Ada Persamaan antara Bali dan Madura

MAYORITAS masyarakat Bali beragama Hindu, mayoritas masyarakat Madura beragama Islam. Itulah dasar kesamaan jika membandingkan masyarakat Pulau Bali dengan Pulau Madura. Hanya, ada sedikit perbedaan jika dipandang dengan kacamata keterbukaan terhadap pelibatan orang maupun budaya dari luar.

Sebagai contoh, masyarakat Bali tetap adem ayem dan tetap pada pendirian agamanya meski budaya lain masuk berduyun-duyun. Batasan masyarakat Bali terhadap kebudayaan cukup kuat. Bahkan, mereka kerap kali membuka pintu untuk orang asing datang ke sana untuk datang ke acara atau ritual-ritual religiusnya. Konsistensi masyarakat pun akhirnya tumbuh untuk tetap berpegang teguh pada kebudayaan dan pola keyakinannya pada dewa-dewa.

"Saya sangat menyayangkan sekali Madura tidak seterbuka masyarakat Bali. Hasilnya bukan mereka yang menyedot orang luar untuk masuk ke lingkup kebudayaan, tetapi justru tersedot keluar," tutur Ifan.

Dia memaparkan, di Bali orang punya keyakinan yang kuat bahwa melibatkan orang asing akan membuat mereka percaya bahwa yang dianut masyarakat setempat adalah benar adanya. Sehingga, orang luar pun akan membatasi diri dan tak akan mengganggu pola keyakinan yang sudah mapan tersebut. Sebaliknya, rasa ingin tahu orang asing pun mereka manfaatkan dengan melibatkan mereka dalam kegiatan-kegiatan yang berbau ritual keagamaan.

"Maksud orang Bali bukan kemudian meremehkan atau membuat upacara adat mereka menjadi sesuatu yang profan (pertunjukan belaka, Red). Tetapi, mengajak orang asing untuk mengerti tentang apa maksud mereka melakukan itu. Dengan begitu, kemudian muncul kesepakatan tidak tertulis untuk bersama-sama mengamankan budaya," terang anak kedua dari 4 bersaudara ini.

Apa Madura juga bisa seperti Bali? Berdasarkan kesamaan warga mayoritasnya, jelas Ifan, Madura sangat berpotensi untuk berjalan seperti Bali. Dengan demikian, para pemuka agama tak perlu susah payah memertahankan budaya religi dengan jerih payahnya sendiri. Bantuan untuk memertahankan budaya dan religi akan datang sendiri dari kesadaran masyarakat. Bahkan, orang asing yang datang ke Madura pun juga akan membangun kesadaran itu begitu menginjakkan kakinya di Madura.

"Syaratnya jangan terlalu rapat (tertutup, Red). Terlalu rapat justru akan membuat siapa pun yang ada di dalamnya merasa kepanasan dan ingin keluar. Biarkan udara keluar masuk dengan alami dengan batasan-batasan yang kokoh," katanya menggunakan bahasa perumpamaan. Caranya, lanjut alumnus SMAN 3 Pamekasan ini, dengan menghadirkan atmosfir yang konsisten.

Berkaitan dengan hal itu, dia mengungkapkan pengalamannya menjadi juri di lomba teater di Madura. Dalam lomba tersebut, kebanyakan peserta membawakan topik teater yang berbau religi. Terutama yang dari pesantren dan sekolah-sekolah berbasis agama Islam lainnya. "Artinya, teater pun kemudian diterima jika nuansanya Islam. Padahal, kalau mau teliti teater itu banyak melibatkan pemikiran-pemikiran Eropa yang cenderung sekuler. Ini sudah menjadi pertanda bahwa apa pun akan diterima Madura asal memiliki kedekatan dengan masyarakatnya," terangnya.

Dia berharap, ke depan Madura bisa lebih terbuka dalam berbagai hal, terutama bidang seni dan budaya. Sehingga, tidak ada lagi seniman dan budayawan Madura yang justru besar dan berkembang bukan di tanah kelahirannya sendiri. "Tentunya keterbukaan itu tidak mudah karena mungkin sedah terlanjur rapat. Tapi saya harap bisa. Kan sayang kalau orang-orang kita merasa lebih bebas berekspresi di luar Madura," pungkasnya. (nra/ed)

Sumber: Jawa Pos, Selasa, 18 November 2008

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda