Pengusaha Kulit Ular di Bangkalan

Jaga Kualitas, Tak Mau Pakai Bahan Kimia

Usaha yang digeluti Hidayat tergolong berisiko. Dia menjadi pengepul ular besar dari berbagai daerah. Binatang melata ini akan dipotong untuk diambil kulitnya. Lalu, kulit ular yang sudah kering dijual ke Jakarta dan ada yang diekspor ke luar negeri.

HIDAYAT sedang memilih ular yang akan dikuliti. Dibantu istrinya, dua harus membuat lemas ular-ular yang yang akan dipotong. Langkah yang dilakukan, sejak pagi ular yang telah dipilih diberi air dalam jumlah banyak. Selain ular lemas, pemberian air diharapkan membuat lingkar perutnya mencapai batas maksimal yang ditetapkan dalam aturan perdagangan.

"Minimal, lingkar perutnya harus 30 cm. Dengan pemberian air tentu membuat badan ular lebih elastis," ujarnya. Setelah 3 sampai 5 jam, ular yang diberi minum air menjadi lemas. Lalu, Dayat memotong ular yang siap dikuliti.

Untuk menguliti ular, perlu kehati-hatian tinggi agar kulitnya tidak cacat. Biasanya, proses penyembelihan dan menguliti dilakukan sore. Kulit yang sudah terpisah dari daging dihampar di atas papan dan sisinya dipaku. Keesokan harinya dijemur di bawah terik matahari. "Perlu sehari semalam agar kulit ular menjadi kering. Kalau musim hujan, bisa sampai tiga hari," jelasnya.

Kulit ular kering itulah yang dikirim ke Jakarta. Pengiriman dilakukan setengah bulan sekali. Biasanya dia mengirim minimal 50 kulit ular dengan berbagai ukuran dan kualitas. "Tapi saya tetap berusaha bertahan untuk tidak menggunakan bahan kimia. Sehingga, kulit ular yang saya kirim masih alami," terang Dayat.

Dengan kemampuannya menyediakan bahan baku kerajinan tas, sepatu, dan ikat pinggang, Dayat memeroleh keuntungan mencapai puluhan juta. "Kalau kulit ular yang masuk klasifikasi kelas tinggi punya keuntungan lumayan. Kalau hanya untuk produksi lokal, paling keuntungannya cuma 20 persen dari modal awal," terangnya.

Ketika ditanyakan perihal sejarah dia menggeluti usaha tersebut, dayat mengaku menjual kulit ular adalah usaha turunan dari sang kakek. "Sejak tahun 1965-an, kakek saya H Ahmad sudah menjalani usaha tersebut. Dan sekarang saya lanjutkan," ujarnya

Mengenai stok ular untuk usahanya, dia banyak dipasok dari Pamekasan dan Sumenep. Sedangkan ular-ular di Bangkalan tidak sepanjang ular dari kawasan timur Madura."Minimal, panjang ular yang saya beli harus 2,40 meter. Harganya Rp 50 ribu per meter. Kalau lebih panjang lebih mahal," akunya. (AHMAD MUSTAIN)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 28 Desember 2008

Damai Natal di Madura

Di daerah rawan, perayaan Natal masih dibayangi munculnya aksi kekerasan, tapi di Pamekasan tenang-tenang saja.

Meskipun perayaan Natal belakangan ini aman tapi penjagaan ketat oleh polisi masih dilakukan. Terutama di daerah konflik seperti Maluku dan Palu. Di Saparua, Maluku Tengah, bahkan remaja masjid di Desa Sirisori Islam, membantu mengamankan perayaan Natal di desa tetangganya Sirisori Kristen.

Di Madura yang tradisi Islamnya begitu kuat, ketegangan suasana Natal itu tidak ada. Gereja tertua di Pamekasan di Jl Jokotole ini, pagi tadi belum tampak kesibukan Natal kecuali pengantar parsel memasuki areal itu.

Gereja ini dikenal masyarakat sebagai gereja jam-ajaman (ayam-ayaman, Red) dikelola oleh Jamaat GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) Mahkota Hayat. Disebut jam-ajaman karena di puncak atap patung seekor ayam jago.

Sedangkan di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Pasamuan Sumberpakem Kecamatan Sukowono, Jember, misa Natal nanti malam sesuai tradisi membacakan Injil dan puji-pujian berbahasa Madura dipimpin pendeta Sapto Wardoyo. Ada 200 anggota jamaah gereja ini.

Bagi warga setempat suasana puji-pujian dengan bahasa Madura itu sudah biasa tapi untuk warga luar itu menjadi keunikan. GKJW Sumberpakem ini sudah menerjemahkan Injil dan puji-pujian sejak 1882 dipelopori oleh misionaris Belanda, Dr Esyer.

Sedangkan di Pamekasan, gereja tua itu dibangun juga pada 1800-an peninggalan misionaris Belanda yang kemudian dihibahkan pada GPIB pada 1948.

Pemimpin gereja jem-ajeman, Pendeta James Mewengkang, menuturkan, tak ada perayaan yang mencolok pada Natal tahun ini kecuali ritual. Kegiatan rutin itu nanti malam dan besok. “Acara besok dikenal dengan perayaan natal diisi peribadatan natal. Lalu pada 26 Desember ada kegiatan ibadah Natal kedua, biasanya lebih diisi dengan kegiatan ibadah pembaptisan,” ujar James yang asli dari Sulawesi Utara ini.

Dia menuturkan, sekalipun ini gereja tertua di Madura, namun jamaah gereja Mahkota Hayat sekitar 100 orang. Itu pun kebanyakan warga pendatang, bukan orang Madura yang mendapat tugas di sini seperti PNS, guru, wiraswasta, dokter, dosen, pegawai perusahaan garam.

“Kami kebetulan jamaat pendatang, ada penduduk asli hanya kurang lebih tiga kepala keluarga. Jamaah yang terdaftar 35 KK kalau dicacah kurang lebih 100 jiwa yang aktif beribadah di sini,” katanya.

Di Pamekasan ini, kata dia, hanya ada tiga gereja protestan. Cuma yang cukup lama dan tertua adalah gereja jem ajeman ini. “Ketika muncul aliran gereja lain yang datang ke Pamekasan ada umat yang tertarik dengan mereka itu, tapi sejauh ini tidak ada masalah, “ tambah James yang sudah bertugas di sini dua tahun.

Pada Natal 2008 ini antar gereja di Madura pun tidak menggelar perayaan natal bersama seperti dilakukan sebelumnya. ”Rencananya kegiatan bersama nanti akan dikonsentrasikan pada tahun 2010 nanti akan ada pertemuan hamba hamba tuhan secara besar besaran,” katanya.

Sementara Pendeta GKJW Sumberpakem Sapto Wardoyo menceritakan, penggunaan puji-pujian dengan menggunakan bahasa Madura di gereja tersebut sudah dilakukan semenjak tahun 1882 silam.

Gereja lain yang juga menggunakan bahasa Madura ada di daerah Slateng dan Sumberjambe.

Saat itu di daerah Jember mayoritas daerah perkebunan yang dikelola oleh bangsa Belanda. Agar bisa lebih mudah mengajak warga Madura masuk beragama Kristen, maka digunakanlah metode penyesuaian dalam menyebarkan agama Kriseten. Salah satunya menggunakan bahasa Madura.

“Kitab Injil berbahasa Madura ini dicetak di Belanda pada tahun 1882 dan merupakan satu-satunya di Indonesia. Bahkan kitab serupa di daerah Madura sepertinya tidak memiliki,” kata Sapto Wardoyo.

Beberapa baris pujian dari Kitab Injil ayat nomor 165 berjudul Ayem Tentrem itu di antaranya: Sadaja pekker klaban krenana, Kagem Gusti se sabhar tor tresna, Se nyapura sadaja dusa, Marengana o dhi se samporna, E pojia Gusti Alla Rama…

Selain berbahasa Madura, dalam Kitab Injil itu juga termuat sejumlah gambar-gambar yang menceritakan kehidupan umat Kristen masa lalu.

Sapto menceritakan, perintisan Injil berbahasa Madura bersamaan dengan dibangunnya gereja oleh Pendeta Esyer.

“Dulu di Gereja Madura Kabupaten Bondowoso pernah menggunakan bahasa Madura, tapi sekarang tidak lagi,” ujar Sapto. (masdawi dahlan)

Sumber: Surabaya Post, Rabu, 24 Desember 2008

Label: , ,

Lebih Menyatu Pakai Injil Bahasa Madura

Perayaan Natal di Gereja Kristen Jawi Wetan Pasamuan

Setiap menjelang Natal, Gereja Kristen Jawi Wetan Pasamuan di Desa Sumberpakem, Sumberjambe, Kabupaten Jember, disorot. Gereja di antara komunitas kaum Madura ini selalu menarik perhatian.

Memang gereja yang dipimpin Pendeta Sapto Wardaya ini unik. Gereja itu menggunakan Alkitab berbahasa Madura. “Mungkin ini satu-satunya yang ada di Indonesia, bahkan di Madura saja tidak ada,” kata Sapto.

Alkitab dan khotbah yang digunakan di gereja itu menggunakan bahasa Madura. Sejak berdiri 27 Juli 1882, pendeta dan jemaat gereja ini memang menggunakan bahasa Madura.

Julius Petrus Esser, seorang dokter Belanda yang menjadi pendeta pertama di gereja ini menggunakan bahasa Madura. Alasannya, supaya lebih dekat dengan masyarakat.
“Karena komunitas di Sumberpakem itu Madura, makanya para penginjil dulu menggunakan bahasa Madura. Untuk adaptasi,” lanjut Sapto.

Selain menggunakan Alkitab - yang dalam bahasa Madura ditulis dengan 'Alketab' -sebanyak 104 cerita dan pujian juga ditulis dengan bahasa Madura. Bahkan altar juga bertuliskan bahasa Madura kuno. Tulisan bahasa Madura kuno itu mengelilingi salib yang ada di atas tempat khotbah. “Kalau dalam bahasa Jawa ha na ca ra ka, tetapi kalau bahasa Madura a na ca ra ka,” jelas Sapto.

Ketika Surya masuk dan mengamati jemaat, banyak yang sudah sepuh. Namun bukan berarti generasi muda gereja tersebut tidak ada. Karena itulah sekarang tidak hanya menggunakan bahasa Madura. Dulu memang tak ada yang bisa berbahasa Indonesia tetapi sekarang berbeda.

Kebaktian menggunakan dua bahasa ini berselang-seling tiap minggu. Hal ini supaya orang muda mudah menangkap pesan, dan yang sepuh tetap bisa menikmati ritual. Tetapi Sapto meyakinkan bahwa bahasa Madura akan tetap dipertahankan.

Kebaktian Natal di gereja ini dilakukan mulai Rabu (24/12) sore. Kebaktian diikuti oleh jemaat dari Desa Sumberpakem dan dari Kecamatan Sukowono, serta Kalisat. Seluruhnya mencapai 300 orang. Tetapi tahun ini ada sedikit perubahan.

“Tidak hanya menggunakan bahasa Madura, tetapi juga bahasa Indonesia dan Jawa,” lanjut Sapto, yang menjadi pendeta di geraja ini sejak tahun 2002.

Hal menarik, semua pujian dilantunkan dalam bahasa Madura, dan bernyanyi dalam bahasa Madura lebih mengena di hati. Nanang E, salah satu jemaat, menuturkan, menyanyikan pujian dalam bahasa Madura lebih mudah.

“Karena bahasa Madura itu bahasa ibu, meski tidak diartikan kami langsung tahu,” kata Nanang. Dia menambahkan, ketika latihan, para jemaat lebih cepat bisa menyanyikan lagu pujian dalam bahasa Madura daripada Indonesia. Nah, bisa membayangkan lagu White Christmas dinyanyikan dalam bahasa Madura? (SRI WAHYUNIK)

Sumber: Surya, Wednesday, 24 December 2008

Label: , ,

Ajala Sotra Coba Seragamkan Ejaan Bahasa Madura

Kelompok Kajian Bahasa dan Sastra Madura Ajala Sotra di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, akan menggelar forum bersama yang khusus membahas ejaan Bahasa Madura, dengan melibatkan semua elemen masyarakat Madura, Februari 2009.

Koordinator Ajala Sotra Sumenep, Januar Herwanto, Selasa (23/12//2008), menjelaskan, pembahasan ejaan Bahasa Madura yang melibatkan semua elemen masyarakat dari empat kabupaten di Madura, merupakan sebuah keharusan.

“Sesuai hasil pertemuan kami dengan Tim Pembina Bahasa Madura (Nabara) Sumenep, pembahasan ejaan Bahasa Madura hingga sekarang, ternyata belum tuntas,” katanya di Sumenep. Sejak era 1970-an, katanya, sejumlah forum pembahasan ejaan Bahasa Madura telah dilaksanakan, baik di Madura maupun di luar Madura.

“Tapi, semua pembahasan ejaan tersebut belum menghasilkan satu keputusan atau kesepakatan. Elemen masyarakat Madura di empat kabupaten, belum bisa merumuskan satu ejaan yang disepakati, untuk diajukan pengesahannya oleh Balai Bahasa di Surabaya,” katanya menambahkan.

Januar juga menjelaskan, pihaknya agak heran atas munculnya rekomendasi dari Kongres Bahasa Madura di Pamekasan beberapa waktu lalu, berupa permintaan agar Balai Bahasa di Surabaya segera mengesahkan ejaan Bahasa Madura.

“Kami akan meminta Balai Bahasa di Surabaya menangguhkan realisasi rekomendasi tersebut, karena belum ada satu rumusan tentang ejaan Bahasa Madura. Sebagai jalan keluarnya, kami akan menggelar forum bersama yang agendanya khusus membahas ejaan, dengan melibatkan elemen di empat kabupen di Madura, pada bulan Februari 2009,” katanya. (ant)

Sumber: Surya, Selasa, 23 Desember 2008

Baca juga:
Kecewa Kongres Bahasa Madura

Label: , , , , , ,

Kecewa Kongres Bahasa Madura

Tim Pembinaan Bahasa Madura (Nabara) dan Penyelamat Bahasa Madura Anjala Sotra kecewa terhadap pelaksanaan Kongres Bahasa Madura (BM). Pasalnya, pelaksanaan kongres tersebut terkesan sangat Pamekasan centries.

Kekecewaan tersebut disampaikan tim Nabara dan Penyelamat BM Anjala Sotra di Labang Mesem Keraton kemarin. Mereka menilai, hasil Kongres BM di Pamekasan tidak mewakili seluruh aspirasi budaya Madura.

Menurut Wakil Ketua Tim Nabara Nurul Hamzah, kongres merupakan keputusan tertinggi untuk menetapkan ejaan yang disempurnakan (EYD). "Tapi kenyataannya, pertemuan itu mengabaikan anasir kongres. Bahkan, tim Sumenep dieliminasi saat merumuskan hasil kongres," protesnya.

Nurul menjelaskan, EYD termasuk salah satu agenda yang bakal dibahas dalam Kongres BM 15-18 Desember 2008 lalu. "Tapi kenyataannya, EYD tidak dibahas sama sekali," jelasnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Penyelamat Budaya Madura Anjala Sotra Yanuar Herwanto. Menurut dia, Kongres BM tidak mengakomodasi semua kepentingan daerah. Sebab, dalam pelaksanaannya, kongres berjalan mengikuti frame Pamekasan minded.

Dia mengatakan, pihaknya tidak mengerti mengapa persoalan EYD tidak dibahas dalam Kongres BM. Padahal, kongres merupakan panggung tertinggi untuk pengambilan keputusan. "Terus terang kami sangat kecewa," terangnya.

Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Panitia Kongres Bahasa Madura Khalifaturrahman menegaskan, anggota tim perumus Kongres BM sudah sangat heterogen dan akomodatif. Sebab, semua daerah sudah mengirimkan utusan.

Namun demikian, dia menyadari dalam pelaksanaan Kongres BM lalu ada kekurangan dan kelemahan. Karena itu, kondisi tersebut perlu diperbaiki bersama pada pelaksanaan kongres mendatang. "Tapi, kalau yang ditonjolkan hanya kekurangannya saja, saya khawatir pelaksanaan kongres selanjutnya menemui banyak kendala," ingat Khalifaturrahman.

Karena itu, mantan Kasi Kebudayaan Disdik Pamekasan ini meminta semua pihak mengambil hal positif dari pelaksanaan kongres. Apalagi, semua peserta BM sepakat akan menyelamatkan aset bahasa yang diwariskan leluhur Madura.

"Saya bisa memahami bila ada pihak yang tidak puas. Namun, secara umum, semua aspirasi daerah sudah terakomodasi dengan baik," terangnya. (abe/zr/fiq)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 24 Desember 2008

Dam Samiran

Tempat Favorit Pelajar-Mahasiswa Mesum

Bendungan aliran sungai di Desa Samiran, Kecamatan Proppo, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, kini menjadi tempat muda-mudi berpacaran dan berbuat mesum. Hampir setiap hari pasangan muda-mudi datang ke tempat itu. Kebanyakan para pelajar berseragam dan mahasiswa.

“Biasanya sekitar pukul 09.00 hingga pukul 12.00 WIB mereka sudah datang. Pokoknya saat jam pelajaran sekolah berlangsung, pasti ada saja pasangan muda-mudi ke sini,” kata penjaga bendungan sungai Musyafak, Kamis (18/12/2008).

Guru ngaji itu menuturkan, pernah suatu ketika dirinya menyiram dengan air pasangan muda-mudi sedang berbuat tidak senonoh di balik semak belukar di sekitar bendungan itu. Tapi malah pelakunya menantang berkelahi.

“Waktu itu saya sudah tidak tahan melihat ulahnya. Ceweknya memakai jilbab waktu itu. Tapi jilbabnya malah dijadikan alas berkencan,” kata Musyafak, tanpa menyebutkan nama dan asal pasangan muda-mudi tersebut.

Menurut dia, pihaknya sudah melaporkan kejadian itu ke pihak yang berwenang, yaitu Satpol PP. “Memang pernah ada operasi dari Satpol PP Pamekasan yang datang ke sini, tapi waktu itu lambat. Orangnya sudah pulang, Satpol PP-nya baru datang. Jadi nggak dapat sasaran,” kata Musyafak.

Kasi Penegakan Perda Samsulridjal Arifin menyatakan, selama ini Satpol PP memang sering menerima laporan dari masyarakat tentang keberadaan bendungan Samiran yang dijadikan tempat mesum itu. Tapi pihaknya belum bisa melakukan operasi secara maksimal, karena banyak kegiatan. “Di sana memang menjadi catatan kita. Tapi suatu saat nanti pasti kami operasi lagi,” kata Samsuridjal. (ant)

Sumber: Surya, Kamis, 18 Desember 2008

Label: ,

Peserta Kontes Kecantikan Telanjang

Kompas/BDR/Karapan Sapi

Meski sudah menjadi tradisi tahunan,Lomba Sapi Sonok atau sapi hias se-Madura tetap selalu menyedot perhatian. Tak hanya dari warga Madura sendiri, ribuan orang yang memadati tempat penyelenggaraan di halaman kantor Bakorwil Madura (dulu kantor pembantu gubernur Madura) di Pamekasan itu juga berasal dari luar Madura, dan bahkan puluhan turis asing.

Peserta kontes ini benar-benar telanjang. Hanya sebagian kecil tubuhnya yang tertutupi oleh pernik-pernik perhiasan. Tak ada yang marah, karena mereka memang hanya seekor sapi betina.

Lomba Sapi Sonok yang biasa diadakan sehari sebelum Karapan Sapi itu, diikuti oleh 24 pasangan sapi dari empat kabupaten di Madura (yakni Bangkalan, Pamekasan, Sampang dan Sumenep).

Karena pada dasarnya merupakan kontes kecantikan, maka sapi-sapi yang jadi peserta pada Sabtu (25/10) siang itu, semuanya betina. Masing-masing pasangan sapi itu tampil berjalan menuju panggung dekat garis finis, dengan diiringi musik tradisional Madura sebagai pengiring.

Meski ada garis finis, dalam lomba ayu-ayuan sapi itu, bukan unsur kecepatan yang dinilai. Ada tiga kriteria yang menjadi penilaian dalam Lomba Sapi Sonok yang digelar kali ini.

Pertama, keindahan seragam atau pakaian sapi yang digunakan. Kedua, keserasian gerak langkah kaki pasangan sapi saat menuju lokasi panggung. Dan ketiga, keserasian gerak langkah kaki sapi dengan iringan musik gamelan yang menjadi musik pengiring pasangan sapi.

Setiap tampil, ada dua pasang sapi sonok yang melenggang di atas arena rumput, yang dari start hingga finis dekat panggung sepanjang 30 meter.

Kepala Bakorwil IV Madura, Drs H Makmun Dasuki, kontes sapi sonok ini jauh berbeda dengan karapan sapi yang selama ini menjadi ikon budaya dan pariwisata Madura. Nuansa seni lebih kental dalam kontes sapi sonok. Bahkan, pihak panitia juga menyediakan piala khusus bagi kelompok musik pengiring sapi, yang mampu tampil dengan menarik.

"Ini merupakan kegiatan rutin yang biasa digelar setiap tahun sebagai rangkaian dari lomba Karapan Sapi yang akan digelar pada hari Minggu besok (hari ini, red). Namun demikian, setiap tahun, kita upayakan acaranya bisa lebih baik dan meriah dari sebelumnya," kata kepala Bakorwil IV Madura, Drs.H. Makmun Dasuki, Sabtu (25/10).

Tidak ada yang tahu persis kapan Lomba Sapi Sonok ini dimulai. Namun, jika kegiatan semacam kontes kecantikan sapi ini selalu diadakan menjelang acara karapan sapi, maka usia Lomba Sapi Sonok bias dikatakan setua karapan sapi.

Berdasarkan catatan yang ada, karapan sapi mulai diadakan pada saat Madura diperintah oleh raja Jokotole antara tahun 1415-1460.
Zainuddin, Ketua Paguyuban Sapi Sonok, menjelaskan bahwa kata 'sonok' mengandung arti menerobos. Garis finis sapi sonok memang berupa pintu bergaya joglo. Di pintu itulah sepasang sapi sonok beserta para pengiringnya harus 'nylonok' dan keluar dari arena.

Sebelum tampil di arena, sepasang sapi sonok dihias terlebih dahulu. Badan sapi sonok diberi 'baju' kebesaran. Baju berbahan kulit yang dililit ke perut sapi. Baju berhias pernak-pernik manik-manik.

Kepala sapi juga diberi mahkota. Tandukpun diberi selongsong hiasan emas.
Aneka hiasan tampak pula dipasang melilit leher sapi. Hiasan yang menjuntai hingga mata kaki ini, kelihatan mewah. Beberapa pemilik sapi sonok, malah membelikan kalung berbahan emas seharga puluhan juta rupiah.

Menurut pemilik salah seorang pemilik sapi sonok Haji Umar, biaya yang dibutuhkan khusus untuk hiasan sapinya mencapai Rp15 juta dalam lomba kali ini.
"Hiasan mahkota yang ada di kepala sapi ini saja Rp 5 juta. Belum lagi selonsong emas yang ada ditanduknya itu. Lengkapnya dengan keleles dan bayaran para pemusik dan pesinden, sekitar Rp 15 jutaan itu," katanya menjelaskan.

Menurut Haji Umar, biaya Rp15 juta itu hanya biaya kelengkapan pakaian dan alat musik sapi sonok saat mengikuti kontes sapi, belum termasuk biaya perawatan sapi setiap bulan.

"Kalau saya mematok biaya perawatan sapi itu setiap bulan Rp1 juta. Itu untuk membeli telur dan jamu racikan lainnya, agar bulu sapi terlihat halus dan berminyak. Soalnya sapi sonok itu yang dinilai memang keindahannya," imbuh Haji Umar.

Umumnya, para peserta tak membandingkan antara biaya yang mereka keluarkan untuk merias sapi dengan penghargaan yang diterima. Tampil di kontes ini saja, sudah dianggap kebanggan tersendiri bagi pemiliknya.

"Kalau saya tidak peduli menang atau kalah. Bagi saya, yang penting bisa tampil dengan maksimal, terutama dalam penampilan musik gamelan," ujar Zainudin yang sudah 20 tahun mengikuti Lomba Sapi Sonok.

Kontes sapi sonok yang digelar kali ini mampu menarik wisatawan, baik lokal maupun wisatawan asing. Bahkan, mereka berebut untuk mengabadikan kegiatan tersebut, terutama saat pasangan sapi hendak memasuki panggung yang disambut dengan tarian sinden Madura.

Layaknya artis, sapi-sapi peserta kontes menjadi rebutan para wisatawan asing untuk bisa berfoto bersama. Tidak sekadar berfoto biasa, bahkan para turis bule juga berfoto dengan berpelukan dan mencium wajah sapi.

"Gambar ini akan saya jadikan kenang-kenangan untuk keluarga di negera saya," kata salah seorang turis bule bernama Brian, dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Menurut Brian, yang membuat ia tertarik berfoto dengan pasangan sapi sonok karena sapi terlihat sangat indah, dengan perhiasan yang menempel di tubuhnya. Selain itu tubuhnya juga bersih berbeda dengan sapi-sapi biasa pada umumnya.

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Oktober 2008

Wayang Madura Berkembang di Pamekasan

KOMPAS.COM/IGNATIUS SAWABI

Kesenian wayang, kini bukan hanya menjadi kesenian khas suku Jawa, tapi kini mulai dikembangkan di Pamekasan, Madura, Jawa Timur.

Salah satunya seperti yang dilakukan kelompok karawitan Panti Budoyo, Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Pamekasan. Kelompok karawitan ini mulai melakonkan wayang dengan dalang berbahasa Madura.

Meski tidak seprofesional penampilan wayang Jawa pada umumnya, tapi wayang berbahasa Madura yang baru dikembangkan pada tahun 2000-an tersebut, kini mulai dikenal luas masyarakat Pamekasan. Bahkan wayang berbahasa Madura ini, juga sering tampil diberbagai lomba wayang tingkAt regional hingga nasional.

Menurut Sudirman, salah seorang dalang wayang berbahasa Madura, Selasa, banyak hal yang membuat dia dan teman-temannya di kelompok karawitan Panti Budoyo ingin mengembangkan kesenian wayang dengan berbahasa Madura. Salah satunya, karena seni wayang sarat akan makna dan petuah yang sangat berharga.

"Kami menilai, wayang bukan hanya sebatas tontonan, tapi dibalik itu juga ada tuntunan dan petuah-petuah yang sangat bernilai," kata Sudirman seusai pentas dalam sebuah acara "Rokat Disah" di desa Polagan.

Lebih dari itu, kata Sudirman, kesenian wayang merupakan kesenian yang nisbi jauh dari nilai-nilai komersialisme, sebagimana halnya tontonan lainnya.

Layaknya wayang kulit di Jawa, wayang berbahasa Madura yang dikembangkan kelompok karawitan Panti Budoyo dengan pedalang Sudirman ini, juga menyajikan berbagai lakon, sesuai kebutuhan sang penanggap.

"Kalau yang menanggap lembaga keagamaan, kita tampil dengan cerita-cerita pewahyuan. Demikian juga jika yang nanggap pejabat pemerintah. Disana kita tampilkan cerita-cerita tentang kerajaan, seperti Arjuna dan Duyu Dharma," katanya menambahkan.

Menurut dia, keinginan untuk belajar mendalang dengan berbahasa Madura, berkat dorongan semangat seorang pengurus Vihara Avalokitesvara, Biksu Mahinda, yang saat ini masih menjadi pimpinan kelompok Karawitan Panti Budoyo di desanya.

"Pak Mahinda itulah yang mendorong, sekaligus membiayai saya belajar mendalang ke Jawa Tengah pada tahun 2002 lalu. Sejak itulah, saya mulai menerjemah cerita-cerita wayang yang saya pelajari ke dalam bahasa Madura," kata ayah dua orang anak tersebut.

Awalnya, kata Sudirman, ia tampil dengan dua bahasa setiap kali pentas, yakni bahasan Jawa dan kemudian diterjemah ke dalam bahasa Madura. Tapi sejak tahun 2006, hanya bahasa Madura saja.

"Soalnya, waktu itu saya sudah fasih dan menguasai alur ceritanya," katanya.

Pengamat seni Madura, Khalifaturrahman menyatakan, hadirnya kesenian wayang berbahasa Madura jelas akan menambah khazanah budaya di Pulau Garam. Sebab, selama ini kesenian wayang hanya terkesan milik masyarakat Jawa dan orang yang tidak mengerti bahasa Jawa kesulitan untuk memahaminya.

"Padahal, banyak petuah dan pesan bijak yang disampaikan dalam setiap cerita yang ditampilkan dalam cerita wayang tersebut," katanya.

Khalifaturrahman yang juga menjabat Kasi Kebudayaan Dinas P dan K Pamekasan menuturkan, wayang merupakan kesenian murni yang mengandung nilai filosofis mendalam.

"Kalau menggunakan bahasa Madura, yang jelas pesan moral yang disampaikan pedalang ke masyarakat akan tersampaikan dan mudah dipahami," kata Khalifaturrahman. (Ant)

Sumber: Kompas, Selasa, 17 Juni 2008

Ter-ater, Untuk Famili, Guru "Ngaji", dan Kyai

Kompas/Agnes Rita Sulistyawaty

Sore itu suasana di desa Gagah kecamatan Kadur, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, terlihat berbeda dengan hari-hari biasanya. Hilir mudik kaum perempuan desa, baik tua, muda, bahkan hingga anak-anak, membawa makanan ke rumah-rumah warga, menjadi pemandangan yang dominan di desa kecil yang hanya berpenduduk 785 orang itu.

"Assalamu’alaikum, ini saya disuruh ibu mengantar rebba, bhu. Ibu tidak bisa mengantar sendiri ke sini katanya mohon maaf, karena sedang banyak pekerjaan di rumah," sapa Ita, begitu sampai di sebuah rumah yang memiliki halaman luas di dusun Daporah desa setempat.

Begitu barang bawaannya diterima, gadis desa yang memiliki nama lengkap Diah Puspita Ningrum itu langsung berpamitan pulang kepada pemilik rumah, Sahama yang tak lain masih memiliki hubungan familinya dengannya.

"Saya mau cepet-cepet pulang saja, soalnya masih disuruh mengantar ke rumah rumah tetangga di sana," kata gadis yang masih berusia sekitar 13 tahun itu sambil berpamitan pulang.

Bagi warga Madura, rebba merupakan sebuah istilah pemberian makanan kepada para tetangga, kerabat ataupun sanak famili yang diberikan pada hari-hari tertentu dengan maksud untuk berbagi rezeki.

Menurut tokoh masyarakat setempat Ahmad Baihaqi, bagi keluarga atau rumah tangga yang menerima pemberian makanan dari tetangga atau familinya, mareka berkewajiban pula memberikan makanan.

"Tapi tidak harus waktu itu juga. Bisa saja diberikan keesokan harinya atau pada hari-hari lain yang dianggap sebagai hari mustajabah. Misalnya malam Jumat," kata Baihaqi.

Mengantar rebba atau makanan yang oleh warga Madura disebut ter-ater itu tidak hanya dilakukan kepada para kerabat, dan sanak famili saja, tapi juga kepada sesepuh desa, guru ngaji dan pengasuh pondok pesantren atau kyai.

Ter-ater untuk kyai pengasuh pondok pesantren, bukan hanya berupa makanan, tapi bisa juga berupa hasil bumi. Seperti jagung, padi, ketela pohon, dan berbagai jenis buah-buahan yang menjadi hasil pertanian mereka.

"Setiap panen, baik panen jagung ataupun padi, saya pasti menyisihkan khusus untuk kyai dan guru ngaji anak saya," kata Suhana (49) warga desa Kertagena Tengah kecamatan Kadur Pamekasan.

Di bulan suci Ramadan, tradisi saling mengantar makanan, atau ter-ater biasanya pada malam pertama puasa dan pertengahan bulan puasa, yakni mulai tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri.

Pada malam pertama Ramadan dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan dalam menyambut datangnya bulan yang penuh berkah dan ampunan Allah. Sedang pada tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri diharapkan akan mendapat berkah malam lailatur-qodar, dimana sebagian ulama memercayai bahwa malam lailatul-qodar mulai tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri pada malam ganjil. Seperti malam tanggal 17, 19, 21, tanggal 23, 25, 27 hingga 29 Ramadan.

Sementara di hari raya Idulfitri, tradisi ter-ater rebba yang dilakukan, sebagai bentuk rasa syukur atas pelaksanaan ibadah puasa selama satu bulan penuh.

Pererat Persaudaraan

Dosen bahasa Indonesia dan sastra Universitas Madura Drs Kholifaturrahman, M.Pd menyatakan, selain merupakan tradisi yang sudah terjadi sejak dulu, tradisi ter-ater sebenarnya merupakan salah satu bentuk dalam berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di Madura.

Tradisi semacam ini memang masih dilakukan masyarakat di Madura termasuk Pamekasan. Tapi akhir-akhir ini terlihat sudah mulai berkurang. Kecendrungan pola hidup modern dengan berbagai fasilitas yang tersedia, seperti HP dan telepon menurut Khalifaturrahman merupakan salah satu penyebabnya.

"Warga desa yang masih menjalankan tradisi asli Madura ini, sudah mulai berkurang. Meskipun ada tapi nuansanya sudah jauh berbeda dengan masa dulu," kata Khalifaturrahman, yang juga kepala seksi kebudayaan dinas P dan K kabupaten Pamekasan.

Sebenarnya menurut Khalifaturrahman, tradisi Madura yang memiliki nilai positif dan mengandung nilai-nilai luhur budaya Madura, bukan hanya tradisi ter-ater rebba sebagaimana pada setiap malam Jumat, dan hari-hari baik dalam pandangan agama Islam, tapi juga banyak tradisi lain yang saat ini sudah jarang dilakukan.

"Ini perlu peran aktif lembaga formal yang ada di Madura. Sebab masuknya modernisasi ke Madura nantinya sedikit banyak tentu akan berpengaruh terhadap keaslian budaya dan tradisi Madura," kata Khalifaturrahman menjelaskan.(ANT)

Sumber: Kompas, Minggu, 14 September 2008

Label: ,

Di Madura, Semburan Lumpur Mirip Lapindo
Telah Jadi Gunung

Foto: detiknews
Semburan lumpur telah menjadi gunung mini(gik/nrl)

Diam-diam di Pulau Madura telah puluhan tahun terdapat semburan lumpur dan gas. Hanya saja bedanya, lumpur yang menyembur tidak terasa panas dan volumenya tidak sederas yang mengucur dari sekitar lokasi sumur pengeboran Lapindo Brantas Inc di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo.

Semburan lumpur di Madura itu berada di Desa Katal Barat I Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan dan dinamakan Bujel Tasek. Karena menyembur sudah puluhan tahun, tak ayal lagi lumpur yang keluar tersebut sudah membentuk menjadi sebuah gunung, meski masih berukuran mini. Namun dikhawatirkan lambat laun ukurannya akan menjadi raksasa.

Pantauan , Senin (30/10/2006), di perbukitan kapur yang tak jauh dari pemukiman penduduk Katal Barat I ini, terdapat tiga titik semburan lumpur dan gas. Konon tiga semburan ini adalah pasangan suami istri dan satunya lagu air susu sang ibu. Semburan lumpur yang pertama oleh warga setempat dijuluki semburan laki-laki, sebab bentuknya sudah menyerupai gunung dengan diameter dasarnya 8 meter dan ketinggian berkisar 9 meter.

Sementara hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi semburan pertama juga terdapat dua semburan lumpur dan gas lainnya. Hanya saja lumpur yang keluar ke permukaan tidak membentuk gunung, namun meluber seperti kubangan. Dari tengah kubangan ini terlihat gelembung-gelembung (bubble) dengan ukuran besar.

Karena bentuknya hanya berbentuk kubangan itulah secara turun-menurun warga menjulukinya sebagai semburan perempuan. Yang menarik lagi, beberapa meter dari semburan perempuan itu terdapat sebuah sumur yang airnya berwarna keruh, coklat keputih-putihan. Warga menyebutnya sebagai air susu dari sang ibu (semburan perempuan).

Lokasi tiga semburan lumpur dan gas yang abadi ini lokasinya memang tidak dikenal banyak orang. Sebab masyarakat setempat sudah menganggapnya hal yang biasa setelah sekian puluh tahun ada. Sehingga untuk berkunjung ke lokasi itu dipastikan cukup sulit jika tidak rajin-rajin bertanya kepada warga.

detikcom dan sejumlah wartawan hampir lima kali menanyakan lokasi keberadaan semburan lumpur itu ke masyarakat di setiap desa yang dilalui sebelum memasuki Desa Katal Barat. Sebagian besar merasa bingung ketika disodori pertanyaan lokasi semburan lumpur. Tetapi warga baru paham jika ditanyakan lokasi Bujel Tasik.

Untuk menuju lokasi bukit Katal Barat I harus melalui jalan aspal yang berliku dari jalan raya Desa Katal Barat yang jaraknya berkisar 1,5 kilometer. Setelah masuk di Katal Barat I, baru terlihat dari kejauhan ada gunung mini yang menyeruak dari pepohonan yang kondisinya tandus.

Meski tidak deras, lumpur yang menyembur dari semburan laki-laki setiap saat masih terjadi. Pengamatan detikcom, keluarnya lumpur itu seperti lelehan lilin. Lumpur yang berwarna hitam pekat itu meleleh ke tanah bukit menerobos semak belukar. Sementara di bagian lereng gunung, lumpurnya sudah mengering.

Jika bagian puncaknya disulut korek maka akan menyembur api. "Kalau malam sebenarnya sungguh indah jika dinyalakan. Api akan memancar terang benderang. Nanti lambat laun akan mati sendiri," kata Achmad Kalbar (33), pemuda setempat dengan logat Madura yang kental. Di pusat semburan juga mengeluarkan bunyi bergemuruh setiap saat. (Budi Sugiharto)

Sumber: detikNews, Senin, 30/10/2006

Baca juga:
Gunung Lumpur Bergemuruh Jika Laut Pasang
Gunung Lumpur Madura Bisa Obati & Asinkan Telur

Label: ,

Gunung Lumpur Madura Bergemuruh
Jika Laut Pasang

Foto: detikcom/Budi Sugiharto

Julukan Bujel Tasek untuk semburan lumpur dan gas yang sudah membentuk gunung di Desa Katal Barat I Kecamatan Geger Kabupaten Bangkalan menyisakan misteri yang tidak akan terkuak. Siapa yang memberikan julukan, warga setempat mengaku nama itu sudah ada sejak zaman nenek moyang.

Yang jelas, warga setempat meyakini apabila semburan lumpur itu adalah pasangan suami istri. Yang berbentuk gunung disebut sebagai semburan laki-laki dan yang hanya membentuk kubangan dijuluki sang istri. Sementara satu semburan lagi yang menjadi sumur dinamakan sebagai air susu sang ibu.

"Sejak dulu warga di sini menyebut jika semburan itu pasangan suami istri. Sebenarnya ada ada semburan lagi yang disebut anaknya. Tapi sudah lama tidak menyembur maka dianggap sudah mati," kata H Masduqi, Kepala Desa Katal Barat, saat ditemui detikcom di kediamannya, Senin (30/10/2006).

Menurut Masduqi, tidak ada yang bisa memastikan kapan semburan kali pertama diketahui. "Sudah zaman nenek moyang kita. Saya lahir sudah ada lumpur itu," kata Masduqi yang mengaku lahir tahun 1956 itu.

Begitu pula sejarah kemunculan semburan lumpur juga masih menyisakan misteri. "Tidak ada yang tahu. Tapi menurut para orang tua terdahulu, semburan itu sebagai pusatnya laut. Makanya dinamakan Bujel Tasik yang artinya Pusaran Laut," imbuhnya.

Nama Bejul Tasik sendiri bagi warga termasuk sang kepala desa mempunyai keterkaitan dengan laut yang jaraknya sebenarnya cukup jauh dari lokasi Desa Katal Barat itu. Desa pesisir pantai terdekat dari Katal Barat itu berjarak sekitar 12 kilometer. "Saya sendiri tidak tahu persis apa memang benar begitu atau tidak," kata H Masduqi.

Jika air laut pasang, pengakuan warga pusat semburan akan mengeluarkan suara seperti ledakan yang cukup keras. Bahkan terdengar hingga radius 1 kilometer. "Suara itu biasa didengar saat subuh. Mengelora begitu bunyinya, seperti deburan ombak yang cukup keras," ungkap H Masduqi.

Adanya hubungan dengan laut itu juga dibenarkan oleh Dika (21). Pemuda yang tinggalnya hanya berjarak 100 meter dari pusat semburan ini juga sudah hafal dengan kapan pusat semburan akan mengeluarkan bunyi keras.

"Kata orang tua di sini, semburan yang jadi gunung ini adalah lubang pernafasan laut. Jadi apa pun kondisi laut pasti akan berpengaruh langsung. Misalnya jika air pasang maka suara akan bergemuruh dan lumpur akan keluar," katanya saat mendampingi detikcom berkeliling Desa Katal Barat 1.(Budi Sugiharto)

Sumber: detikNews, Senin, 30/10/2006

Label: ,

Gunung Lumpur Madura
Bisa Obati Penyakit & Asinkan Telor

Foto: detikcom/gik/nrl
Bermain-main dengan lumpur

Semburan lumpur dan gas di Desa Katal Barat, Kecamatan Geger, Kabupaten Bangkalan ternyata tidaklah membuat warga setempat cemas maupun takut. Justru mereka meyakini jika lumpur itu mampu menyembuhkan beragam penyakit dan bermanfaat untuk mengasinkan telor.

Para pemuda maupun anak-anak yang tinggal di Desa Katal Barat I yang rumanya hanya berjarak sekitar 100 meter dari gunung lumpur, setiap hari dengan leluasa bermain di semburan lumpur Bujel Tasik tersebut. Bahkan mereka cukup berani untuk mengaduk-aduk lumpur di puncak semburan lumpur dan gas yang sudah menggunung setinggi 9 meter itu.

"Tidak ada apa-apa. Aman, Mas. Coba naik seperti saya ini," ajak Achmad (33) dan Abhay (23) yang bermain di puncak gunung lumpur ketika mengetahui kedatangan detikcom dan wartawan lainnya, Senin (30/10/2006). Keduanya terus sibuk mengaduk-aduk lumpur tanpa khawatir tercebur ke pusat semburan yang lebar bagian puncaknya mendekati 1 meter ini.

Mereka juga mengaduk-aduk lumpur yang berada di semburan perempuan dengan sebatang kayu. "Jika ada yang berani masuk ke pusat gelembung itu pasti akan tewas tenggelam, Mas," tutur Abhay.

Menurut Achmad maupun Abhay, sejak puluhan tahun lalu, lumpur yang keluar diyakini bisa menyembuhkan penyakit, seperti gatal, kurap maupun penyakit kulit lainnya. Bahkan air lumpurnya juga bisa menyembuhkan penyakit dalam.

Tidak sedikit masyarakat dari luar Madura yang datang untuk mengambil lumpur untuk dibawa pulang. "Ada juga yang berendam di sumur air susu (julukan untuk semburan yang kini menjadi sumur, red). Katanya bisa sembuh penyakit yang diderita," ungkap Abhay.

Keyakinan itu juga disampaikan Kepala Desa Katal Barat H Masduqi. "Konon yang cukup ampuh untuk menyembuhkan itu lumpur yang berada di semburan perempuan (semburan lain yang menjadi kubangan-red). Banyak juga yang membawa pulang lumpurnya. Terus diolesin ke bagian yang luka atau yang sakit menjelang tidur," ungkap H Masduqi.

Selain diyakini manjur untuk mengobati beragam penyakit, lumpur yang rasanya asin itu juga banyak dimanfaatkan warga sekitar untuk membuat telor asin. "Tapi memang di sini tidak ada warga yang membuka usaha telor asin. Hanya saja jika ada yang ingin mengasinkan telor maka ambil lumpur untuk merendam telor," katanya.

Ada kisah menarik yang berbau mitos lainnya. Tanaman semak belukar yang mengelilingi lokasi semburan lumpur laki-laki (semburan lumpur yang telah menggunung-red) bisa untuk menolak perbuatan jahat. Warga setempat pun mengambil tanaman tersebut lalu ditanam mengelilingi rumah untuk dijadikan pagar.

"Kalau ditanam di sekeliling rumah, diyakini bisa menolak maling atau penjahat yang akan merampok atapun mencuri," kata Achmad Katal (33) sambil menunjuk sebuah bangunan rumah kayu yang dikelilingi tanaman dari lokasi semburan lumpur laki-laki.

Perlu diketahui, di Desa Katal Barat I Kec Geger ini sejak puluhan tahun lalu muncul tiga semburan lumpur dan gas. Masing-masing mempunyai julukan sesuai dengan bentuknya. Semburan lumpur yang sudah menggunung disebut semburan laki-laki, yang membentuk kubangan dijuluki semburan perempuan dan yang membentuk sumur disebut air susu ibu karena warna airnya coklat keputih-putihan. (Budi Sugiharto)

Sumber: detikNews, Senin, 30/10/2006

Label: ,

Di Sumenep Penjual Bunga Laris Manis


Memasuki perayaan Hari Raya Idul Adha 1429 Hijriyah, penjual bunga di seputaran komplek Taman Makam Pahlawan (TMP) di Desa Pandian, Kecamatan Kota, Sumenep, Madura, laris manis, Senin (8/12).

Ramainya pembeli bunga untuk ziarah juga dapat dijumpai di Komplek Makam Raja-raja di Pemakaman Asta Tinggi, Kebon Agung dan Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pamolokan. Ketiga makam yang terdapat banyak pedagang bunga itu berada di wilayah Kecamatan Sumenep Kota.

Namun, dari tiga kelompok pedagang bunga untuk ziarah kubur tersebut ternyata yang paling ramai pembeli adalah di seputar Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pamolokan. Bahkan dalam hari-hari bisa penjual yang membuka stannya hanya tiga sampai empat pedagang, tapi kali ini penjual yang membuka stan menjadi delapan orang.

Demikian halnya yang dipraktekkan pedagang bunga di seputar TMP dan Asta Tinggi, penjual bunga meningkat. Jumlah pedagang sebanding dengan ramainya pembeli. Pedagang bunga di TMP tercatat tujuh orang dan pedagang di Kompleks Makam Asta Tinggi menjadi enam orang.

Semuanya penjual bunga untuk ziarah kubur mengalami peningkatan penjualan, dagangan mereka laku laris manis dengan cepat. Sampai banyak pembeli yang tidak menjumpai bunga yang dipajang di stan penjualan, karena di atas pukul 11.00 dagangan bunga sudah habis.

Menurut seorang penjual bunga, Misnati (46), pembeli kembang meningkat tajam hingga tiga kali lipat dari hari-hari biasanya. Karena tradisi masyarakat Sumenep pergi berziarah ke kuburan sanak familinya saat lebaran di Idul Fitri atau peringatan Hari Raya Idul Adha.

Misnati mengaku, hingga siang pukul 10.00 sebanyak 125 bungkus bunga dagangannya habis terjual.

Pedagang yang ditemui di sudut TMP ini, Senin (8/12) pagi, terlihat sibuk melayani pembeli yang kebanyakan warga Sumenep yang pulang kampung dari tempat kerja di luar Madura.

Jika hari-hari biasa, Misnati maksimal bisa menjual 50 bungkus tapi kali ini penjualannya mencapai 150 bungkus.

Kondisi semacam ini terjadi rutin setiap tahun, setiap hari raya banyak warga yang berziarah dan membeli bunga. Pedagang yang satu ini mengaku telah bertahun-tahun menjual bunga di TMP.

Sementara penjual bunga di Kompleks Asta Tinggi dan Pemakaman jeruk Purut, juga mengatakan bersyukur karena ramainya pembeli.

Kondisi ramainya pembeli seperti sekarang rutin terjadi minimal dua kali setahun.

Biasanya di Komplek Makam Asta Tinggi tempat makam raja-raja Sumenep, ramai pembeli bunga pada Kamis malam Jum’at legi berlangsung terus hingga Jum’at legi sore.

“Alhamdulillah, dagangan kami bisa habis hanya dalam tempo beberapa jam saja,” kata Ny Asruni di Kompleks Asta Tinggi.

Mengenai harga bunga, rata-rata dijual dalam patokan harga yang sama yaitu Rp 3.000per bungkus. Tapi ada juga pembeli yang memang ingin mendapatkan bunga lebih banyak dengan mengulurkan uang Rp 5.000 per bungkus.

Bagi Asruni, Misnati dan penjual bunga lainnya, omzet sehari berjualan bisa untung bersih Rp 150 ribu. Tapi dalam hari-hari biasa, mereka hanya mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu sehari. (ant)

Sumber: Surya, Senin, 8 Desember 2008

Malang Areh Bayi di Pamekasan

Tradisi Perayaan 40 Hari

Tradisi perayaan empat puluh hari atau malang areh bayi semakin sulit dijumpai. Selain sudah bergeser ke efesiensi, juga karena tergerus budaya modern. Namun, bagi warga Kecamatan Kadur tradisi malang areh tetap dilestarikan.

SEKILAS tidak ada yang istimewa saat koran ini berkunjung ke kediaman Adnan Kasogi, 55, di Desa Sokalelah, Kecamatan Kadur, kemarin sore. Selain tidak tampak pernak-pernik perayaan, hanya kerabat dekat terlihat kumpul di musalanya.

Tapi setelah Koran ini masuk ke ruang tamu bagian dalam, tampak remaja putra dan putri tampak sibuk menghias perahu mini. Ada juga dari mereka sedang merangkai bunga dengan seutas lidi dan tali.

Setelah azan Maghrib berkumandang, sejumlah warga berdatangan. Mereka yang datang langsung disediakan sebungkus makanan dan minuman yang terselip sebatang rokok.

"Ini acara perayaan malang areh cucu saya, sekaligus aqikahnya. Kami sengaja mengundang tetangga untuk turut mendoakan. Lagian cucu ini merupakan cucu laki pertama dari anak bungsu saya," kata Adnan.

Seperti kegiatan keagamaan dan seremonial pedesaan pada umumnya, setiap pembukaan acara dibuka dengan doa. Termasuk, saat ditutup juga dipungkasi dengan doa oleh tokoh agama setempat.

Sebelum acara berakhir, salawat Nabi mulai dikumandangkan dan para undangan mulai berdiri semua. Setelah itu, tiga remaja memasuki lokasi undangan yang berjumlah sekitar seratus orang tersebut.

Remaja paling depan tampak membawa perahu mini yang dilengkapi dengan lampu hias. Rupanya, perahu mini itu dijadikan wadah bayi yang sudah berumur 40 hari tersebut. Kemudian, bayi dibawa keliling menemui undangan untuk dimintakan doa.

Sedangkan remaja yang ada di urutan kedua, terlihat membawa beberapa bunga yang sudah dirajut dengan benang dan lidi. Bunga itu untuk diberikan ke undangan yang hadir. Itu sebagai belas kasih dan mengartikan kebaikan bagi sang anak.

Yang terakhir, pria dengan kopiah tinggi itu terlihat asyik menyemprotkan parfum pada undangan. Itu sebagai bagian dari sunnah dalam Islam dan juga berarti sang anak terhindar dari sifat buruk dan kotor.

Setelah salawat, sang bayi yang terlihat lelap tersebut di taruh di depan tokoh agama setempat hingga selesainya acara. Baru setelah selesai diambil oleh kedua orang tuanya. (NADI MULYADI)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 03 Desember 2008

Label: ,

Tradisi Cahe di Goa Mandalia

Persembahan Sesaji untuk Makhluk Halus Penunggu Goa

Warga Desa Langsar Timur, Kecamatan Saronggi, punya tradisi ritual cahe (selamatan). Ritual ini dilakukan di dalam Goa Mandalia di desa setempat. Apa menariknya?

AROMA kemenyan mulai menyengat ketika koran ini mendekati pintu masuk menuju Goa Mandalia. Goa ini dikelilingi tembok yang tingginya sekitar 1,5 meter. Untuk sampai ke mulut gua, harus melewati pintu yang terbuat dari besi.

Di atas pintu tertulis "Atas nama P. Suno, Gua Mandalia Banjar Raba panyoonan sopaja tertib". Artinya, atas nama P. Suno, Gua Mandalia Banjar Raba permohonan (berdoa) supaya tertib.

Untuk sampai ke Goa Mandalia, perlu menempuh perjalanan 25 kilometer ke selatan Kota Sumenep. Di simpang tiga Kecamatan Saronggi belok kiri, langsung menuju Desa Langsar Timur.

Untuk ke goa, mesti jalan kaki sejauh 1,5 kilometer dari jalan beraspal. Letaknya memang cukup jauh ke pelosok. Namun, pemandangan di kanan kiri terlihat cukup menarik dan rindang.

Goa itu sangat dikeramatkan warga Desa Lansar Timur. Warga setempat meyakini goa itu adalah tempat pertapaan sesepuh desa.

Sesampai di goa, tampak warga sibuk menyiapkan upacara ritual cahe. Dalam setahun, dua kali warga desa melakukan ritual cahe. Yakni, saat perubahan musim panas ke hujan dan dari musim hujan ke panas. Cahe merupakan tradisi turun-temurun yang dijaga kelestariannya oleh sebagian warga. Ritual itu sebagai bentuk syukur.

Ritual cahe diawali dari rumah Ketua Adat Cahe Mbah Suno, 99. Sebelum mendatangi goa, koran ini mampir ke rumah Mbah Suno yang punya julukan Tampa Karsa. Di rumah inilah warga mendapat bimbingan dan arahan dalam melakukan ritual di Goa Mandalia.

Menurut Mbah Suno, cahe merupakan warisan peninggalan nenek moyang desanya yang perlu dilestarikan. Ritual sebagai wujud syukur dalam mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa.

"Tidak ada kehendak lain. Ritual cahe hanya untuk mendekatkan diri kepada yang menciptakan kita," kata Mbah Suno.

Dia hanya mengingatkan, setiap pengunjung Goa Mandalia agar tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama. Sebab, tidak menutup kemungkinan mahluk gaib penjaga goa akan mengamuk, jika pengunjung yang melakukan maksiat. "Agar selamat, para pengunjung harus tertib," pesannya.

Dalam prosesi cahe, warga yang akan berdoa di Goa Mandalia harus membawa berbagai macam jenis makanan hasil bumi. Tak lupa sesaji khusus yang dipersembahkan pada roh halus dianggap sebagai penjaga goa.

Sesaji tersebut berupa nasi putih, ikan laut, kopi, dan tujuh bungkus jajanan pasar. Air bunga tujuh warna dan tujuh buah kelapa muda juga dipersembahkan pada roh halus yang ada di dalam goa. Bahkan, ciri khas makanan warga setempat yang dibungkus dengan daun lontar dan diberi bendera merah putih ikut dipersembahkan. Karena itu, ibu-ibu terlihat sibuk memanggul sesajin di atas kepalanya ketika mendatangi goa.

Sebelum masuk goa, sebanyak 21 orang membaca mantera yang berisi salam sapaan kepada roh halus. Mereka dalam posisi melingkar di depan goa sambil membakar kemenyan.

Sekitar 20 menit kemudian, mereka masuk ke goa sambil membawa sesaji. Sedangkan di pintu masuk goa terdapat tumpukan kayu yang dibakar warga.

Warga sangat meyakini goa itu ada penunggunya. Bahkan, kabarnya, ratusan tahun lalu goa itu merupakan tempat pertapaan para sesepuh desa. Hal itu dilambangkan dengan hamparan batu selebar 3x4 di dalam goa.

Di sekelilingnya terdapat batu yang menyerupai ular naga melingkar dan batu berbentuk potongan betis dan kaki manusia. Bongkahan batu yang berada dalam goa itu dikeramatkan warga setempat. Sayangnya, tumpukan batu itu tak boleh diabadikan.

Lubang goa terlihat kotor, sempit, dan gelap. Kabarnya, goa itu adalah jalan pintas para wali tempo dulu menuju ke Gunung Keramat di Kabupaten Situbondo.

Dugaan itu juga dibuktikan dengan banyaknya pengunjung Goa Mandalia dari Situbondo, Banyuwangi, dan Jember. Mereka datang untuk ber-munajat dan berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan keselamatan dunia dan akhirat. Para peziarah biasanya membaca Alquran di depan pintu masuk goa.

Setiap pengunjung Goa Mandalia dan berniat bermalam di goa, perlu nyali tinggi. Selain jauh dari pemukiman warga, di sana tak ada penerangan dan terkenal angker. (A. ZAHRIR RIDLO)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 26 November 2008

Ada Persamaan antara Bali dan Madura

MAYORITAS masyarakat Bali beragama Hindu, mayoritas masyarakat Madura beragama Islam. Itulah dasar kesamaan jika membandingkan masyarakat Pulau Bali dengan Pulau Madura. Hanya, ada sedikit perbedaan jika dipandang dengan kacamata keterbukaan terhadap pelibatan orang maupun budaya dari luar.

Sebagai contoh, masyarakat Bali tetap adem ayem dan tetap pada pendirian agamanya meski budaya lain masuk berduyun-duyun. Batasan masyarakat Bali terhadap kebudayaan cukup kuat. Bahkan, mereka kerap kali membuka pintu untuk orang asing datang ke sana untuk datang ke acara atau ritual-ritual religiusnya. Konsistensi masyarakat pun akhirnya tumbuh untuk tetap berpegang teguh pada kebudayaan dan pola keyakinannya pada dewa-dewa.

"Saya sangat menyayangkan sekali Madura tidak seterbuka masyarakat Bali. Hasilnya bukan mereka yang menyedot orang luar untuk masuk ke lingkup kebudayaan, tetapi justru tersedot keluar," tutur Ifan.

Dia memaparkan, di Bali orang punya keyakinan yang kuat bahwa melibatkan orang asing akan membuat mereka percaya bahwa yang dianut masyarakat setempat adalah benar adanya. Sehingga, orang luar pun akan membatasi diri dan tak akan mengganggu pola keyakinan yang sudah mapan tersebut. Sebaliknya, rasa ingin tahu orang asing pun mereka manfaatkan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang berbau ritual keagamaan.

"Maksud orang Bali bukan kemudian meremehkan atau membuat upacara adat mereka menjadi sesuatu yang profan (pertunjukan belaka, Red). Tetapi, mengajak orang asing untuk mengerti tentang apa maksud mereka melakukan itu. Dengan begitu, kemudian muncul kesepakatan tidak tertulis untuk bersama-sama mengamankan budaya," terang anak kedua dari 4 bersaudara ini.

Apa Madura juga bisa seperti Bali? Berdasarkan kesamaan warga mayoritasnya, jelas Ifan, Madura sangat berpotensi untuk berjalan seperti Bali. Dengan demikian, para pemuka agama tak perlu susah payah memertahankan budaya religi dengan jerih payahnya sendiri. Bantuan untuk memertahankan budaya dan religi akan datang sendiri dari kesadaran masyarakat. Bahkan, orang asing yang datang ke Madura pun juga akan membangun kesadaran itu begitu menginjakkan kakinya di Madura.

"Syaratnya jangan terlalu rapat (tertutup, Red). Terlalu rapat justru akan membuat siapa pun yang ada di dalamnya merasa kepanasan dan ingin keluar. Biarkan udara keluar masuk dengan alami dengan batasan-batasan yang kokoh," katanya menggunakan bahasa perumpamaan. Caranya, lanjut alumnus SMAN 3 Pamekasan ini, dengan menghadirkan atmosfir yang konsisten.

Berkaitan dengan hal itu, dia mengungkapkan pengalamannya menjadi juri di lomba teater di Madura. Dalam lomba tersebut, kebanyakan peserta membawakan topik teater yang berbau religi. Terutama yang dari pesantren dan sekolah-sekolah berbasis agama Islam lainnya. "Artinya, teater pun kemudian diterima jika nuansanya Islam. Padahal, kalau mau teliti teater itu banyak melibatkan pemikiran-pemikiran Eropa yang cenderung sekuler. Ini sudah menjadi pertanda bahwa apa pun akan diterima Madura asal memiliki kedekatan dengan masyarakatnya," terangnya.

Dia berharap, ke depan Madura bisa lebih terbuka dalam berbagai hal, terutama bidang seni dan budaya. Sehingga, tidak ada lagi seniman dan budayawan Madura yang justru besar dan berkembang bukan di tanah kelahirannya sendiri. "Tentunya keterbukaan itu tidak mudah karena mungkin sedah terlanjur rapat. Tapi saya harap bisa. Kan sayang kalau orang-orang kita merasa lebih bebas berekspresi di luar Madura," pungkasnya. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 18 November 2008

Label:

Di Madura Ternyata Ada Wayang

"UMURNYA bisa dipastikan lebih dari 200 tahun. Sekarang ada di Kelenteng dan dirawat di Yayasan Vihara Avaloki Testavara, di pantai Talang Siring," ungkap A. Hamzah Fansuri B., ketika diminta menjelaskan latar belakang penelitiannya mengenai keberadaan Wayang Kulit di Madura.

Menurut dia, wayang kulit merupakan salah satu seni teater tradisional di masa lalu. Tak heran, dia langsung tertarik meneliti asal-usul keberadaan wayang kulit di Madura yang konon datang dari Jawa sejak 200 tahun silam.

Informasi pertama mengenai wayang kulit di Madura dia peroleh dari seorang penggiat seni teater di Madura. Saat itu dia diajak untuk melihat langsung pertunjukan wayang kulit yang dibawakan oleh sesepuh Yayasan Vihara Avalokitesvara, tempat ibadah umat Budha di daerah pantai Talang Siring, Pamekasan.

"Waktu itu saya baru semester awal dan sangat tertarik melakukan penelitian lanjutan mengenai keberadaan dan membandingkan isi teater tradisional itu dengan teater ala Eropa," paparnya.

Realisasi penelitian itu baru benar-benar dia garap di semester akhir kuliahnya sebagai syarat kelulusan. Masuk penelitian fakta-fakta baru mulai dia temukan. Di antaranya, keberadaan wayang kulit di Pamekasan ternyata berasal dan didatangkan dari Bangkalan. Artinya, wilayah pertama yang dimasuki Wayang Kulit dari Jawa di Madura adalah Kabupaten Bangkalan. Bentuk wayang Kidung Kencono yang berasal dari Bangkalan itu lebih kecil dari wayang yang ada di tanah Jawa. Hanya tersisa 1 set dan kini berada di Pamekasan.

Perkembangan kesenian wayang di Madura berawal sejak tahun 1630-an, sebelum Kerajaan Mataram menginvasi Madura. Hampir di semua wilayah Madura masyarakat mengenal dan pernah menikmati pertunjukan wayang. "Jadi benar, di Madura itu memang pernah ada kesenian wayang. Tapi kemudian mati karena satu sebab. Wayang-wayang yang ada di Madura pun akhirnya menjadi koleksi museum. Yang dari Bangkalan ada di Museum Empu Tantular Surabaya dan wayang Sumenep ada di museumnya sendiri," jelasnya.

Diterangkan, cerita wayang di Madura mengikuti cerita pewayangan yang ada di Jawa. Kisah Mahabarata dan Ramayana tak bisa dipisahkan dari kesenian tersebut. Kematian seni wayang di Madura kemudian berubah dan menjelma menjadi kesenian Topeng Dhalang. Bedanya, kesenian ini tak menggunakan wayang yang digerakkan oleh dalang. Melainkan menggunakan manusia yang suaranya berasal dari sang dalang. "Ceritanya relatif sama, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Hanya wayangnya pakai manusia," ungkapnya.

Jadi, imbuhnya, kesenian wayang kulit yang hanya tersisa di Pamekasan itu hingga kini dibawakan oleh dalang Topeng Dhalang. Sehingga, secara estetika pewayangan mirip Topeng Dhalang. Dalang pertama yang membawakan wayang kulit Pamekasan dengan latar belakang Topeng Dhalang adalah Saleh Kerte. Dia membawakan wayang kulit untuk dipertunjukkan di seluruh Madura. Selanjutnya sosok bernama Taharun, dalang Topeng Dhalang asal Sumenep.

Adaptasi lain dari wayang kulit di Madura adalah Topeng Getthak. Lakon dalam kesenian tersebut menampilkan beberapa tokoh bala dewa yang dianggap mewakili masyarakat Madura dalam pewayangan. "Ada tokoh Raja Mandura yang katanya seperti orang Madura dalam pewayangan," tandasnya.

"Sekarang penelitian ini masih terus saya lakukan. Tujuannya untuk mengetahui asal-muasal wayang dan membandingkannya dengan kebudayaan Eropa. Jika ternyata adaptasi dari akar kebudayaan yang ada di Madura itu kuat, berarti ke depan bisa dikembangkan seperti di Eropa. Sebab, saya berpendapat bahwa ketertinggalan kita hanya bisa dikejar melalui jalur kebudayaan," katanya optimis. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 18 November 2008

Baca juga:
Ada Persamaan Antara Bali dan Madura
Wayang Berbahasa Madura

Ponpes Al Muniri di Madura Diteror Roh Halus

Foto: Ardi Yanuar Pamekasan
Pondok Pesantren (Ponpes) Al Muniri, di Desa Tentenan Timur, Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan, Madura seolah diteror roh halus. Para santriwatinya secara bergiliran mengalami kesurupan.

Secara bergiliran, 13 orang santriwati tiba-tiba berteriak-teriak lalu terjatuh ke lantai kelas tempat mereka belajar. Belum diketahui penyebab serangan roh halus terhadap para santriwati itu.

Seperti yang terjadi, Jumat (14/11/2008). Jeritan dan teriakan seperti orang kesakitan mendadak mengejutkan aktivitas belajar di ponpes tersebut. Ulfa Hamidah (13) dan Zubaidah (14) berteriak-teriak seperti orang ketakutan dan seolah menahan rasa sakit yang luar biasa.

Jeritan dua santriwati kelas 2 Madrasah Tsanawiyah Al Muniri kontan membuat suasana menjadi tegang. Sejumlah temannya langsung memberi pertolongan pertama dengan cara membopong ke ruang Unit Kesehatan Pondok.

Para santri yang menolong tampak sibuk dan panik. Ada yang memegang kedua kaki Zubaidah, ada pula yang memangku kepalanya. Seorang santri membawa mangkok berisi larutan minyak goreng, bercampur minyak tanah dan gerusan bawang merah.

Larutan tradisional itu, diyakini bisa menyembuhkan orang yang kesurupan. Tapi bukan hal yang mudah untuk menyuapkan ramuan tradisional itu. Perlu tiga santri untuk membuka mulut Zubaidah.

"Alhamdulillah. Akhirnya Zubaidah bisa meminum obat tradisional ini," kata Romlah, salah sorang santri yang ikut menolong Zubaidah.

Setelah meneguk larutan tradisional itu, Zubaidah perlahan pulih kesadarannya.

Pengasuh Pontren Al Muniri, Ustad Rosidi Munir, mengakui jika kesurupan memang sering menimpa santrinya. "Sejak sepekan ini, sudah 13 santriwati yang kesurupan," kata Ustad Munir.

Telah banyak cara untuk menangkal serangan kesurupan itu. Ustad Munir pernah menggelar ruwatan massal di pesantrennya. Tapi, serangan kesurupan masih saja terjadi. Beruntung, Ustad Munir mendapat resep larutan tradisional untuk menyembuhkan kesurupan.

"Larutan minyak oreng dicampur minyak tanah dan gerusan bawang merah cukup ampung untuk menyembuhkan kesurupan. Tentunya dengan dibarengi bacaan doa-doa tertentu," ungkap Ustad Munir.(Ardi Yanuar)

Sumber: detikSurabaya, Jumat, 14/11/2008

Label: , , ,

Bahasa Madura Masuk Pelajaran Sekolah

Dinas P dan K Pamekasan, Madura, Jawa Timur, memutuskan untuk memasukkan Bahasa Madura sebagai pelajaran sekolah dari tingkat SD hingga SMA.

"Diharapkan dengan masuknya Bahasa Madura tersebut, nantinya para siswa akan lebih paham akan bahasa daerahnya sendiri" kata Kasubdin Dikmen Dinas P dan K Pamekasan Nur Kodim, Minggu (10/08).

Selama ini, kata Nur Kodim banyak pelajar dan kaum remaja Madura yang tidak paham bahkan tidak bisa berbahasa Madura. Akibatnya mereka cenderung menjadi orang asing di daerahnya sendiri.

"Usulan memasukkan Bahasa Madura sebagai salah satu mata pelajaran lokal di Pamekasan ini dari para tokoh dan sesepuh Madura. Mereka tidak ingin bahasa Madura menjadi punah," jelas Nur Kodim.

Di sejumlah lembaga pendidikan di Pamekasan, selama ini memang ada sekolah yang memberikan pelajaran tambahan bahasa Madura, tapi belum merata dan terbatas untuk tingkat SD hingga kelas 1 SMP. Sedang untuk kelas 2 dan kelas 3 serta SMA ditiadakan.

Sapto Aji Wirantho, S.Sos dari Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pegembangan (Balitbang) Depdiknas pusat dalam simposium pendidikan nasional yang digelar Komunitas Pemuda Peduli Pamekasan (KP3) pada Sabtu (09/08) di Pamekasan, menyatakan, pada era otonomi daerah ini Dekdiknas memang mengharapkan agar sistem pendidikan dan muatan kurikulum pendidikan di daerah senantiasa memperhatikan kebutuhan masing-masing daerah.

"Dalam hal ini adanya muatan pelajaran lokal diharapkan mampu mempertahankan tradisi dan budaya yang memang ada dan berkembang di masyarakat setempat," katanya.

"Pemerintah," lanjut Aji, "juga telah mengatur tentang upaya pemeliharaan potensi dan budaya lokal tersebut melalui undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, serta Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dan satuan Pendidikan Dasar dan Menengah."

Dalam undang-undang nomor 22 tahun 2006 tersebut dinyatakan, bahwa alokasi waktu untuk muatan pelajaran lokal sebanyak 2 jam dan kedudukannya sama dengan mata pelajaran lainnya.

"PP ini mengharapkan agar daerah bisa melestarikan dan mengembangkan potensi yang ada, sehingga akan menjadi kebanggaan tersendiri," katanya.

Hal yang sama juga disampaikan Staf kebudayaan dinas P dan K Jawa Timur Parso Adiyanto, S.Pd, M.M, M.BA. Menurut dia, warga Madura memiliki tradisi dan budaya tersendiri sebagai ciri khas. Maka selayaknya hal itu dipertahankan.

Ia juga menyebutkan sejumlah tradisi dan kesenian ada di Madura dan yang masih bertahan hingga saat ini. Seperti Tari Dhangga, Rokat Tase, Budaya Nyather, Tari Rondhing, Tembang Macopat, dan Tari Topenng Gethak.

"Semua jenis kesenian dan budaya ini menggunakan bahasa Madura. Dan ini bisa dipertahankan apabila warga Madura bisa berbahasa dengan baik dan benar Bahasa Madura," katanya.

Sebagian warga Pamekasan berharap, materi pelajaran bahasan Madura tak hanya disajikan dari tingkat SD hingga SMA, tapi juga hingga di perguruan tinggi.

"Ini menurut saya perlu dilakukan terutama para jurusan pendidikan atau tarbiyah karena mereka yang akan berkomunikasi langsung dengan anak didiknya dan itu tidak bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia murni, tanpa adanya campuran bahasa Madura," kata Muakmam dari Yayasan Pakem Maddu Pamekasan. (*/npy)

Sumber: Kapanlagi.com, 10/08/2008

Label: , , , ,

Madura "Surganya" Lelaki

Pulau Madura, selain terkenal dengan karapan sapi dan pedagang satenya juga dikenal sebagai "surganya" pria. Pulau yang masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Timur ini memiliki resep tradisional yang sangat ampuh untuk urusan ranjang.

Sudah sejak lama jamu-jamuan ramuan Madura dipercaya mampu membuat kualitas/kemampuan hubungan intim menjadi lebih hot, lebih sehat dan bergairah. Ramuan bukan hanya untuk kau adam semata. Malah, ramuan untuk kaum hawa lebih komplit.

Pernah mendengar jamu Tongkat Madura? Ini adalah salah satu ramuan yang sangat terkenal hingga mancanegara. Ramuan ini mampu menghadirkan sensasi tersendiri bagi pria yang berhubungan intim dengan wanita yang rajin mengonsumsinya. Selain membuat lebih rapet, ramuan leluhur ini juga mampu meningkatkan kualitas fungsi seksual. Yang lain ada rapet wangi, empot-empot dan sabun perempuan.

Mengkonsumsi ramuan tradisional, selain mampu meningkatkan kebugaran seksual juga bebas dari bahan kimia. Berikut ramuan Madura untuk kaum hama yang legendaris itu.

Tongkat Madura

Ramuan ini memiliki khasiat yang baik bagi organ intim perempuan. Tongkat Madura ini adalah sebuah ramuan tradisional yang berbentuk stick. Dibuat dari bahan-bahan akar tumbuhan terpilih. Ramuan ini telah dipakai oleh kalangan perempuan Madura sejak ratusan tahun yang lalu.

Bermanfaat untuk menguatkan otot kewanitaan, menghilangkan keputihan, dan merapatkan organ intim. Tongkat Madura ini juga dapat menghilangkan bau yang tak sedap pada organ kewanitaan, mengurangi lendir berlebih dan membuat otot kewanitaan semakin ketat.

Empot-Empot

Jamu tradisional Madura yang satu ini tentu sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ramuan ini bermanfaat untuk merapatkan organ kewanitaan, dan dapat menimbulkan denyut-denyut istimewa dari organ intim perempuan.

Selain itu juga, dapat mengurangi lendir yang berlebihan. Akan sangat baik jika diminum dan dikombinasikan dengan Jamu Rapet Wangi.

Rapet Wangi

Hampir mirip dengan khasiat Jamu Empot-Empot. Jamu tradisional khas Madura yang satu ini bermanfaat untuk merapatkan organ kewanitaan, mengurangi lendir yang berlebihan dan menghilangkan keputihan. Bedanya, jamu Rapet Wangi ini dapat membuat organ intim perempuan menebarkan bau wangi. Inilah kelebihan dari jamu Rapet Wangi.

Nah, jika Anda merasa penasaran untuk mencobanya, ramuan-ramuan Madura ini bisa Anda dapatkan di mana saja, di toko-toko obat ataupun toko-toko jamu di kota Anda. Rasakan manfaat dan khasiat ramuan asli tanah air ini untuk kualitas fungsi seksual Anda. Jaga dan rawatlah organ intim Anda itu demi kebersihan dan kesehatan diri. Buatlah pasangan lelaki anda selalu bahagia berada di samping anda. (kpl/berbagai sumber/rsd)

Sumber: KapanLagi.com, Senin, 30 Juni 2008

Label: , ,

Seniman Sumenep Raih Cak Durasim Award

Usai menyajikan berbagai suguhan pertunjukan seni karya para seniman muda berbakat, Festival Cak Durasim (FCD) 2008 berakhir tadi malam (16/11). Dalam penutupan tersebut, tampil Kelompok Mainteater asal Bandung yang membawakan lakon Electronic City. Tidak ketinggalan, ajang penganugerahan Cak Durasim Award yang diberikan kepada seniman Madura, Taufikkurachman di Gedung Cak Durasim.

Acara penutupan diawali dengan penganugerahan Cak Durasim Award yang diberikan kepada Taufikkurachman. Seniman 60 tahun asal Sumenep tersebut telah berjasa menciptakan sebuah tarian yang kini menjadi ikon Tari Kabupaten Sumenep. Tari yang diberi nama Muangsangkal itu kini banyak dikenal baik di dalam maupun di luar Sumenep.

Tidak hanya itu, tari Muangsangkal yang berarti membuang bahaya itu sudah menjadi tari legendaries Kraton Sumenep. Sejak dibakukan, tari dengan jumlah penari yang selalu ganjil itu kerap menjadi rujukan bahan skripsi mahasiswa universitas-universitas ternama di Indonesia.

Karena itu, sudah sepantasnya Taufikkurachman menerima penghargaan tahunan tersebut. ''Saya terus terang merasa bangga sekaligus optimistis bahwa karya tari saya bisa menjadi salah satu ikon tari Jawa Timur," ujarnya usai menerima penghargaan.

Sebagai pertunjukan penutup, tampil Kelompok Mainteater Bandung. Pertunjukan teater itu terbilang spesial. Tidak menganut jalur teater konvensional, kelompok teater anak muda tersebut bermain di jalur kontemporer dengan memadukan sebuah pertunjukan teater dengan film. Bisa disaksikan lewat setting panggung yang juga tidak biasa, seperti bentuk panggung yang melingkar, latar belakang sebuah layar LCD, dan juga sebuah meja dengan tiga kursi yang berada di area bangku penonton.

Membawakan lakon Electronic City, anak-anak muda Bandung tersebut mencoba mengkritisi ketergantungan masyarakat dunia terhadap teknologi. Lewat pertunjukan berdurasi satu setengah jam itu, kelompok teater yang bekerja sama dengan komunitas film independent, Kineruku, itu menyajikan pertunjukan teater dengan menggabungkan tiga unsur. Yakni, off stage, on stage dan on screen. (ken/ari)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 17 November 2008

Label: ,

Ranjang Pale' Dongkrak
Gengsi Pengantin

Ukiran kayu Jepara, memang sudah lebih dulu dikenal luas hingga luar negeri. Namun Bangkalan juga mempunyai karya serupa yang tidak kalah kelasnya, meski baru sebatas di pasar lokal dan regional. Meski begitu karya tangan ini kepopulerannya dikalangan masyarakat Bangkalan, Madura, tidak pernah luntur.

Salah satunya adalah hasil karya perajin yang cukup popular adalah Ranjang Pale'. Itu terkenal hasil perajin Desa Buduran, dan Desa Berbeluk, keduanya Kec. Arosbaya, Kab. Bangkalan. Bila konsumennya merasa tertarik dan berminat untuk membeli, harus datang sendiri ke lokasi pembuatan.

Sebab tidak dijual disembarang tempat, alias harus pesan dulu. Peminat harus datang sendiri alias memesan lewat order yang telah disepakati bersama dengan pengrajin. Baru barang yang diinginkan dikirim ke almat pemesan, tentunya setelah dilakukan pembayaran.

Kegunaan Ranjang Pale', bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat tidur biasa. Keberadaannya sudah ada sejak jaman dulu dan tetap dijaga kelestariannya. Dengan tidak mengubah pernak-pernik ukiran yang telah ditetapkan sebagai sebuah warisan pakem.

“Biasanya pemesannya, orang–orang yang mau meminang seorang gadis. Kebiasaan orang Madura khususnya di desa masih membawa tempat tidur lengkap dengan kasur dan bantalnya dibawa mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Nah dengan membawa ranjang pale', akan meningkatkan gengsi kedua keluarga mempelai. Karena tidak semua orang bisa memesan ranjang ini, karena harganya mahal,” terang Azis warga Buduran.

Jadi tidak semua masyarakat mampu menggunakan Ranjang Pale sebagai barang yang digunakan untuk meminang anak gadis orang. Tergantung dari kekuatan kocek (dana) yang dimiliki dari pihak mempelai pria. Harga sebuah ranjang Pale kelas menengah bisa puluhan juta rupiah. Namun ada juga yang harganya Rp 3,5 juta. Sedangkan harga sebuah lemari berukuran jumbo dan telah di ukir dengan ciri khas Buduran, harganya bisa mencapai Rp 3 juta - Rp.4 juta.

“Orang–orang tertentu yang mempunyai uang lebih yang bisa memesan Ranjang Pale dan lemari ukiran untuk meminang gadis. Tanpa dana yang memadai, masyarakat lebih memilih ranjang dan lemari biasa yang dijual di toko mebeler,” tambah Sidik, pengrajin lainnya.

Bila ingin membuat ranjang Pale' maupun lemari pakaian, desainnya harus mengikuti kebiasaan yang dilakukan secara turun–temurun, dan itu tetap diikuti oleh para pengusungnya. Menurut cerita masyarakat setempat, home industry ranjang Pale, nama besarnya sudah dikenal bukan hanya di Bangkalan tetapi hingga ke kabupaten lainnya di Madura (Kab.Sampang, Pamekasan dan Sumenep).

Pembuatan ranjang Pale’ secara turun-temurun dijadikan gantungan hidup bagi sebagian penekunnya di kedua desa itu. Sudah legenda masyarakat di sana keunikan ranjang Pale sebagai tradisi ‘seserahan’. Tradisi seserahan adalah pelengkap mahar atau barang bawaan dari kaum pria jika hendak melakukan pernikahan dikediaman mempelai wanita.

Camat Arosbaya, Drs.Ahwan Effendi mengatakan menggunakan ranjang Pale dan lemari ukiran produksi Desa Berbeluk dan Buduran sebagai ‘seserahan’. Umumnya lebih banyak dipergunakan masyarakat kelas menengah ke atas. Karena secara tidak langsung telah menunjukan status sosial dari keluarga mempelai pria.

Bahkan tak kurang masyarakat Madura yang sukses meniti kehidupan di negeri orang (merantau di Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali dll), bila putra atau putrinya bertemu jodoh sesama dari Madura, biasanya datang langsung atau memesan Ranjang Pale dan lemari ukiran khas Berbeluk dan Buduran.

“Secara khusus mereka tidak ingin ingin meninggalkan jati dirinya sebagai seorang putra Madura,” ujarnya. (kas)

Sumber: Surabaya Post, Senin, 10 Nopember 2008

Label: , , , ,

Perajin Ukir Tangan Tetap Eksis

Perajin kayu jati ukir tradisional (tangan) di Bangkalan, jumlah cuma hitungan jari. Kebanyakan mereka membuat tempat tidur, lemari, dan perabotan rumah tangga lainnya. Mereka mampu bertahan di tengah kemajuan pembuatan mebeler yang menggunakan peralatan.

SIANG itu lima remaja berusia belasan tahun tengah melakukan pengerjaan pembuatan lemari ukiran. Masing – masing pengrajin mengerjakan sesuai bidangnya. Ada yang memahat kayu dan mengukir, ada juga yang memoles ukiran. Itu kegiatan rutin perajin yang mengandalkan keterampilan tangan di show room Durantique di Jl. Raya Bancaran, Kel.Bancaran, Bangkalan.

"Mereka sedang mengerjakan pesanan konsumen. Konsumen datang ke sini memesan apa yang diinginkan. Bisa lemari, atau kursi, tempat tidur dan lainnya," kata Chaliq, pengusaha kerajinan ukir itu.

Dikatakan, konsumen tinggal datang pesan apa kebutuhannya. Bahan baku berupa kayu jati tidak perlu khawatir karena sudah tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasar. Itu juga terlihat di show room. Selain beberapa hasil karya perajin tampak pula tumpukan yang siap dipoles menjadi barang jadi yang bernilai ekomis tinggi.

"Memang kami hanya menyediakan bahan baku kayu jati. Sehingga harga lemari atau kursi yang kita tawarkan lebih mahal. Meman konsumen yang datang ke kami, adalah kelas menengah ke atas," ujar pengrajin lulusan SMAN 1 Bangkalan ini.

Kenapa membidik konsumen menengah ke atas, menurut Chaliq tidak ingin bersaing dengan para perajin yang sudah ada di tempat kelahirannya. Para perajin lain yang juga mengandalkan pesananan dari konsumen, sudah begitu banyak. Bahan baku kayu yang dipakai mereka beragam, mulai meranti, bengkirai dan kaju asal Kalimantan lainnya.

"Biarlah kami fokus pada kayu jati. Jadi keberadaan kami tidak menggangu rekan–rekan seprofesi lainnya. Toh kita bekerja ini, sama–sama cari makan dengan uang halal. Kalau kita bersaing terlalu ketat, sama–sama mendapatkan kesulitan. Kami cari haluan lain, dengan menggunakan bahan baku khusus jati," ujarnya.

Bahan kayu jati yang dipakai untuk pembuatan kebutuhan interior di rumah tidak ada kesulitan mendapatkannya. Dia sudah membuat jaringan dengan para pemilik pohon kayu jati di desa – desa.

“Selama ini kami mendapatkan kayu jati dari masyarakat di wilayah Galis. Kadang kita yang mencari, atau masyarakat yang menawarkan kalau punya kayu jati. Kita saling tawar – menawar, bila sepakat, kayu di kirim ke sini,” ucapnya.

Dengan bahan baku kayu jati, lanjut dia sudah barang tentu hasil karya kerajinan ukir ini harganya cukup mahal. Harganya jutaan rupiah, tergantung tingkat kesulitan pengerjaan dan besaran bahan baku yang diperlukan. "Harganya bervariasi dari jutaan rupiah hingga puluhan juta. Tergantung bahan baku dan tingkat kesulitan ukiran yang dikerjakan teman–teman," tambah Chaliq.

Meski harga cukup mahal namun cukup banyak pesanan yang masuk. Hampir setiap bulan produksi home industri kerajinan ini bisa mencapai 100 unit guna memenuhi konsumen . "Teman – teman yang bekerja cukup banyak, tergantung pesanan. Semakin banyak pesanan, banyak teman–teman yang diperlukan untuk bekerja. Hasil yang didapat teman–teman tiap bulannya, cukup untuk kebutuhan hidup sehari–hari," tegasnya. “Ya, masih di atas UMK lah," tambahnya.

Di tengah modernisasi, dia tetap menilai prospek kerajinan ukiran kayu ini di masa mendatang masih cukup menjanjikan. Meskipun sekarang jamannya serba instan."Biarlah kita akan terus bertahan dengan menekuni profesi sebagai pengrajin ukiran kayu. Dua tahun ke depan prospeknya masih cerah. Kita juga mendapatkan pesanan dari masyarakat termasuk dari kelembagaan. Jadi tetap kami bisa menikmati pekerjaan ini," ungkapnya.

Kepala Disperindag Bangkalan Drs Geger, MM mengatakan memang tidak cukup banyak perajin kayu ukir tradisional di kabupaten Bangkalan. Namun mereka mampu menghasilkan karya yang bernilai kualitas secara estetika, bahkan berciri khas tersendiri.

Seperti kursi Inlai dari Kec. Tragah, Ranjang Pale’ dari Kec. Arosbaya. "Kursi Inlai dari Tragah, bisa menembus Bali. Hasil karyanya perorangan itu mempunyai ciri khas tersendiri," ujarnya.

Untuk membantu pengembangan jaringan pasar, pihaknya juga tidak segan-segan mendorong pelaku usaha home industri ini, untuk ikut pameran di tingkat lokal atau regional.

"Seperti PRB (Pekan Raya Bangkala) beberapa waktu lalu, mereka ikut tampil. Ini tidak lain untuk lebih mengenalkan pada konsumen," kata Geger. (KASIONO).

Sumber: Surabaya Post, Senin, 10 Nopember 2008

Baca juga:
Ranjang Pale' Dongkrak Gengsi Pengantin

Label: , ,

Waduk Klampis di Desa Kramat Kadungdung

Berpotensi Jadi Area Wisata dan Out Bond

Siapa pun pasti takjub ketika berkunjung ke area wisata Waduk Klampis yang terletak di Dusun Dal-baddung, Desa Kramat, Kecamatan Kadungdung. Sebab, pesona alam yang ada disana cukup menarik perhatian. Sayangnya, keberadaan tebing dan sejuknya suasana pegunungan belum cukup banyak dikenal orang.

AROMA perbukitan semakin menyengat ketika koran ini memasuki area Dusun Dal-Baddung, Desa Kramat, Kecamatan Kadungdung. Lapisan tanah berwarna kecoklatan serta gaya rumah penduduk yang masih terjaga keasliannya, seolah turut menyejukkan pemandangan mata.

Pagi itu merupakan hari yang tepat untuk mengunjungi kondisi area Waduk Klampis. Empat orang pemuda terlihat asing memainkan kail pancing mereka. Meski tahu tidak ada cukup banyak ikan, tawa riang mereka cukup renyah mengisi suasana.

Begitu pula dengan batuan tebing yang mengelilingi waduk. Maklumlah, posisi pintu waduknya memang terlihat membelah tebing. Dari cerita warga sekitar, waduk itu sampai sekarang masih berfungsi. Sayangnya, kedalaman waduk memang sudah terlihat cukup dangkal.

Namun begitu, lokasi waduk tetap menjadi primadoma warga sekitar. Slamet, seorang pemuda desa yang ditemui koran ini mengaku, dia dan teman-temannya sering bermain di lokasi pegunungan waduk. Bahkan hingga saat ini.

Keberadaan tebing yang mengitari sekeliling waduk dianggap sebagai sarana yang cocok sebagai media out bond. "Sebenarnya lokasi disini tidak jauh beda seperti di Sarangan Magetan," ujar Slamet.

Hal senada disampaikan Camat Kedungdung Sapta Nuris Ramlan. "Kalau ada fasilitas yang memadai, lokasi Waduk Klampis ini sangat cocok dijadikan sebagai potensi wisata out bond," ujarnya.

Sayangnya, keinginan tersebut disadari Sapta terkendala oleh kondisi akses jalan. Sebagaimana yang dilalui koran ini kemarin (2/11). Sepanjang pintu masuk ke lokasi waduk tersebut, jalanannya memang terbilang cukup lebar untuk dilalui kendaraan roda empat. Tetapi begitu masuk ke Desa Komis menuju Desa Kramat, kondisi jalannya terlihat semakin mengecil dari kondisi sebelumnya. "Inilah yang menjadi kendala kita," ujarnya.

Untuk itu, Sapta sebelumnya telah mempertemukan kedua pimpinan perangkat desa setempat. "Maksud kami supaya ada kesepakatan dan jalan keluar bersama untuk menanggulangi masalah ini," kata Sapta.

Untungnya, pihak Dinas Praswil Sampang yang bertanggung jawab terhadap fasilitas pelebaran jalan bisa menerima keinginan warga setempat. Namun sayang, keinginan warga tersebut sampai sekarang belum bisa terwujud.

Begitu pula dengan keberadaan Dusun Serean yang ada di sekitar waduk. Secara geografis, dusun ini masuk Kecamatan Kedungdung. Tapi karena terpisah oleh waduk, sebagian besar penduduk setempat harus memutar jalan agar bisa mencapai Kecamatan Kedungdung. "Sebenarnya sudah ada kesepakatan pengadaan speed boat. Tapi, lagi-lagi kesepakatan itu hingga kini belum ada wujudnya," ungkapnya.

Seandainya impian itu menjadi kenyataan, bukan tidak mungkin warga desa setempat bisa dikenal banyak orang. "Nah jika sudah begitu, ini kan juga bisa menambah pendapat asli daerah kita," ungkap Sapta.

Untungnya, sejauh ini masyarakat disana masih bisa bersabar. Anggapan mereka mungkin pemerintah setempat masih memikirkan hal-hal lain yang lebih urgen. Sebagaimana yang diungkap H Imam, perangkat desa setempat. "Kalau boleh jujur sebenarnya kami ingin fasilitas disini juga mendapat perhatian. Tapi kita lihat saja nanti," katanya. (SILVIA RATNA D)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 03 November 2008

Sastra Madura Terancam Terpinggirkan

Keberadaan sastra Madura terancam terpinggirkan dari komunitasnya. Sebab, kebanyakan generasi muda Madura enggan menggali lebih dalam akar sejarah keberadaan sastra Madura. Bahkan, selama ini ada kesan kalangan anak muda Madura meninggalkan sastra tanah kelahirannya sendiri.

Hal itu terungkap saat temu budayawan dengan siswa di halaman SMA Gapura, Kecamatan Gapura, kemarin. D. Zawawi Imron menyatakan, kepedulian terhadap sastra dan Bahasa Madura adalah tanggung jawab semua. Baik pemerintah, budayawan, dan masyarakat, khususnya, generasi muda Madura.

Budayawan ini menandaskan, memajukan bahasa dan sastra Madura adalah dengan memraktikkannya dalam kehidupan setiap harinya. Jika perlu, tingkatan tertinggi bahasa Madura terus dimantapkan.

Dikatakan, perkembangan sastra Madura bisa dilihat dari ketekunan anak Madura menghafal bait-bait pantun khas Madura. Sebab, selama ini keinginan belajar bait-bait pantun (paparegan) sudah mulai pudar. Anak muda Madura lebih tertarik untuk menghafalkan lirik-lirik musik band atau lagu-lagu hits. "Ini tantangan dan harus dipikirkan oleh anak muda Madura," tandasnya. (tur/mat)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 02 November 2008

Label: , , , , ,

Tari Andholanan Bahhong Penuh Mistis

Setelah Mengirim Doa, Penari Tidak Ada yang Pingsan


Kesenian nenek moyang kita memang beragam. Salah satunya hong-bahhong. Berawal dari kebiasaan masyarakat Desa Katol Barat, Kecamatan Geger memuja leluhurnya, kini seniman Bangkalan mengangkat tradisi ini dalam bentuk seni tari berjudul Andholenan Bahhong.

MEMERLUKAN waktu lama untuk bisa menikmati rangkaian gerak tari andholanan bahhong. Dibandingkan tari lainnya yang hanya membutuhkan 5-10 menit, tari ini memerlukan waktu hingga 20 menit. Sejak awal tari dimulai, bulu kuduk kita seakan merinding. Kita serasa berada di tengah-tengah orang yang sedang memuja leluhur mereka di zaman dahulu.

Lalu, keluarlah tujuh orang perempuan cantik yang bergerak tak kalah mistis. Mereka bergerak seakan sedang melakukan penyembahan pada leluhur mereka. Membentuk sebuah lingkaran dengan kedua tangan mereka diacungkan ke atas.

Setelah melakukan beberapa gerakan, datanglah lelaki tinggi besar yang merupakan penjelmaan dari tetua suku adat setempat. Sang tetua mengajak gadis penari untuk atandhang. Para penari mengenakan kacamata hitam, yang menandakan zaman saat itu sedang dalam masa yang kelam.

Setelah sang tetua turun, terdengarlah suara tetabuhan yang mencerminkan kesenian Islam seperti rebana. Bahkan, syair-syair yang awalnya berbau pemujaan leluhur, kini berubah dengan lantunan shalawat pada Nabi Muhammad SAW. Bahkan gerakan tari mereka banyak diilhami dengan tarian saman dari Aceh perlambang tarian bercirikan Islam.

Begitulah rangkaian singkat pagelaran tarian andholanan bahhong. Sebuah gerak tari yang bersumber dari ritual pemujaan pada Yang Maha Kuasa ketika terjadi peralihan dari Hindu kuno pada Islam di daerah puncak Bukit Geger.

Bagi Sudarsono koreografer tari tersebut, ide mengangkat kembali kesenian pemujaan tersebut muncul sejak 1999. Selama dua tahun dia mengkaji segala hal yang ada di dalamnya. Darso - panggilan akrab Sudarso - baru berhasil menciptakan sebuah tari yang bersumber dari hong bahhong pada 2001.

Pimpinan sanggar seni Tarara Bangkalan ini tidak menampik nuansa mistik selama membawakan tari tersebut. Darso menceritakan, tari andholenan bahhong pertama kali ditampilkan pada sebuah festival di Malang mewakili Kabupaten Bangkalan.

"Serem. Pemain kami semuanya sakit. Penabuh gendang malah tangannya mendadak kram. Kami pun paksakan tampil apa adanya. Saat tampil sebuah sosok tinggi besar seakan hadir di tengah kami menikmati tarian itu," kenangnya.

Bukan hanya itu, sepulang dari Malang, Darso dua kali berturut-turut mengalami kecelakaan. Namun dia tetap tidak percaya ketika beberapa seniornya mengatakan tari andholenan bahhong terlalu berbahaya. Dia pun kembali menampilkannya pada sebuah acara di Pendapa Bangkalan. "Namun setelah tampil, penari kami pingsan tanpa sebab. Pulangnya saya kembali kecelakaan," jelasnya.

Akhirnya Darso memutuskan menghentikan anak didiknya menarikan tarian sakral tersebut. Namun, pikirannya kembali terbuka pada awal 2008. "Setelah saya pikir, sebagai umat Islam kenapa saya harus takut pada hal seperti itu. Saya takut hanya kepada Allah," tegasnya.

Darso kembali memberanikan diri menampilkan tarian andholanan bahhong pada peringatan HUT RI ke-63 di Pendapa Agung Bangkalan. Walaupun tampil dengan luar biasa, namun kembali dua penarinya jatuh pingsan seakan kesurupan. "Setelah itu, saya mendapatkan masukan agar menyempatkan diri mengirimkan doa pada Buju' Massah, generasi pelestari kesenian bahhong," katanya.

Terakhir, Darso menampilkan tarian andholanan bahhong pada acara semalam di Madura akhir pekan lalu di Pamekasan. Dia menyempatkan diri mengirimkan Alfatihah pada Buju' Massah dan berdoa kepada Allah SWT untuk diberikan keselamatan. "Saya bersyukur penampilan kami di Pamekasan tidak menemukan kendala apa pun," pungkasnya. (A. MUSTAIN SALEH)

Sumber: Jawa Pos, 30 Oktober 2008

Baca juga:
Seni Tari Bahhong

Ribuan Warga Saksikan Sapi Sonok

Ribuan pasang mata tertuju pada kontes sapi hias alias sapi sonok di halaman Bakorwil IV Pamekasan kemarin. Mereka terlihat asyik dengan pertunjukan atrakrif budaya asli Madura yang memang terkenal memiliki keunikan tersebut.

Warga yang datang untuk menyaksikan kontes sapi sono ini bukan hanya dari Pamekasan. Mereka banyak yang datang dari luar Pamekasan, seperti Sumenep, Sampang hingga Bangkalan.

Selain itu, banyak juga warga pendatang yang berasal dari luar Madura. Umumnya mereka ini adalah turis lokal yang memang hadir untuk melihat dari dekat sapi hias tersebt.

Satu per satu sapi sonok berjalan menuju "gerbang" kontes. Musik khas Madura saronen mengiringi keberangkatan dua pasang sapi menuju finish. Nah, selama perjalanan menuju finish terlihat para pengiring begitu atraktif. Ada yang menari, ada juga yang sambil menembang.

Berbeda dengan sapi kerapan, sapi-sapi ini tidak hanya dimanjakan dengan perawatan. Melainkan, juga harus rajin dengan latihan. Pelatih yang juga disebut pawang ini mengajarkan cara berjalan dan cara menjejakan kaki depan keatas sebuah kayu di "gerbang" kontes.

Inilah sebabnya mengapa diberi nama sapi sonok. Ada yang menyebut penggunaan istilah sonok berasal dari Bahasa Madura sokonah nungkok atau kakinya naik. Dan, pada kontes sapi sonok memang kaki sapi harus naik bersamaan pada balok kayu di "gerbang" kontes.

Pemilik sapi sonok, Zain, asal Pamekasan mengatakan, setiap pasangan sapi sonok akan melewati lapangan yang panjangnya 180 meter. Untuk putaran pertama, arena hanya dilalui oleh dua pasangan sapi sonok dan pawangnya.

"Sapi-sapi betina ini harus berjalan lurus ke depan dalam waktu 15 menit. Jika sapi menginjak tali pembatas maka akan ada pengurangan nilai sebanyak 5 poin. Di ujung lintasan, sapi-sapi betina yang terlatih baik ini kelihatan berhati-hati saat menaikkan kaki depan," katanya.

Berbeda dengan kontes pada umumnya, pada kontes sapi sonok semua kontestannya memeroleh piala penghargaan. Itu sebagai apresiasi terhadap pemilik sapi yang sudah merawat dan memelihara sapi-sapinya dengan baik sambil menjaga tradisi budaya. (c9/zid)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 Oktober 2008

Label:

Sepuluh Kesenian Terancam Punah

Pemkab dan masyarakat pemerhati seni tradisi perlu mawas diri. Pasalnya, 10 kesenian tradisional Sampang terancam punah. Penyebabnya antara lain pergeseran zaman dan minimnya regenerasi.

Di antara 10 kesenian yang kini menjadi binaan Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Sampang adalah saronen, ghumbek, macopat. Juga beberapa seni lainnya yang sudah lama ditinggalkan empunya dibina agar tidak punah.

"Sepuluh kesenian tersebut sengaja kita bidik, karena hampir semua daerah yang identik sebagai pemilik kesenian tersebut kehilangan kader," terang Plt Kepala Dinas P dan K Heri Purnomo melalui Kepala Subdin Kebudayaan R Andry Prawita.

Selain mengakui minimnya regenerasi, Andry juga menilai para tetua yang mengetahui persis kesenian tersebut perlahan sudah meninggal dunia. "Kita sangat kesulitan mengembangkan seni-seni tertentu, karena para tetua yang selama ini turut melestarikan sudah tiada tanpa melakukan regenerasi," terangnya.

Hanya, hingga kini subdin kebudayaan belum menginventarisasi dan memberikan hak paten terhadap sejumlah kesenian yang dimiliki Sampang. Andry khawatir terjadi pengakuan oleh kabupaten lainnya.

"Hingga kini kami memang belum memberikan hak paten dan memiliki website untuk menginventarisasi semua kesenian yang ada di Sampang. Kelemahannya bisa saja kesenian itu diklaim kabupaten lainnya," tegasnya.

Meski demikian, pihaknya kini tengah mengupayakan beberapa kesenian yang berpotensi untuk terus dilestarikan, meski terjadi pergeseran zaman. Salah satunya adalah musik Daul Combo yang kini tren di masyarakat dan rawan diincar kabupaten lain untuk dijiplak.

"Kita sudah bentuk paguyupan untuk musik tersebut. Daul Combo hampir dimiliki semua kebupaten di Madura, Tapi yang pasti, daul combo adalah musik khas masyarakat Sampang," tandas Andry. (ri/mat)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 27 Oktober 2008

Festival Musik Tongtong

Hujan, Penonton Membludak

Rangkaian peringatan Hari Jadi Sumenep ke-739 dimeriahkan Festival Musik Tongtong. Meski sempat turun hujan kemarin malam, festival tetap berlangsung.

Sebanyak 33 kelompok musik Tongtong dari beberapa kabupaten unjuk kebolehan. Ribuan warga memadati jalan protokol yang akan dilalui musik Tongtong atau yang dikenal dengan nama Ul-Daul.

Musik Tongtong memang cukup pesat berkembang di Madura. Musik ini dimainkan belasan orang. Alat musiknya bukan hanya tongtong, tapi dipadu dengan alat musik tradisional lainnya. Seperti, gendang, saronen, dan kelenengan.

Bahkan, ada grup yang menambah dengan alat musik modern seperti terompet. Mereka memainkan musik itu di atas sasis truk yang dihiasi dengan berbagai macam dekorasi, seperti kereta kuda.

Tapi, hiasan dan dekorasi bukan satu-satunya penilaian untuk jadi juara. Kekompakan dan kreasi musik merupakan penilaian utama untuk merebut tropi bergilir Bupati Sumenep.

Agenda tahunan ini kemarin malam dilepas Bupati Sumenep Moh. Ramdlan Siraj di depan GOR A. Yani Panglegur. Selanjutnya, peserta berjalan menempuh jarak 3 km.

Festival ini menyedot perhatian warga. Sepanjang rute yang dilewati kelompok musik Tongtong dari GOR menuju Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Panglima Sudirman, dan hingga finish di depan Masjid Agung penuh sesak dengan penonton.

Sekretaris Panitia Pelaksana Mohammad Ridwan SE mengatakan, Festival Musik Tongtong merupakan kalender tahunan untuk memeriahkan Hari Jadi Sumenep. "Alhamdulillah, meski sempat hujan, kegiatan tetap berjalan dan penonton membludak," katanya.

Selain memerebutkan tropi bergilir Bupati Sumenep, panitia menyediakan hadiah berupa uang pembinaan dengan total Rp 38 juta. "Kegiatan ini merupakan salah satu sarana untuk melestarikan kesenian Madura," kata Ridwan.

Dari hasil penilaian juri, kelompok musik Tongtong Putra Angin Ribut dari Kecamatan Pasongsongan, Sumenep, berhasil menjadi juara umum. (zr/mat)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 27 Oktober 2008

Label: , ,