jarang diusung di atas truk.

Seiring bergulirnya waktu, tradisi tersebut kini telah berubah makna. Naik andong yang menjadi ajang untuk mengikat tali silaturahmi mengalami peralihan makna. Hal tersebut diakui oleh Hamidah, warga desa setempat. "Kalau orang dulu naik andong itu memang sebagai transportasi untuk menjalin silaturahmi. Tapi sekarang malah dijadikan untuk senang-senang semata," ujar nenek 1 cucu tersebut.

Terjadinya perubahan tradisi tersebut menurut Hamidah adalah imbas dari perubahan masa. "Kalau anak-anak zaman sekarang sudah tidak mau tradisi. Sebagian di antara mereka sengaja naik andong hanya untuk mejeng," tambahnya dengan logat Madura yang kental.

Kalungi Kambing dengan Ketupat

Dari Tanjung, kita beralih melihat tradisi unik lainnya yang dimiliki warga Sampang. Salah satunya di Kelurahan Banyuanyar, Kota Sampang. Meski masih tergolong daerah pinggiran kota, namun warga Banyuanyar memilki tradisi unik saat Tellasan Topa' tiba.

Tidak hanya warga yang menikmati makna Tellasan Topa'. Tetapi juga sejumlah hewan ternak. Seperti sapi dan kambing. Buktinya, beberapa kambing milik warga setempat sengaja dilepas dan dibiarkan keluar kandang menggunakan kalung ketupat.

Fathur Rohman, warga Banyuanyar mengungkapkan bahwa tradisi tersebut tetap dijaganya hingga kini. Utamanya dilestarikan oleh sebagian warga yang memiliki hewan ternak. Namun diakuinya, suasananya tradisi unik tersebut sudah tak seramai dulu.

"Kita sengaja mengalungkan kambing atau sapi dengan ketupat. Maknanya, bahwa Lebaran ini bukan hanya milik kita. Tapi hewan pun juga diajak merasakan maraknya berlebaran ketupat," ujar Fathur Rahman yang juga merupakan ketua RT setempat.

Namun, sekali lagi, bergulirnya zaman juga diakuinya sedikit mengikis tradisi tersebut. "Kalau zaman dulu kambing yang dikalungi ketupat itu sengaja dikeluarkan dari kandang. Dan anak-anak berebut mengejar kambing untuk diambil ketupatnya untuk disantap. Sayangnya, sejak berapa tahun ini tidak ada lagi tradisi kejar kambing tersebut," cerita Fathur Rahman.

Seperti halnya Hamidah, Fathur Rahman juga menyadari hal itu adalah imbas dari pergeseran zaman. Dan itu merupakan hal yang wajar. Itu mengingat sang penganut tradisi sudah mulai berganti generasi. "Wajarlah, orang zaman sekarang sudah berbeda dengan orang zaman dulu. Jadi tradisi yang tidak dianggap penting sudah tak perlu dilakukan lagi," ujar Fathur Rohman sembari tersenyum. (SARI PURWATI)

Sumber: Jawa Pos, 09/10/08

kembali

Pegadaian Menjelang Lebaran Ketupat

Menghadapi Lebaran Ketupat, Perum Pegadaian Bangkalan kembali dipenuhi nasabah. Namun, pemandangan kali ini berbeda dari sebelumnya. Ketika Lebaran Idul Fitri masyarakat ramai menebus barang. Tapi, kali ini masyarakat antre menunggu giliran mendapatkan pinjaman.

SIANG itu, nasabah pegadaian sangat ramai. Mereka duduk di kursi antrean menunggu giliran dipanggil untuk mendapatkan dana kontan. Tapi, pemberian dana segar ini tidak serta merta diberikan. Masyarakat harus memberi barang sebagai jaminan.

Kepala Cabang Pegadaian Bangkalan Coyyin mengatakan, fenomena gadai barang menjelang Lebaran sudah biasa. Nasabah meminjam uang untuk kebutuhan mereka. "Sudah biasa, menjelang Lebaran kebutuhan masyarakat meningkat," katanya.

Sehari Salurkan Rp 201 Juta

Berdasarkan data pegadaian, pada September 2008 dana yang disalurkan pegadaian mencapai Rp 1.367.564.000 Jumlah ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Bulan yang sama pada 2006, dana yang disalurkan mencapai Rp 1.170.751.000. Pada 2007 lebih rendah, yakni Rp 983.925.000.

Sedangkan Oktober ini, lanjut Coyyin, pihaknya belum bisa memastikan besar dana yang akan disalurkan. "Tapi untuk hari masuk pertama kemarin (Senin 6/10), dana yang disalurkan sudah mencapai Rp 201 juta," terangnya.

Sementara, pemberian pinjaman dengan bunga 0,9 persen untuk usaha, pegadaian belum bisa merealisasikan. "Kita tunggu sampai bunga turun 0,3 persen. Baru kita salurkan," jelas Coyyin.

Meskipun suku bunga menurun, tambahnya, pegadaian tidak langsung memberi pinjaman. Karena pinjaman jenis usaha, pihaknya terlebih dahulu melakukan beberapa survei. "Kalau memang layak mendapatkan dana, kita salurkan," tandasnya. (ZARNUJI)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 08 Oktober 2008)

kembali

Label: , ,

Kerapan Sapi di Madura

Madura tidak hanya terkenal karena hasil garamnya, namun lebih daripada itu Pulau Madura dikenal dengan tradisi adu pacu sapinya yang disebut “kerapan”. Kebiasaan memacu binatang peliharaan di arena memang sudah menjadi kegemaran penduduk Madura sejak dahulu kala. Di Madura tidak hanya hewan peliharaan sapi yang diadu cepat, tetapi juga kerbau seperti yang terdapat di Pulau Kangean. Adu cepat kerbau itu disebut “mamajir”. Sapi atau kerbau yang adu cepat itu, dikendarai oleh seorang joki yang disebut tukang tongko. Tukang tongko tersebut berdiri di atas “kaleles” yang ditarik oleh sapi atau kerbau pacuan.

Pengertian dan Asal Mula

Bagi orang Madura, pengertian kata karapan atau kerapan adalah adu pacu sapi memakai kaleles. Perkaitan kerapan diartikan sebagai adu/pacuan sapi karena pacuan binatang lain seperti kerbau tidak disebut kerapan, tetapi mamajir. Oleh sebab itu tidak pernah dikenal istilah kerapan kerbau.

Kata kerapan berasal dari kata kerap atau kirap yang artinya berangkat dan dilepas bersama-sama atau berbondong-bondong. Ada pula anggapan lain yang menyebutkan bahwa kata kerapan berasal dari bahasa Arab “kirabah” yang berarti persahabatan. Dalam pengertiannya yang umum sekarang kerapan adalah suatu atraksi lomba kecepatan sapi yang dikendarai oleh joki dengan menggunakan kaleles.

Lahirnya kerapan sapi di Madura nampaknya sejalan dengan kondisi tanah pertanian yang luas di Madura. Tanah-tanah pertanian itu dikerjakan dengan bantuan binatang-binatang peliharaan seperti sapi dan kerbau. Karena banyaknya penduduk yang memelihara ternak, maka lama kelamaan muncullah pertunjukan kerapan sapi.

Ada dugaan bahwa kerapan sapi sudah ada di Madura sejak abad ke 14. Disebutkan ada seorang kyai bernama Kyai Pratanu pada jaman dulu yang telah memanfaatkan kerapan sapi sebagai sarana untuk mengadakan penjelasan tentang agama Islam. Oleh sebab itu ajaran-ajarannya yang filosofis dihubungkan dengan posisi sapi kanan (panglowar) dan sapi kiri (pangdalem) yang harus berjalan seimbang agar jalannya tetap “lurus”, agar manusia pun dapat berjalan lurus.

Cerita lain mengatakan, pada abad ke-14 di Sapudi memerintahkan Panembahan Wlingi. Ia banyak berjasa dalam menanamkan cara-cara berternak sapi yang kemudian dilanjutkan oleh puteranya, Adi Poday. Sang putra lama mengembara di Madura daratan dan ia memanfaatkan pengalamannya di bidang pertanian di Pulau Sapudi sehingga pertanian semakin maju.

Karena pertanian sangat maju pesat, maka dalam menggarap lahan itu para petani seringkali berlomba-lomba untuk menyelesaikan perkerjaannya. Kesibukan berlomba-lomba untuk menyelesaikan pekerjaan itu akhirnya menimbulkan semacam olahraga atau lomba adu cepat yang disebut karapan sapi.

Berbagai macam “kerapan sapi”

Di Madura dijumpai beberapa macam “kerapan sapi” yang memberikan klasifikasi kepada jenis dan kategori peserta karapan tersebut. Berbagai macam karapan sapi itu adalah sebagai berikut:

Kerap Keni' (Kerapan Kecil)

Kerapan jenis ini diadakan pada tingkat kecamatan atau kewedanaan. Para peserta adalah yang berasal dari daerah yang bersangkutan. Sapi kerap dari luar tidak diperbolahkan turut serta. Jarak tempuh hanya 110 meter. Dalam kategori ini yang diutamakan adalah kecepatan dan lurusnya. Kerap keni ini biasanya diikuti oleh sapi-sapi kecil dan baru belajar. Pemenangnya merupakan peserta untuk mengikuti kerap raja.

Kerap Rajha (Kerapan Besar)

Kerapan besar ini disebut juga kerap negara, umumnya diadakan di ibukota kabupaten pada hari Minggu. Ukuran lapangan 120 meter. Pesertanya adalah juara-juara kecamatan atau kewedanaan.

Kerap Onjhangan (Kerapan Undangan)

Kerapan undangan adalah pacuan khusus yang diikuti oleh peserta yang diundang baik dari dalam kabupaten maupun luar kabupaten. Kerapan ini diadakan menurut waktu keperluan atau dalam acara peringatan hari-hari tertentu.

Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)

Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari empat kabupaten di Madura. Kerap karesdenan diadakan di kotaPamekasan pada hari Minggu, merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.

Kerap jhar-ajharan (kerapan latihan)

Kerapan latihan tidak tertentu harinya, bisa diadakan pada setiap hari selesai dengan keinginan pemilik atau pelatih sapi-kerap itu. Pesertanya adalah sapi lokal.

Persyaratan sapi-kerap tidaklah banyak, asalkan sapinya kuat dan diberi makanan yang cukup, dilatih lari, dipertandingkan dan diiringi dengan musik saronen. Konon beberapa pemilik sapi-kerap juga melengkapi kehebatan sapinya dengan menggunakan mantra-mantra serta sajian tertentu. Sesungguhnya hal ini tidak dibenarkan dalam aturan sebuah lomba atau kerapan.

Pelaksanaan Kerapan

Sebelum kerapan dimulai semua sapi-kerap diarak memasuki lapangan, berparade agar dikenal. Kesempatan ini selain digunakan untuk melemaskan otot-otot sapi karena sudah ditambatkan, juga merupakan arena pamer akan keindahan pakaian/hiasan sapi-sapi yang akan berlomba. Sapi-sapi itu diberi pakaian berwarna-warni dan gantungan-gantungan genta di leher sapi berbunyi berdencing-dencing. Setelah parade selesai, pakaian hias mulai dibuka. Hanya pakaian yang tidak mengganggu gerak tubuh sapi saja yang masih dibiarkan melekat.

Maka dimulailah babak penyisihan, yaitu dengan menentukan klasemen peserta, peserta biasanya pada babak ini hanya terpacu sekedar untuk menentukan apakah sapinya akan dimasukkan “papan atas” atau “papan bawah”. Hal ini hanyalah merupakan taktik bertanding antarpelatih untuk mengatur strategi.

Selanjutnya dimulailah ronde penyisihan pertama, kedua, ketiga dan keempat atau babak final. Dalam ronde-ronde ini pertandingan memakai sistem gugur. Sapi-sapi kerap yang sudah dinyatakan kalah tidak berhak lagi ikut pertandingan babak selanjutnya.

Dalam mengatur taktik dan strategi bertanding ini masing-masing tim menggunakan tenaga-tenaga trampil untuk mempersiapkan sapi-sapi mereka. Orang-orang itu dikenal dengan sebutan: (1) tukang tongko', joki yang mengendalikan sapi pacuan; (2) tukang tambeng, orang yang menahan kekang sapi sebelum dilepas; (3) tukang gettak, orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba sapi itu melesat bagaikan abak panah ke depan; (4) Tukang tonja, orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi agar patuh pada kemauan pelatihnya; (5) tukang gubra, anggota rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk memberi semangat pada sapinya dari tepi lapangan. Mereka tidak boleh memasuki lapangan dan hanya sebagai suporter.

Demikian sekilas tentang kerapan sapi di Madura yang sudah merupakan acara hiburan tradisi yang masih lestari sebagai konsumsi wisatawan, tetapi juga telah membawa akibat positif bagi masyarakat Madura di bidang ekonomi, kreatifitas budaya dan sekaligus juga telah melestarikan penghargaan masyarakat terhadap warisan budaya nenek moyang.

Tulisan ini diambil dari:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1991. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Label: , ,

Kerukunan, Modal Utama Membangun Pamekasan


dari kiri Kholilurahman, Nanang Chadarusman
Guna menciptakan kekompakan dan kedamaian antar elemen masyarakat di Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batumarmar, Rabu (25/4) kemarin, digelar acara pengajian perdamaian. Pengajian itu dihadiri oleh Bupati Khalilurrahman dan Kapolres AKBP Nanang Chadarusman, serta sejumlah ulama berpengaruh.

Diantara para ulama yang hadir adalah KH Muhammad Rafii Baidawi, pengasuh Ponpes Al Hamidi, Banyu Anyar, KH Muhammad Syamsul Arifin pengasuh Pesantren Banyu Anyar Barat, KH Hasan Abdul Hamid dan KH Thoriq Abdul Hamid Pengasuh Pesantren Mambaul Ulum Bata Bata dan sejumlah ulama lainnya.

Kepala Desa Bujur Tengah Supriadi mangatakan, bahwa pengajian yang digelar adalah pengajian rekonsiliasi untuk kerukunan masyarakat yang sempat terpecah akibat kasus carok massal yang terjadi pada tahun 2006 lalu. Saat itu dua kelompok masyarakat terlibat carok massal yang mengkibatkan tewasnya 8 orang warga.

“Pengajian ini dilakukan untuk rekonsiliasi dan perdamaian, bukan hanya untuk satu kelompok saja, tapi untuk semua elemen masyarakat. Masyarakat kini sudah aman dan tennag, namun alangkah baiknya jika kondisi itu ditingkatkan, salah satunya dengan pengajian ini,” katanya.

Kapolres Pamekasan Nanang Chadarusman, saat menyampaikan sambutan mengungkapkan bahwa masyarakat desa Bujur Tengah kini sudah aman dan tenang. Karena itu dia minta agar ketenangan itu ditingkatkan dan jangan sampai pecah lagi. Untuk itu dia meminta agar masyarakat tidak mudah terhasut leh isu yang negatif.

“Jangan mudah terprpovokasi oleh isu negatif yang diperkirakan akan bisa membawa masyarakat pecah. Jika ada gangguan atau hal yang tidak diinginkan hendaknya berkordinasi dengan aparat keamanan di desa dan Kecamatan. Aparat kami akan selalu siap membantu menyelesaikannya,” kata Nanang.

Sementara itu Bupati Khalilurrahman mengatakan, pengajian itu merupakan bentuk kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat untuk meredam konflik. Karena itu, dia meminta agar masyarakat benar-benar memanfaatkan momentum itu untuk kepentingaan mendamaikan dan membuat masyarakat tenang dan rukun.

“Rukun merupakan modal untuk membangun. Pembangunan bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tapi juga tanggungjawab masyarakat bersama. Dengan rukun dan damai maka akan kompak untuk membangun. Pemerintah tinggal memfaslitasi saja, “ katanya.

Dia mengatakan bahwa pembangunan di Pamekasan pada tahun 2012 ini akan memprioritaskan pada perbaikan dan pembanguna infrastruktur jalan. Utamanya jalan poros desa dan kecamatan yang menjadi kebutuhan vital untuk percepatan pembangunan ekonomi di desa. (mas)

Sumber: Surabaya Post

Label: , , , , , , , ,

Desa Miskin Turun Drastis Tinggal 74 Desa


SP/Masdawi Dahlan BUPATI Kholil dalam pengajian akbar muslimat NU dan KH R Kholil Asat (inzet)


Bupati Pamekasan Khalilurrahman menegaskan, selama empat tahun memimpin Pamekasan bersama wakilnya, Kadarisman Sastrodiwirjo, telah membuahkan banyak keberhasilan. Sekalipun dia juga mengakui ada beberapa hal yang belum tuntas. Hal itu disampaikan oleh bupati Kholil, panggilan akrabnya, saat memberi sambutan dalam acara Pengajian Akbar Muslimat NU Pamekasan yang bekerjasama dengan Pemkab Pamekasan, di lapangan depan Pendopo Ronggosukowati, Sabtu (21/4) kemarin.

Pengajian yang dihadiri ribuan kaum muslimin dan muslimat dari penjuru Pamekasan itu mendatangkan penceramah tunggal, yakni KH R Kholil Asat, pengasuh pondok pesantren Wali Songo, Situbondo. Dalam pengajian itu seluruh anggota Forum Pimpinan daerah (Forpida), para camat dan pimpinan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Pamekasan, juga hadir. Menurut Bupati, salah satu keberhasilan yang harus diketahui oleh masyarakat adalah, berkurangnya jumlah desa miskin secara drastis. Menurut dia, pada saat dilantik menjadi pimpinan daerah pada tahun 2008 lalu, jumlah desa miskin di Pamekasan mencapai 144 desa dari 189 desa dan kelurahan yang ada di Pamekasan. Namun pada akhir tahun 2010 lalu, katanya, jumlah itu sudah berkurang drastis hanya tinggal 77 desa saja.

“Berarti telah ada penurunan sekitar 50 persen jumlah desa miskin yang ada di Pamekasan selama kami berdua dengan Pak Dadang memimpin Pamekasan. Ini merupakan bentuk rahmat dari Allah SWT. Dan harus disyukuri sebagai sebuah keberhasilan dari kerja kita bersama. Memang kita tidak bisa membalik tangan 100 persen harus tuntas. Karena kita tak bisa, bim salabim,” candanya.

Bupati Kholil mengajak agar masyarakat Pamekasan selalu menyikapi pelaksanan pembangunan itu dengan sikap religius. Selain itu juga mengingatkan agar masyarakat Pamekasan selalu mengharap ridla Allah SWT dalam mensyukuri keberhasilan yang dicapai. Sebab sebuah keberhasilan yang tidak diiringi dengan syukur dan menghaharap ridla Allah, maka keberhasilan itu tidak akan banyak bermanfaat. Tekat dengan program pembangunan prioritas pada tahun 2012 ini, sebagai tahun kelima kepemimpinannya, Bupati Kholil menegaskan bahwa pada tahun ini pihaknya konsentrasi melakukan penuntasan pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan. Menurut dia, seluruh jalan strategis yang berkaitan dengan percepatan ekonomi akan diperbaiki total pada tahun ini.

“Sudah direncanakan semua jalan strategis di desa dan kecamatan yang berkaitan dengan kepentingan akselerasi pembangunan ekonomi akan diperbaiki, mudah- mudahan tidak ada halangan. Memang tahun ini komitmen pembangunan pada bidang infrstruktur jalan sangat besar. Utamanya untuk membuka akses bagi desa atau wilayah terisolir,” katanya.

Sementara itu KH R Kholil Asat pengasuh pondok pesantren Wali Songo Situbondo dalam ceramahnya, mengajak masyarakat Pamekasan untuk banyak mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan banyak mengikuti sunnah rasululllah. Dia juga mnengajak umat untuk mendoakan agar para peminpin bangsa Indonesia baik di pusat maupun di daerah diberi hidayah oleh Allah SWT, sehingga bisa menjalankan tugas dengan baik. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Minggu, 22/04/2012

Label: , , , , , ,

Manusia Pasir, Sisi Unik Potensi Pantai Utara Sumenep

SP/Etto Hartono
Beginilah keseharian ibu dan anak ini tertidur pulas di atas kasur pasir, di Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep.

Mayoritas warga tiga desa di kecamatan Batang-Batang, kabupaten Sumenep, Madura, tidur beralas pasir. Tradisi ini sudah dilakoni secara turun-temurun sejak kakek moyang mereka dulu. Disamping sudah tradisi, hal ini diyakini sebagai obat bagi kesehatan tubuh. Etto Hartono, reporter Surabaya Post yang bertugas di Sumenep, melaporkannya untuk pembaca.

Bagi mayoritas di tiga desa yakni warga, Legung Barat dan Desa Dapenda, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura pasir tidak akan pernah lepas dari kehidupannya, sudah menjadi gaya hidup.

Tradisi tidur diatas pasir yang ditempatkan di sudut kamar rumah, maupun di ruang istirahat, menjadi teman dalam hidupnya. Bahkan, sebagian halaman rumah juga terdapat pasir sebagai tempat bermain anak-anak.

Warga tiga desa yang mayoritas sebagai nelayan, dan sebagian lainnya pedagang dan bertani, menganggap pasir memberi manfaat besar berupa kesehatan bagi tubuh. Mereka juga menganggap, tidur di atas pasir bisa lebih nyenyak dibanding kasur kapuk maupun kasur spring bed yang harganya jutaan rupiah.

"Kalau tidur di atas pasir terasa lebih empuk mas. Bahkan, kalau musim dingin terasa hangat dan kalau musim panas justru terasa dingin. Tidur pun lebih nyenyak dan lebih segar," kata Ny Harsiyani (38), salah seorang warga Dusun Samburat, Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep, Selasa (10/4).

Pasir yang diambil dari sekitar Pantai Lombang itu tidak lengket ke kulit atau tubuh. Jika badan dalam kondisi basah, maka saat kering akan mengelepus dengan sendirinya. Yang istimewa, butiran pasir disepanjang Pantai Lombang memiliki kristal pasir yang sangat halus. Pasir inipun bersih mengkilap dan memiliki warna putih gading, terasa sangat halus ketika dipegang.

Warga yang memanfaatkan pasir sebagai tempat tidur atau istirahat, bukan hanya mereka yang kelas ekonomi menengah ke bawah, melainkan warga yang sudah mempunyai kemampuan lebih masih tetap tidur di atas pasir.

Rata-rata mereka juga memiliki kasur modern dari bahan kapuk maupun spring bed. Tapi uniknya itu hanya dipakai sebagai hiasan, sehingga kasur modern mereka tetap tampak bersih layaknya baru.

"Tempat tidur berupa kasur atau spring bed semua warga punya, tetapi hanya sebagai hiasan dan tidak digunakan, sehingga tetap kelihatan baru," ujarnya, sambil tersenyum.

Proses melahirkan pun, kata dia, juga dilakukan di atas pasir. Warga meyakini jika lahir di atas pasir anak-anak mereka tidak mudah sakit. Hanya pada kasus-kasus ibu yang mengalami kesulitan saat melahirkan, tetap dibawa ke Puskesmas atau ke rumah sakit.

Usir Capek dan Rematik

Salah seorang tokoh masyarakat setempat, H Ali Makki menjelaskan, kebiasaan warga tidur dan lebih banyak beraktivitas di atas pasir sudah tradisi turun-temurun. "Kenapa dan mulai kapan tidur diatas kasur pasir itu, saya juga tidak tahu, yang jelas masyarakat sangat suka dan merasa lebih sehat," katanya.

Manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat, kata dia, merasa nyaman dan nyenyak bila tidur maupun istirahat bersama keluarga. Bahkan, bagi mereka yang mempunyai penyakit rematik dan pegal atau linu akan sembuh dengan sendirinya.

"Sehabis kerja kan capek dan tubuh terasa lelah dan letih, kalau sudah tidur di atas pasir, apalagi sebagian tubuh ditimbun pasir, akan terasa nyaman dan bugar kembali," ungkapnya.

Julukan manusia pasir, kata dia, hanyalah sejumlah orang yang menyebut, yakni para pendatang yang berkunjung ke pantai Lombang dan mampir ke rumah-rumah warga untuk tahu lebih dekat. Namun, bagi warga pesisir utara menyebutnya kasur pasir.

Untuk sampai ke lokasi kampung pasir, harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan jarak 31 kilometer (km) dari pusat kota, ke arah wisata Pantai Lombang. Warga setempat sangat terbuka dan ramah bila ada tamu yang ingin tahu soal kasur pasir. Mereka pun tidak segan-segan mengajak tamunya untuk mencoba dan merasakan nikmatnya kasur pasir tersebut.

Perlu Diteliti

Direktur Rumah Sakit Daerah (RSD) dr Moh Anwar Kabupaten Sumenep, dr Susianto, menyebut fenomena kampung pasir yang digunakan warga di pesisir pantai utara kota Sumenep itu, memang perlu diteliti lebih lanjut dari lembaga yang berkompeten, sehingga dapat dijelaskan secara ilmiah ke masyarakat umum.

dr Susianto mengaku pernah berkumpul selama 5 tahun bersama masyarakat pengguna pasir sebagai alas tidur, tapi belum menemukan hasil kajian ilmiah.

"Saya pun pernah merasakan enak dan nyamannya istirahat di atas kasur pasir itu. Sebab, saya pernah bertugas di daerah itu selama 5 tahun," ujar Susianto.

Dia membenarkan jika masyarakat merasakan manfaat pasir itu untuk kesehatan. Akan tetapi, kesulitan untuk dijelaskan secara ilmiah dari sisi medis.

"Jika ada penelitian akan diketahui kandungan dalam pasir itu," katanya.

Banyak tamu dari luar negeri, kata dia, baik Amerika Serikat, India maupun wisatawan lainnya yang terkesan dengan pasir yang ada di sekitar pantai pesisir utara Sumenep itu.

"Kesan mereka, pasir itu terasa hangat, sehingga berdampak positif pada peredaran darah," ungkapnya.

"Jika di daerah luar mengemas air laut untuk kesehatan dan bisa mengobati rematik, kenapa pasir Sumenep belum bisa menghasilkan sesuatu yang lebih. Padahal, sudah dirasakan banyak orang, terutama masyarakat setempat yang sudah turun-temurun memanfaatkan pasir sebagai alas tidur," pungkasnya.

Terkait:

Sumber: Surabaya Post, Rabu, 11/04/2012

Label: , , , , ,

Warga Pulau Mandangin Resah

SP/Achmad Hairuddin
Perahu pengangkut penumpang warga Pulau Mandangin sedang bersandar di Pelabuhan Tanglok Sampang.

Jelang Kenaikan BBM

Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang akan diterapkan pemerintah 1 April 2012 mendatang, mulai menghantui para nelayan dan perahu pengangkut penumpang warga Pulau Mandangin, Kota Sampang. Karena dampak kenaikan BBM tersebut akan berpengaruh terhadap biaya operasional yang harus dikeluarkan sehari-hari.

Padahal perahu merupakan akses satu-satunya bagi warga kepulaun yang berpenduduk sekitar 6 ribu jiwa tersebut, untuk bepergian ke Kota Sampang, selain mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan.

"Seharusnya pemerintah memikirkan kami sebagai rakyat kecil karena selalu menjadi korban. Sehingga kami kesulitan untuk menaikkan ongkos penumpang karena warga di sini juga kesulitan ekonomi," keluh Sahrawi, pemilik perahu yang mengangkut penumpang dari Pulau Mandangin ke Kota Sampang, Senin (12/3).

Keresahan juga disampaikan Hasan, dia kecewa karena kenaikan BBM dinilai terlalu tinggi, tetapi sudah diumumkan jauh-jauh hari. Sehingga harga kebutuhan bahan pokok dipastikan ikut-ikutan latah akan merangkak naik, tentu saja semakin menimbulkan gejolak sosial bagi warga miskin.

"BBM Belum naik, harga sembako kini malah sudah mulai membungbung tinggi. Sedangkan kami masih harus berpikir dua kali menaikkan tarif penumpang karena pasti akan diprotes para pelanggan kami," tutur Hasan.

Tidak hanya pemilik perahu penumpang yang resah, nelayan setempat juga kelimpungan mendengar BBM naik. Mengingat mencari ikan merupakan satu-satunya mata pencaharian bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Karena sering kali hasil tangkapan ikan sedikit, tidak sebanding dengan biaya operasional yang telah mereka keluarkan.

Sukri, nelayan Pulau Mandangin, menuturkan harga solar yang saat ini sudah mencapai Rp 4.500/liter, para nelayan sudah banyak yang tidak bisa mendapatkan keuntungan yang layak. Pasalnya, hasil tangkapan ikan yang didapatkan saat melaut tidak menentu dan mengalami penurunan, bahkan sering kali mereka hanya sedikit mendapatkan tangkapan ikan.

"Sebelum BBM akan dinaikan, kalau hasil tangkapan ikan lagi sepi, kita sudah merugi karena biaya operasional dan hasil tidak sesuai. Apalagi di saat cuaca tidak menentu atau ekstrim, membuat para nelayan tidak berani melaut, sehingga tidak ada pemasukan sama sekali. Jadi, kami berharap agar pemerintah untuk tidak lagi menaikan harga solar," harap Sukri.

Keresahan para nelayan itu juga dipicu oleh penjualan hasil tangkapan ikan kadang tidak bisa stabil dan sering kali harganya mengalami penurunan cukup drastis. Tentu saja jika harga ikan turun, maka secara otomatis penghasilan nelayan juga akan mengalami penurunan. (rud)

Sumber: Surabaya Post, Senin, 12/03/2012

Label: , , , , ,

'Gatean' Tumbuhkan Semangat Gotong Royong


SP/Masdawi Dahlan
Makanan dan buah yang siap dihidangkan

Kegiatan tradisi keagamaan gatean yang digelar Pemkab Pamekasan, Minggu (26/2) kemarin cukup meriah. Betapa tidak, tradisi tahunan yang digelar dalam memeriahkan Maulid Nabi Muhammad SAW ini selain diikuti oleh seluruh karyawan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Pamekasan, juga diikuti oleh masyarakat umum yang menyaksiklan acara ini.

Gatean berasal dari bahasa Madura, yang artinya semangat untuk berpartisipasi dan bekerjasama. Dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, ada tradisi umat Islam Pamekasan zaman dahulu, yakni umat Islam dalam memperingati Maulid Nabi dengan bergotong royong menyediakan makanan dan buah buahan yang dibawa ke masjid atau rumah kiai.

Langkah ini dilakukan sebagai pengganti karena tidak semua umat Islam bisa menggelar sendiri acara peringatan maulid. Gantinya peringatan maulid dipusatkan di masjid. Umat Islam menyumbang sebagian makanan dan buah buahan dibawa ke masjid yang tengah melaksanakan peringatan maulid. Di masjid itulah lalu makanan dan buah itu juga dimakan bersamaaan dengan para undangan dan tamu lainnya.

Peringatan gatean yang dilaksanakan Minggu kemarin merupakan yang kedua kalinya digelar oleh Pemkab Pamekasan. Pertama dilakukan pada Maulid tahun 2011 lalu. Tempatnya dilaksanakan di areal monumen Arek Lancor. Karena dilaksanakan di tengah-tengah kota, maka kegiatan keagamaan ini banyak disaksikan oleh masyarakat sekitar maupun orang luar Pamekasan yang melintas dikota Pamekasan.

Seluruh instansi di lingkungan Pemkab Pamekasan mengirim satu regu karyawannya untuk hadir mengikuti ritual Gatean ini. Jumlahnya mencapai 80 kelompok. Bahkan dari instansi pemerintah lainnya, seperti dari Kantor Kementerian Agama dan Pengadilan Agama Pamekasan juga hadir mengikutsertakan karyawannya.

Semua kelompok peserta gatean masuk di arena Monumen Arek Lancor dari jalur yang berbeda. Ada yang masuk dari arah timur, dari arah barat dan arah selatan. Mereka berbaris rapi menggunakan pakaian adat yang bernuansa Islami. Mereka membawa aneka ragam makanan dan buah buahan, ada yang dibawa becak ada yang dibawa kendaraan mobil terbuka.

Yang tak kalah menariknya bersamaan dengan rombongan peserta gatean ini ada juga yang membawa hiburan seperti hadrah. Para peserta kirab gatean ini juga tak lupa ikut berjoget mengiringi irama hadrah, sehingga menambah suasana meriahnya acara Gatean tersebut.

Bupati Pamekasan Khalilurrahman dalam sambutannya yang dibacakan Wakil Bupati Kadarisman Sastrodiwirjo mengatakan, bahwa sengaja Pemkab Pamekasan menggalakkan tradisi Gatean ini karena tradisi itu merupakan tradisi leluhur umat Islam Pamekasan dan Madura pada umumnya yang bernilai baik dan layak dilestarikan.

Gatean ini memupuk semangat gotong royong. Bukan hanya acara seremonial Maulid Nabi saja namun juga bermakna memotivasi semangat hidup kebersamaan. Sehingga pantas kalau tradisi ini kita hidupkan kembali tiap tahun, sebagai bagian dari tradisi khas keagamaan Pamekasan yang bernilai positif,” katanya. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Selasa, 28/02/2012

Label: , , , , , ,

Suara Gamelan di Tengah Malam Kagetkan Warga

Warga Sumenep, Madura, yang tinggal tidak jauh dari Keraton Sumenep, dibuat penasaran dengan bunyi gamelan dari pendopo agung. Suara sayup gamelan itu selalu terdengar di atas pukul 00.00 WIB. Namun saat didekati, tidak ada aktivitas di dalam pendopo.

Lokasi pendopo agung itu sendiri berada di area keraton yang sekaligus menjadi museum serta kediaman Bupati Sumenep.

Yang menjadi keanehan, suara gamelan dari pendopo agung yang menjadi tempat pertemuan setiap pejabat maupun tamu penting itu selalu terdengar oleh warga setiap malam Jumat dan Selasa.

Dalam sejarah Keraton Sumenep, setiap ada tamu agung selalu disambut dengan gemelan dan tari-tarian khas keraton yakni Muang sangkal yang diperagakan oleh para dayang-dayang.

Bahris (30), seorang warga setempat, yang kesehariannya berjualan pulsa tak jauh dari Keraton Sumenep, mengaku jika bunyi gamelan yang terdengar di atas pukul 00.00 WIB itu dari arah pendopo keraton.

"Awalnya saya menduga ada acara dini hari di pendopo. Setelah didekati ternyata sepi. Tapi, suara gamelan itu tetap terdengar," kata Bahris, saat berbincang-bincag dengan detiksurabaya.com di tokonya, Jalan Dr Soetomo, Sumenep, Rabu (15/12/2010).

Bahris yang tokonya sekitar 50 meter ke pendopo kabupaten Sumenep itu tidak hanya
sekali mendengar bunyi gamelan di tengah malam. Melainkan hampir setiap malam Jumat dan Selasa.

"Kalau malam Jumat legi dapat dipastikan bunyi gamelan itu selalu terdengar," ungkapnya.

Hal lain yang kelihatan aneh tambah Bahris, yakni sesekali ada sinar memanjang yang datang dari semua arah dan jatuh di atas pendopo. "Sinar itu seperti meteor jatuh. Jaraknya sekitar 100 meter ke tanah," ujarnya.

Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Sumenep, M Nasir, membenarkan jika sebagian orang sering mendengar bunyi gamelan di tengah malam dari arah pendopo agung. (Moh Hartono)

Sumber: detikSurabaya, Rabu, 15/12/2010

Label: , , ,

Madura Kawasan Swasembada Garam

Pemerintah akan menjadikan Madura sebagai kawasan swasembada garam. Saat ini kebutuhan garam nasional, baik untuk industri maupun konsumsi rumah tangga, mencapai 2,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 1,4 juta ton masih diimpor dari luar negeri. Sedangkan dari 1 juta ton garam produk dalam negeri, 60%-nya produk garam Madura.

Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Ir A Helmy Faisal Zaini, mengatakan, dengan program Madura sebagai pengembangan kawasan swasembada garam, maka dalam waktu 3 sampai 4 tahun Madura akan bisa memasok semua kebutuhan garam dalam negeri, dan juga akan bisa ekspor garam. “Saya yakin akan tercapai,” katanya saat memberi sambutan dalam kunjungannya ke Pamekasan, Senin (25/1).

Program swasembada garam di Madura ini, kata dia, merupakan sebagian dari program Kementrian PDT dalam bidang pengembangan kawasan dengan komoditi unggulan daerah. Selain garam, di Madura juga ada komoditi unggulan lain yang termasuk dalam program pengembangan Kementrian PDT, yakni batik tulis Madura.

“Batik tulis Madura ini masuk unggulan daerah yang juga harus dikembangkan. Bapak Presiden sudah memesan dan meminta secara khusus pada saya. Batik Madura terpilih karena memiliki motif yang khas, yakni dinamis dan berani,” kata Helmy Faisal yang juga sempat meninjau sentra usaha batik tulis di Desa Klampar Kecamatan Proppo.

Ia juga sempat menyerahkan bantuan kepada Kelompok Masyarakat (Pokmas) berupa bantuan dana untuk program P2KPDT, P2IDT dan P2SEDT. Terkait dengan program pemberantasan kemiskinan, Helmy mengatakan salah satu upaya yhang dilakukan Kementrian PDT adalah mengembalikan masyarakat desa yang kini sudah banyak melakukan urbanisasi ke kota. Dalam menjalankan program ini, Kementrian PDT akan melakukan pembangunan dengan model bedah desa.

Dikatakan Helmy, pada tahun 1980-an perbandingan antara warga desa dengan kota adalah 70% warga tinggal di desa dan 30% tinggal di kota. Namun, pada tahun 2009 lalu jauh berubah. Warga yang tinggal di desa turun jadi 58%, sedangkan yang tinggal di kota naik mencapai 42%. Padahal, luas wilayah pedesaan jauh lebih luas daripada kota.

Banyaknya warga desa yang urbaninasi ke kota karena mereka yakin fasilitas hidup yang lengkap ada di kota, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjan dan sebagainya, sehingga warga desa tertarik pindah ke kota. Karena itu, perlu program pengembalian warga itu dengan model bedah desa sehingga warga kembali tertarik untuk hidup, membangun dan sejahtera di desa.

Kementrian PDT juga mempersilakan daerah untuk mengajukan proposal bantuan, jika membutuhkan bantuan Kementrian PDT. Dia melihat Madura, khususnya Pamekasan, memiliki banyak potensi yang kini mulai bergeliat dan tinggal mendapatkan bantuan pengembangan. “Kami minta agar proposal segera diajukan, dan kami tunggu,” katanya. (mas)

Sumbaer: Surabaya Post, Selasa, 26 Januari 2010

Label: , , , ,

Memasuki Bulan Sya'ban, Asta Tinggi Dipadati Peziarah

Memasuki bulan Sya’ban, sejumlah tempat wisata religius dipadati pengunjung. Salah satunya pemakaman raja di Asta Tinggi. Selama dua hari kemarin, jumlah pengunjung meningkat.

Biasanya, Asta Tinggi ramai didatangi peziarah ketika liburan sekolah. Namun, pada waktu istimewa seperti bulan Sya’ban, Ramadan, dan Muharrom, tempat pemakaman raja-raja Sumenep ini tak sepi dari peziarah.

”Selama musim liburan, Asta Tinggi penuh sesak peziarah. Karena sekarang hampir bulan Sya’ban,” kata salah seorang penjaga Asta Tinggi, Abd Raqib.

Di sejumlah makam raja, para peziarah khusyuk membaca serangkaian doa dan zikir. Ada yang membaca istigfar dan surat Yasin serta bacaan lainnya. Sehingga, cungkup bangunan ukuran 6x5 meter itu dipadati peziarah.

Saat ini, sedikitnya 700 warga mendatangi tempat ini. Padahal, sebelum liburan sekolah, pengunjung yang datang berkisar antara 200 hingga 300 pengunjung.

Biasanya wisatawan mengawali kunjungannya ke makam Sayyid Yusuf di Pulau Talango. Setelah dhuhur, Asta tinggi baru terlihat ramai.

Salah seorang wisatawan asal Pasuruan, Moh. Anwar mengaku mengunjungi asta tinggi untuk mengetahui makam raja-raja, peninggalan keraton Sumenep.

Sebab, dari sejarah, keraton Sumenep masih memiliki hubungan dengan Pulau Jawa. Selain ingin tahu tempat bersejarah, dia bersama keluarganya juga ingin mengharap berkah dari para tokoh dan ulama yang disemayamkan di tempat tersebut.iir

Sumber: Surabaya Post, Senin, 27 Juli 2009

Label: , , , , , ,

Pir-piran Jelang Telasan Topa' di Desa Dharma Tanjung

Dulu Naik Andong untuk Silaturahim, Kini Ajang Pamer Diri

Mempertahankan tradisi suatu keharusan. Mungkin komitmen itulah yang tetap dipegang oleh masyarakat Madura, khususnya, warga Desa Dharma Tanjung, Kecamatan Camplong, Sampang. Mereka sampai saat ini tetap melestastarikan budaya Pir-piran yang digelar semarak tiga kali dalam setahun.

SUASANA Desa Dharma Tanjung, Kecamatan Camplong sehari pasca Idul Fitri 1430 Hijriyah atau Senin (21/9) benar-benar meriah. Hari itu, warga setempat menggelar tradisi Pir-piran mulai pukul 15.00 sampai 18.00. Seperti tahun sebelumnya, ritual yang digelar guna merayakan hari kemenangan tersebut mengakibatkan kemacetan arus lalu lintas Sampang-Pamekasan.

Berdasar pantauan koran ini, suasana desa paling timur di Kabupaten Sampang ini benar-benar beda dibanding hari biasanya. Warga setempat yang tampak bangga mengenakan baju dan sandal baru, mejeng di pinggir jalan. Mulai dari anak kecil, muda-mudi, hingga orang tua pun ikut memeriahkan perayaan Pir-piran.

Abd. Waris, salah seorang warga Desa Bandaran, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan mengatakan, tradisi tersebut sudah dilakukan masyarakat Desa Bandaran dan Desa Dharma Tanjung, Kecamatan Camplong, Sampang secara turun temurun. Salah satu tujuannya, mempererat tali silaturahmi warga Bandaran dan Dharma Tanjung.

"Tradisi ini digelar tiga kali dalam setahun. Rinciannya sehari pasca Idul Fitri, sehari pasca Tellasan Topak, dan sehari pasca perayaan hari Idul Adha. Uniknya, warga silaturahmi sambil menaiki andong," katanya.

Dijelaskan, dalam bahasa Madura Pir-piran diartikan naik andong atau dokar. Sebab Pir sendiri diartikan sebagai Andong. "Pir sebutan orang Madura untuk andong roda 4 di zaman dulu. Kalau sekarang, andong hanya memiliki 2 roda," terang Sofyan, salah seorang warga Desa Tanjung.

Berdasar kepercayaan dan cerita leluhur warga setempat, naik andong saat hari raya merupakan sebuah kemuliaan. "Karena itu, warga zaman dulu selalu naik andong saat bersilaturahim dengan sanak famili," paparnya.

Kamaluddin, salah seorang tokoh pemuda Desa Dharma Camplong, Kecamatan Camplong menambahkan, nilai histori tradisi Pir-piran dinilai sudah mulai bergeser dari esensinya. "Sepertinya, saat ini sudah mulai mengalami pergeseran," katanya.

Menurut dia, kegiatan Pir-piran saat ini terkesan sudah berubah menjadi acara urakan yang dilakukan di pinggir jalan. Sebab, lanjutnya, bukan lagi salam-salaman untuk saling meminta maaf yang dikedepankan. "Sebaliknya, malah berjoget ria," ungkapnya.

Perubahan tersebut, lanjut Kamal, juga bisa dilihat dari gaya dan model warga. Sebab ada yang mengendarai andong dan sebagian lagi naik becak untuk sekadar berputar-putar memamerkan diri. Bahkan, ada pula yang bergaya ala artis Manohara Odelia Pinot dengan kacamata besarnya. Termasuk, berusaha tampil mewah dengan perhiasan.

Sementara laki-lakinya memilih joget berkelompok di pinggir jalan. Seperti yang dilakukan Agum bersama sejumlah temannya. Bocah imut tersebut tampil percaya diri ala Kuburan Band. "Kesannya, momentum Lebaran dengan cara bersalam-salaman sudah tidak tampak lagi," imbuh Sofyan.

Kepada koran ini, baik Abd. Waris, Sofyan, dan Kamaluddin sangat berharap tradisi tersebut tetap lestari tanpa merubah tujuan tradisi yang menghendaki semakin eratnya tali silaturahim. "Kalau sudah mengalami perubahan seperti ini, kan eman," pungkas Sofyan. (c17/yan/ed)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 24 September 2009

Label: , , ,

Tradisi Pengajian Memasuki
Bulan Rabiul Awal Tahun Hijriah

Di Kota Dikalahkan Televisi, di Desa Tetap Meriah

Madura dan beberapa daerah lain memiliki aktivitas menyambut bulan di mana nabi besar umat muslim dilahirkan, yaitu Rabiul Awal. Sayangnya, tradisi itu kini semakin banyak ditinggalkan di wilayah kota. Sementara di desa, peringatan yang dikenal akrab dengan sebutan cocoghan ini masih menjadi prioritas warga.

Pertanda tersendiri bagi warga di Madura ketika segala tanaman berbuah berarti bulan Rabiul Awal sudah dekat. Rabiul awal menjadi bulan yang sangat spesial bagi warga Madura karena Rasulullah Muhammad SAW dilahirkan pada tanggal 12 salah satu bulan penangggalan hijriah tersebut. Berbagai kegiatan dilaksanakan untuk menyambut datangnya bulan yang juga suci di samping Ramadhan.

Kegiatan yang paling banyak ditunggu-tunggu adalah pelaksanaan cocoghan. Kegiatan ini merupakan suksesi pergantian. Dirayakan tepat di malam tanggal 1 Rabiul Awal. Kegiatannya semacam pengajian dengan pembacaan salawat nabi secara bersama - sama di surau dan mushala. Segala yang dimiliki warga mulai dari uang hingga buah - buahan yang mereka miliki disumbangkan untuk mereka yang datang ke peringatan tersebut.

Mereka yang datang menyumbang tidak lantas pulang, tapi juga duduk membacakan surat-surat. Pada surat tertentu warga yang hadir harus berdiri. Pada surat tertentu pula warga harus berebut buah-buahan yang dihidangkan dan sumbangan warga. Setelah berebut mereka kembali tenang membaca surat yang lain hingga usai. Beberapa kampung masih punya kegiatan sendiri seperti yang dilakukan oleh kelompok warga di Jalan Trunojoyo III (Bangkalan). Mereka terus melantunkan salawat nabi disertai tabuhan alat musik rebana dan perlengkapan lainnya.

Namun, cocoghan kini sudah banyak ditinggalkan oleh warga kota. Tradisi yang sudah ada sejak lama ini kalah dengan tayangan hiburan televisi. "Terus terang memang tambah lama kegiatan tahunan ini makin sepi. Kalah sama TV (televisi,Red) Mas. Kalau diajak orang - orang ternyata lebih memlilih nonton TV," ujar Rosi warga Jalan Jokotole sepulang cocoghan di kampungnya. Padahal, sambungnya, saat dirinya masih kecil, tak satu pun warga diam di rumahnya saat cocoghan berlangsung. "Waktu itu memang tidak ada TV," imbuhnya.

Menurut Rozi, kondisi tersebut berbeda dengan di desa. Tak perlu jauh-jauh membuktikan hal tersebut. Pasar yang biasanya ramai bisa cukup sepi menjelang peringatan memasuki bulan lahir nabi terakhir itu. Mereka memilih pulang ke rumahnya masing-masing untuk mempersiapkan hidangan terbaik untuk disumbangkan ke mushala desa dan kiainya. "Kalau di kampung - kampung kota saja masih ada yang mengadakan cocoghan, saya yakin di desa tak akan sepi. Pasti ramai, tidak mungkin ada mushala yang kosong. Warga juga pasti ikut semua," ujarnya pria asal Kecamatan Geger ini. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 27 Februari 2009

Label: ,

Ter-ater, Untuk Famili, Guru "Ngaji", dan Kyai

Kompas/Agnes Rita Sulistyawaty

Sore itu suasana di desa Gagah kecamatan Kadur, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, terlihat berbeda dengan hari-hari biasanya. Hilir mudik kaum perempuan desa, baik tua, muda, bahkan hingga anak-anak, membawa makanan ke rumah-rumah warga, menjadi pemandangan yang dominan di desa kecil yang hanya berpenduduk 785 orang itu.

"Assalamu’alaikum, ini saya disuruh ibu mengantar rebba, bhu. Ibu tidak bisa mengantar sendiri ke sini katanya mohon maaf, karena sedang banyak pekerjaan di rumah," sapa Ita, begitu sampai di sebuah rumah yang memiliki halaman luas di dusun Daporah desa setempat.

Begitu barang bawaannya diterima, gadis desa yang memiliki nama lengkap Diah Puspita Ningrum itu langsung berpamitan pulang kepada pemilik rumah, Sahama yang tak lain masih memiliki hubungan familinya dengannya.

"Saya mau cepet-cepet pulang saja, soalnya masih disuruh mengantar ke rumah rumah tetangga di sana," kata gadis yang masih berusia sekitar 13 tahun itu sambil berpamitan pulang.

Bagi warga Madura, rebba merupakan sebuah istilah pemberian makanan kepada para tetangga, kerabat ataupun sanak famili yang diberikan pada hari-hari tertentu dengan maksud untuk berbagi rezeki.

Menurut tokoh masyarakat setempat Ahmad Baihaqi, bagi keluarga atau rumah tangga yang menerima pemberian makanan dari tetangga atau familinya, mareka berkewajiban pula memberikan makanan.

"Tapi tidak harus waktu itu juga. Bisa saja diberikan keesokan harinya atau pada hari-hari lain yang dianggap sebagai hari mustajabah. Misalnya malam Jumat," kata Baihaqi.

Mengantar rebba atau makanan yang oleh warga Madura disebut ter-ater itu tidak hanya dilakukan kepada para kerabat, dan sanak famili saja, tapi juga kepada sesepuh desa, guru ngaji dan pengasuh pondok pesantren atau kyai.

Ter-ater untuk kyai pengasuh pondok pesantren, bukan hanya berupa makanan, tapi bisa juga berupa hasil bumi. Seperti jagung, padi, ketela pohon, dan berbagai jenis buah-buahan yang menjadi hasil pertanian mereka.

"Setiap panen, baik panen jagung ataupun padi, saya pasti menyisihkan khusus untuk kyai dan guru ngaji anak saya," kata Suhana (49) warga desa Kertagena Tengah kecamatan Kadur Pamekasan.

Di bulan suci Ramadan, tradisi saling mengantar makanan, atau ter-ater biasanya pada malam pertama puasa dan pertengahan bulan puasa, yakni mulai tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri.

Pada malam pertama Ramadan dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan dalam menyambut datangnya bulan yang penuh berkah dan ampunan Allah. Sedang pada tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri diharapkan akan mendapat berkah malam lailatur-qodar, dimana sebagian ulama memercayai bahwa malam lailatul-qodar mulai tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri pada malam ganjil. Seperti malam tanggal 17, 19, 21, tanggal 23, 25, 27 hingga 29 Ramadan.

Sementara di hari raya Idulfitri, tradisi ter-ater rebba yang dilakukan, sebagai bentuk rasa syukur atas pelaksanaan ibadah puasa selama satu bulan penuh.

Pererat Persaudaraan

Dosen bahasa Indonesia dan sastra Universitas Madura Drs Kholifaturrahman, M.Pd menyatakan, selain merupakan tradisi yang sudah terjadi sejak dulu, tradisi ter-ater sebenarnya merupakan salah satu bentuk dalam berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di Madura.

Tradisi semacam ini memang masih dilakukan masyarakat di Madura termasuk Pamekasan. Tapi akhir-akhir ini terlihat sudah mulai berkurang. Kecendrungan pola hidup modern dengan berbagai fasilitas yang tersedia, seperti HP dan telepon menurut Khalifaturrahman merupakan salah satu penyebabnya.

"Warga desa yang masih menjalankan tradisi asli Madura ini, sudah mulai berkurang. Meskipun ada tapi nuansanya sudah jauh berbeda dengan masa dulu," kata Khalifaturrahman, yang juga kepala seksi kebudayaan dinas P dan K kabupaten Pamekasan.

Sebenarnya menurut Khalifaturrahman, tradisi Madura yang memiliki nilai positif dan mengandung nilai-nilai luhur budaya Madura, bukan hanya tradisi ter-ater rebba sebagaimana pada setiap malam Jumat, dan hari-hari baik dalam pandangan agama Islam, tapi juga banyak tradisi lain yang saat ini sudah jarang dilakukan.

"Ini perlu peran aktif lembaga formal yang ada di Madura. Sebab masuknya modernisasi ke Madura nantinya sedikit banyak tentu akan berpengaruh terhadap keaslian budaya dan tradisi Madura," kata Khalifaturrahman menjelaskan.(ANT)

Sumber: Kompas, Minggu, 14 September 2008

Label: ,

Ada Persamaan antara Bali dan Madura

MAYORITAS masyarakat Bali beragama Hindu, mayoritas masyarakat Madura beragama Islam. Itulah dasar kesamaan jika membandingkan masyarakat Pulau Bali dengan Pulau Madura. Hanya, ada sedikit perbedaan jika dipandang dengan kacamata keterbukaan terhadap pelibatan orang maupun budaya dari luar.

Sebagai contoh, masyarakat Bali tetap adem ayem dan tetap pada pendirian agamanya meski budaya lain masuk berduyun-duyun. Batasan masyarakat Bali terhadap kebudayaan cukup kuat. Bahkan, mereka kerap kali membuka pintu untuk orang asing datang ke sana untuk datang ke acara atau ritual-ritual religiusnya. Konsistensi masyarakat pun akhirnya tumbuh untuk tetap berpegang teguh pada kebudayaan dan pola keyakinannya pada dewa-dewa.

"Saya sangat menyayangkan sekali Madura tidak seterbuka masyarakat Bali. Hasilnya bukan mereka yang menyedot orang luar untuk masuk ke lingkup kebudayaan, tetapi justru tersedot keluar," tutur Ifan.

Dia memaparkan, di Bali orang punya keyakinan yang kuat bahwa melibatkan orang asing akan membuat mereka percaya bahwa yang dianut masyarakat setempat adalah benar adanya. Sehingga, orang luar pun akan membatasi diri dan tak akan mengganggu pola keyakinan yang sudah mapan tersebut. Sebaliknya, rasa ingin tahu orang asing pun mereka manfaatkan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang berbau ritual keagamaan.

"Maksud orang Bali bukan kemudian meremehkan atau membuat upacara adat mereka menjadi sesuatu yang profan (pertunjukan belaka, Red). Tetapi, mengajak orang asing untuk mengerti tentang apa maksud mereka melakukan itu. Dengan begitu, kemudian muncul kesepakatan tidak tertulis untuk bersama-sama mengamankan budaya," terang anak kedua dari 4 bersaudara ini.

Apa Madura juga bisa seperti Bali? Berdasarkan kesamaan warga mayoritasnya, jelas Ifan, Madura sangat berpotensi untuk berjalan seperti Bali. Dengan demikian, para pemuka agama tak perlu susah payah memertahankan budaya religi dengan jerih payahnya sendiri. Bantuan untuk memertahankan budaya dan religi akan datang sendiri dari kesadaran masyarakat. Bahkan, orang asing yang datang ke Madura pun juga akan membangun kesadaran itu begitu menginjakkan kakinya di Madura.

"Syaratnya jangan terlalu rapat (tertutup, Red). Terlalu rapat justru akan membuat siapa pun yang ada di dalamnya merasa kepanasan dan ingin keluar. Biarkan udara keluar masuk dengan alami dengan batasan-batasan yang kokoh," katanya menggunakan bahasa perumpamaan. Caranya, lanjut alumnus SMAN 3 Pamekasan ini, dengan menghadirkan atmosfir yang konsisten.

Berkaitan dengan hal itu, dia mengungkapkan pengalamannya menjadi juri di lomba teater di Madura. Dalam lomba tersebut, kebanyakan peserta membawakan topik teater yang berbau religi. Terutama yang dari pesantren dan sekolah-sekolah berbasis agama Islam lainnya. "Artinya, teater pun kemudian diterima jika nuansanya Islam. Padahal, kalau mau teliti teater itu banyak melibatkan pemikiran-pemikiran Eropa yang cenderung sekuler. Ini sudah menjadi pertanda bahwa apa pun akan diterima Madura asal memiliki kedekatan dengan masyarakatnya," terangnya.

Dia berharap, ke depan Madura bisa lebih terbuka dalam berbagai hal, terutama bidang seni dan budaya. Sehingga, tidak ada lagi seniman dan budayawan Madura yang justru besar dan berkembang bukan di tanah kelahirannya sendiri. "Tentunya keterbukaan itu tidak mudah karena mungkin sedah terlanjur rapat. Tapi saya harap bisa. Kan sayang kalau orang-orang kita merasa lebih bebas berekspresi di luar Madura," pungkasnya. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 18 November 2008

Label:

Rayakan Tellasan Topa' di Talangsiring

Tellasan Topa' atau Lebaran Ketupat sebagai puncak perayaan Idul Fitri menjadi kesempatan warga untuk berlibur. Buktinya, di sejumlah pantai terlihat padat pengunjung. Seperti terlihat di pantai Talangsiring Kecamatan Larangan dan pantai Jumiang di Kecamatan Pademawu.

Di pantai Talangsiring, Desa Montok, Kecamatan Larangan, misalnya. Sejak pagi, pengunjung sudah berangsur-angsur mendatangi pantai yang berlokasi di pinggir Jalan Raya Sumenep tersebut.

Mereka terlihat berduyun-duyun menggunakan kendaraan roda empat maupun kendaraan roda dua. Tak pelak, arus lalu lintas di sekitar pantai terlihat padat merayap.

Dari pantauan koran ini, para pengunjung banyak duduk di atas kendaraanya. Ada juga yang duduk di tempat yang telah tersedia. Pengunjung juga terlihat mendekat ke batas pantai untuk bermain bersama keluarga.

"Sayang, parkir tidak ada. Akhirnya tidak nyaman. Sebab, kendaraan pengunjung juga masuk ke pantai," ujar Rita, salah satu pengunjung asal Kecamatan Kadur.

Menurut Rita, pantai Talangsiring menjadi pilihan berlibur saat tellasan topa'. Sebab, lokasinya dekat dan tidak membutuhkan banyak biaya. "Ini kan pantai Pamekasan, makanya saya ke sini. Selain itu, lokasinya mudah diakses alat transportasi," tuturnya.

Sementara itu, arus lalu lintas di sepanjang jalan pantai Talangsiring terlihat padat. Namun, tidak sampai terjadi antrean panjang. "Kondisinya masih normal. Tapi lebih ramai dari hari-hari biasa," kata Kapolsek Larangan AKP Puryanto.

Pemandangan serupa terlihat di pantai Jumiang, Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu. Di sana, juga tampak padat pengunjung. Apalagi, masyarakat sekitar menggelar rokat tasek dengan hiburan musik daul. (nam/zid/fiq)


Label: , , , ,

Klampis Timur Gelar Rokat Tase'

Warga pesisir pantai Klampis Timur, Kecamatan Klampis, Bangkalan punya gawe. Selama dua hari terakhir di desa nelayan ini digelar ritual tradisional berupa rokat tase’. Acara dimaksud dikemas meriah dengan aneka rangkaian kegiatan.

Informasi yang dirangkum wartawan Koran ini, pembuka rokat tase’ yang merupakan ritual tahunan di desa setempat dibuka saronenan. Tak tanggung-tanggung, kelompok saronen dari Sumenep pun didatangkan. Selama sehari penuh (Selasa, 13/11), masyarakat desa setempat, termasuk sejumlah warga desa tetangga lainnya, bermusik-ria dalam kegembiraan.

Rangkaian berikutnya merupakan ritual rokat tase’ berupa larung sesaji ke tengah laut, kemarin siang. Dalam acara ini, warga setempat membuat tumpeng jumbo berikut 56 tumpeng kecil sumbangan warga sekitar. Tak ketinggal sesajen utama berupa kepala sapi. Seluruh sesembahan ini sebelumnya dikirap keliling kampung. Tak heran, iring-iringan mengular menuju pesisir pantai setempat. Selain warga sekitar dan aparat desa, turut mengikuti acara adalah Muspika Klampis. Salah satunya adalah Camat Klampis Bambang Setiawan MM.

Setibanya di lokasi, warga langsung memulai ritual dengan dipimpin pemuka desa setempat. Dan puncaknya, tumpeng jumbo akhirnya dilarung ke tengah laut. Sedang sesajen kepala sapi diletakkan di pagak yang merupakan tetenger muara sungai setempat.

Ketua Panitia Syaifu Rizal bersama sekretarisnya Mukaffi Jakfar menegaskan, seluruh rangkaian ritual rokat tase’ dimaksud sebagai wujud syukur kepada Sang Pencipta. "Terkait masih digelarnya sejumlah ritual tersebut, ini tak lepas dari kepercayaan warga yang masih kental," ujar keduanya.

Ditegaskan, tergelarnya acara tersebut tak lepas dari peran serta masyarakat sekitar. Utamanya kalangan muda yang tergabung dalam Karang Taruna Generasi Biru yang diketuai Mukmin. "Pun juga sumbangsih para pembina. Masing-masing Mahrus, Bapak Hanif, H Humayis, dan H Fais. Terutama pula berkat binaan dari Drs Mustahal rasyid MPd," tambah Syaifu Rizal.

Yang menarik, pemuncak acara dari rangkaian kegiatan rokat tase’ ini bakal ditutup dengan pengajian akbar. Tak tanggung-tanggung, panitia sudah menerima kepastian dari kedatangan Bupati Bangkalan RKH Fuad Amin, KH Kholis As’ad dari Probolinggo, serta RKH Abdullah Schaal. "Pengajian ini bakal dilangsungkan besok siang (siang ini, Red.) tepat pukul 13.30," pungkasnya. (ed)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 15 Nov 2007

Label: , ,