Membatik Tradisional di Tanjung Bumi

Rp 15 Ribu Per Lembar, Dikerjakan Sambil Santai

Melekatnya batik di masyarakat Kecamatan Tanjung Bumi tak sekadar sebagai pekerjaan semata. Melukis di atas kain itu sudah menjadi semacam kebiasaan yang kini mulai dipacu untuk bersaing dengan industri. Bagaimana cara kerja tradisional membatik di sana?

JIKA membatik jadi pekerjaan, maka upah yang diperoleh dari para pengepul jelas tak cukup. Sebab, untuk selembar batik yang dikerjakan paling cepat sebulan pembatik hanya bisa mendapat upah paling besar Rp 100 ribu. Upah tertinggi itu hanya untuk batik dengan kualitas gambar yang "luar biasa". Kalau untuk batik yang biasa-biasa saja, pembatik hanya bisa mendapat upah Rp 15 ribu.

Di Tanjung Bumi, hampir semua desa jadi lokasi pembuatan batik. Tak heran jika salah satu kecamatan di Bangkalan ini disebut sentra batik.

Koran ini mengunjungi keluarga Masrifah, satu keluarga pembuat, pengepul dan penjual batik. Saat didatangi koran ini Masrifah tengah sibuk mencuci batik yang didapatkannya dari warga sekitar. "Kalau dibuat sendiri tidak mungkin bisa banyak seperti ini. Buat batik itu lama Mas, bisa berbulan-bulan," ujarnya. Membuat batik memang tak boleh terburu-buru. Maklum, membatik masih belum dipandang sebagai pekerjaan, tapi kebiasaan yang dikerjakan sambil santai.

Menurut cerita warga, kebiasaan membatik tumbuh karena wilayah Tanjung Bumi dekat dengan pantai. Berdekatan dengan pantai jelas membuat warga Tanjung Bumi kebanyakan jadi nelayan. Tak seperti bertani, para istri nelayan tak bisa ikut melaut. Mereka hanya menunggu di rumah hingga suaminya datang dari tengah laut.

Nah, di waktu kosong menunggu suami pulang itulah para istri nelayan memanfaatkan waktunya untuk membatik. "Jadi tempatnya membatik itu kadang-kadang di dapur, di kamar tidur, dekat kamar mandi atau di depan tivi," tutur Masrifah.

"Namanya juga untuk mengisi waktu. Kalau ada pekerjaan lain ya batiknya ditinggal," imbuh Masrifah. Kondisi tersebut membuat produksi batik tak bisa ditarget. Selesai berapa pun per hari tetap diterima. Warga yang ikut membatik juga tak bisa diminta cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. "Saya juga punya yang cetak. Kalau yang itu (batik cetak, Red) sehari bisa sepuluh lembar," ungkapnya.

Bagaimana cara kerja warga? Warga yang bisa dan biasa membatik datang ke pengepul untuk mendapatkan kain putih. Tak ada perjanjian kapan batik itu akan selesai. Namun, warga tersebut biasanya menjanjikan kapan dirinya akan menyelesaikan selembar batik itu. "Motifnya kadang mereka minta dari saya. Tapi banyak juga yang kreasinya sendiri. Saya percaya saja, motif yamg digambar pasti bagus," paparnya.

Sekembalinya lembaran batik dari warga, di pengepul lalu menilai motif. Dari sinilah pengepul menentukan berapa upah yang akan dibayarnya untuk selembar batik. "Menilai itu tidak bisa sembarangan. Kasihan orang bikinnya lama," tandasnya.

Berapa per lembarnya? Tidak tentu. Paling murah upah per lembar batik hanya dihargai Rp 15 ribu. Sedangkan batik terbaik dihargai dengan upah sebesar Rp 100 ribu. Luar biasanya, taksiran harga itu tak pernah mendapat protes. Sebab, si pengepul tahu betul bagaimana menghargai hasil kerja orang lain. (NUR RAHMAD AKHIRULAH)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 13 Oktober 2009

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda