Cinta Sapi Sonok

BUPATI Pamekasan Drs KH Kholilurrahman SH akhirnya harus mengikuti arus budaya warganya. Pada saat warga Pamekasan tengah keranjingan dengan Sapi Sonok, maka pengusaha yang berlatar belakang kiai ini juga merasa perlu mengikuti kesenangan warganya.

Ya, dia akhirnya juga memelihara Sapi Sonok. “Sapi Sonok selain menjadi salah satu potensi budaya Pamekasan, juga menjadi salah satu potensi ekonomi yang menggiurkan,” kata Bupati Kholil. “Bahkan Sapi Sonok yang berkualitas harganya sangat mahal. Bisa mencapai ratusan juta per pasangnya,” tambahnya.

Sejauh ini keberadaan Sapi Sonok telah banyak menguntungkan masyarakat Pamekasan. Bahkan karena sapi jenis itu, Bupati Kholil mendapat penghargaan sebagai kepala daerah yang peduli pada pengembangan sektor pariwisata dari Gubernur Jatim beberapa waktu lalu.

“Bukan hanya saya pribadi saja yang harus punya Sapi Sonok, tapi saya kira rekan rekan pejabat lainnya sangat tepat jika memiliki simpanan dana untuk dibelikan Sapi Sonok. Ini sebuah potensi budaya khas Madura yang sekaligus potensi ekonomi yang sangat menggiurkan, karena harganya yang sangat bagus,” ajaknya.

Alasan lainnya, kesenangannya pada sapi sonok ini, adalah sebagai kritik untuk menggugah kesadaran sebagian pemilik sapi kerapan yang setiap kali ada lomba atau kerapan sapi selalu menyiksa sapinya dengan melukai sapi agar lari kencang.

Menurut Bupati Kholil, Kerapan Sapi telah menjadi budaya Madura yang telah mengglobal. Namun jika pada pelaksanaan kerapan banyak aspek penganiayaan pada sapi, misalnya memecut sapi dengan kayu yang ada pakunya agar larinya cepat saat di kerap, maka itu penyiksan. “Itu harus dihindari,” ujarnya.

Bupati mengaku mendapat saran dari sesepuh dan perantau asal Pamekasan yang sukses di luar daerah. Mereka meminta Bupati Kholil agar menjaga dan jangan sampai Kerapan Sapi di Madura dikotori dengan penyiksaan memecut sapi dengan paku pada saat dikerap. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Selasa, 3 Nopember 2009

Label: , ,

Ribuan Warga Saksikan Sapi Sonok

Ribuan pasang mata tertuju pada kontes sapi hias alias sapi sonok di halaman Bakorwil IV Pamekasan kemarin. Mereka terlihat asyik dengan pertunjukan atrakrif budaya asli Madura yang memang terkenal memiliki keunikan tersebut.

Warga yang datang untuk menyaksikan kontes sapi sono ini bukan hanya dari Pamekasan. Mereka banyak yang datang dari luar Pamekasan, seperti Sumenep, Sampang hingga Bangkalan.

Selain itu, banyak juga warga pendatang yang berasal dari luar Madura. Umumnya mereka ini adalah turis lokal yang memang hadir untuk melihat dari dekat sapi hias tersebt.

Satu per satu sapi sonok berjalan menuju "gerbang" kontes. Musik khas Madura saronen mengiringi keberangkatan dua pasang sapi menuju finish. Nah, selama perjalanan menuju finish terlihat para pengiring begitu atraktif. Ada yang menari, ada juga yang sambil menembang.

Berbeda dengan sapi kerapan, sapi-sapi ini tidak hanya dimanjakan dengan perawatan. Melainkan, juga harus rajin dengan latihan. Pelatih yang juga disebut pawang ini mengajarkan cara berjalan dan cara menjejakan kaki depan keatas sebuah kayu di "gerbang" kontes.

Inilah sebabnya mengapa diberi nama sapi sonok. Ada yang menyebut penggunaan istilah sonok berasal dari Bahasa Madura sokonah nungkok atau kakinya naik. Dan, pada kontes sapi sonok memang kaki sapi harus naik bersamaan pada balok kayu di "gerbang" kontes.

Pemilik sapi sonok, Zain, asal Pamekasan mengatakan, setiap pasangan sapi sonok akan melewati lapangan yang panjangnya 180 meter. Untuk putaran pertama, arena hanya dilalui oleh dua pasangan sapi sonok dan pawangnya.

"Sapi-sapi betina ini harus berjalan lurus ke depan dalam waktu 15 menit. Jika sapi menginjak tali pembatas maka akan ada pengurangan nilai sebanyak 5 poin. Di ujung lintasan, sapi-sapi betina yang terlatih baik ini kelihatan berhati-hati saat menaikkan kaki depan," katanya.

Berbeda dengan kontes pada umumnya, pada kontes sapi sonok semua kontestannya memeroleh piala penghargaan. Itu sebagai apresiasi terhadap pemilik sapi yang sudah merawat dan memelihara sapi-sapinya dengan baik sambil menjaga tradisi budaya. (c9/zid)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 26 Oktober 2008

Label: