Ter-ater, Untuk Famili, Guru "Ngaji", dan Kyai

Kompas/Agnes Rita Sulistyawaty

Sore itu suasana di desa Gagah kecamatan Kadur, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, terlihat berbeda dengan hari-hari biasanya. Hilir mudik kaum perempuan desa, baik tua, muda, bahkan hingga anak-anak, membawa makanan ke rumah-rumah warga, menjadi pemandangan yang dominan di desa kecil yang hanya berpenduduk 785 orang itu.

"Assalamu’alaikum, ini saya disuruh ibu mengantar rebba, bhu. Ibu tidak bisa mengantar sendiri ke sini katanya mohon maaf, karena sedang banyak pekerjaan di rumah," sapa Ita, begitu sampai di sebuah rumah yang memiliki halaman luas di dusun Daporah desa setempat.

Begitu barang bawaannya diterima, gadis desa yang memiliki nama lengkap Diah Puspita Ningrum itu langsung berpamitan pulang kepada pemilik rumah, Sahama yang tak lain masih memiliki hubungan familinya dengannya.

"Saya mau cepet-cepet pulang saja, soalnya masih disuruh mengantar ke rumah rumah tetangga di sana," kata gadis yang masih berusia sekitar 13 tahun itu sambil berpamitan pulang.

Bagi warga Madura, rebba merupakan sebuah istilah pemberian makanan kepada para tetangga, kerabat ataupun sanak famili yang diberikan pada hari-hari tertentu dengan maksud untuk berbagi rezeki.

Menurut tokoh masyarakat setempat Ahmad Baihaqi, bagi keluarga atau rumah tangga yang menerima pemberian makanan dari tetangga atau familinya, mareka berkewajiban pula memberikan makanan.

"Tapi tidak harus waktu itu juga. Bisa saja diberikan keesokan harinya atau pada hari-hari lain yang dianggap sebagai hari mustajabah. Misalnya malam Jumat," kata Baihaqi.

Mengantar rebba atau makanan yang oleh warga Madura disebut ter-ater itu tidak hanya dilakukan kepada para kerabat, dan sanak famili saja, tapi juga kepada sesepuh desa, guru ngaji dan pengasuh pondok pesantren atau kyai.

Ter-ater untuk kyai pengasuh pondok pesantren, bukan hanya berupa makanan, tapi bisa juga berupa hasil bumi. Seperti jagung, padi, ketela pohon, dan berbagai jenis buah-buahan yang menjadi hasil pertanian mereka.

"Setiap panen, baik panen jagung ataupun padi, saya pasti menyisihkan khusus untuk kyai dan guru ngaji anak saya," kata Suhana (49) warga desa Kertagena Tengah kecamatan Kadur Pamekasan.

Di bulan suci Ramadan, tradisi saling mengantar makanan, atau ter-ater biasanya pada malam pertama puasa dan pertengahan bulan puasa, yakni mulai tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri.

Pada malam pertama Ramadan dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan dalam menyambut datangnya bulan yang penuh berkah dan ampunan Allah. Sedang pada tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri diharapkan akan mendapat berkah malam lailatur-qodar, dimana sebagian ulama memercayai bahwa malam lailatul-qodar mulai tanggal 17 Ramadan hingga hari raya Idulfitri pada malam ganjil. Seperti malam tanggal 17, 19, 21, tanggal 23, 25, 27 hingga 29 Ramadan.

Sementara di hari raya Idulfitri, tradisi ter-ater rebba yang dilakukan, sebagai bentuk rasa syukur atas pelaksanaan ibadah puasa selama satu bulan penuh.

Pererat Persaudaraan

Dosen bahasa Indonesia dan sastra Universitas Madura Drs Kholifaturrahman, M.Pd menyatakan, selain merupakan tradisi yang sudah terjadi sejak dulu, tradisi ter-ater sebenarnya merupakan salah satu bentuk dalam berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di Madura.

Tradisi semacam ini memang masih dilakukan masyarakat di Madura termasuk Pamekasan. Tapi akhir-akhir ini terlihat sudah mulai berkurang. Kecendrungan pola hidup modern dengan berbagai fasilitas yang tersedia, seperti HP dan telepon menurut Khalifaturrahman merupakan salah satu penyebabnya.

"Warga desa yang masih menjalankan tradisi asli Madura ini, sudah mulai berkurang. Meskipun ada tapi nuansanya sudah jauh berbeda dengan masa dulu," kata Khalifaturrahman, yang juga kepala seksi kebudayaan dinas P dan K kabupaten Pamekasan.

Sebenarnya menurut Khalifaturrahman, tradisi Madura yang memiliki nilai positif dan mengandung nilai-nilai luhur budaya Madura, bukan hanya tradisi ter-ater rebba sebagaimana pada setiap malam Jumat, dan hari-hari baik dalam pandangan agama Islam, tapi juga banyak tradisi lain yang saat ini sudah jarang dilakukan.

"Ini perlu peran aktif lembaga formal yang ada di Madura. Sebab masuknya modernisasi ke Madura nantinya sedikit banyak tentu akan berpengaruh terhadap keaslian budaya dan tradisi Madura," kata Khalifaturrahman menjelaskan.(ANT)

Sumber: Kompas, Minggu, 14 September 2008

Label: ,