Hentikan Kekerasan dalam Karapan Sapi

Para pemuda rantau dan tokoh Madura meminta kekerasan dalam lomba karapan sapi dihentikan, karena tergolong bentuk penyiksaan terhadap satwa.

"Kesan yang timbul di kalangan masyarakat luar Madura saat ini, karapan sapi yang selama ini digelar penuh dengan penyiksaan," kata tokoh muda Madura, Sulaisi Abdurrazak, Selasa.

Membacokan paku ke pantat sapi dengan tujuan supaya larinya kencang, merupakan tindakan penyiksaan. Seharusnya, kata Ketua "Central for Regiligion and Political Studies" (Centris) ini, hal itu tidak dilakukan.

Disamping menyimpang dari nilai kemanusiaan, agama juga melarang adanya penyiksaan terhadap hewan. Ia juga meminta pemerintah dan para ulama di Madura tidak tinggal diam dalam menyikapi persoalan tersebut.

"Sebenarnya, tanpa membacokkan paku ke pantat sapi, sapi akan tetap bisa lari," katanya.

Mahasiswa strata dua (S2) Universitas Indonesia (UI) yang juga mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Pamekasan ini menyatakan, karapan sapi merupakan aset tradisi dan kebudayaan peninggalan leluhur yang perlu dilestarikan.

"Oleh sebab itu, peninggalan budaya itu harus terjaga dan terpelihara. Jangan dikotori dengan penyiksaan seperti membacokkan paku di pantat sapi sebagaimana sering dilakukan dalam lomba karapan sapi akhir-akhir ini," ujarnya.

Sebagian masyarakat luar Madura, sambung Sulaisi, saat ini berkembang anggapan bahwa karapan sapi adalah bentuk penyiksaan hewan yang dilegalkan. "Ini kan akhirnya mencemarkan nama baik Madura," katanya menegaskan.

Menyimpang dari Agama

Hal yang sama juga disampaikan mantan Bupati Probolinggo dan Jombang, Soedirman.
Mantan Bupati di dua kabupaten kelahiran Pamekasan, Madura ini menyatakan, bentuk penyiksaan terhadap sapi karapan yang akhir-akhir ini dilakukan dalam setiap pelaksanaan karapan sapi, sebenarnya merupakan tindakan yang sangat tidak 'peri kebinatangan' dan menyimpang dari ketentuan agama.

"Oleh sebab itu, saya titip kepada para kepala daerah yang ada di Madura ini, jangan biarkan penyiksaan terhadap sapi karapan kembali terjadi pada pelaksanaan karapan sapi di masa-masa yang akan datang," katanya.

Menurut sejarawan Pamekasan, Sulaiman Sadik, sebenarnya karapan sapi pada awalnya tanpa penyiksaan sebagaimana yang telah terjadi sekarang ini. "Dulu karapan sapi ini hanya menggunakan cemeti dan dikenal dengan 'karapan salaga'," katanya.

Salaga merupakan alat untuk membajak sawah yang ditarik oleh sapi. Karapan salaga ini diperkenalkan oleh Pangeran Katandur, yakni tokoh ulama yang dikirim oleh Sunan Kudus ke Madura. Pangeran Katandur sendiri merupakan nama julukan dari Sayyid Ahmad Baidawi, cucu dari Sunan Kudus.

Dalam perkembangannya karapan salaga ini berubah menjadi karapan keleles. Yakni karapan sapi dengan menggunakan 'keleles' seperti yang berlaku hingga saat ini.

Menurut Sulaiman Sadik, perubahan dari karapan salaga ke karapan keleles ini karena saat ini terjadi kekeringan di Madura dan semua tanah kering.

"Jadi kalau jaman dulu sejak diperkenalkan oleh Sayyid Ahmad Baidawi atau Pangeran Katandur, karapan ini memang tanpa penyiksaan. Baru akhir-akhir ini saja yang ada unsur penyiksaan dengan alasan agar larinya kencang," katanya.

Selain membacokkan paku ke pantat sapi agar larinya lebih kencang, pemilik sapi karapan biasanya juga mengoleskan balsem ke mata sapi dan sekujur tubuhnya dengan tujuan yang sama, yakni sapi bisa berlari kencang. (ant/ahi)

Sumber: Republika, Selasa, 29 September 2009

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda