Damai Natal di Madura

Di daerah rawan, perayaan Natal masih dibayangi munculnya aksi kekerasan, tapi di Pamekasan tenang-tenang saja.

Meskipun perayaan Natal belakangan ini aman tapi penjagaan ketat oleh polisi masih dilakukan. Terutama di daerah konflik seperti Maluku dan Palu. Di Saparua, Maluku Tengah, bahkan remaja masjid di Desa Sirisori Islam, membantu mengamankan perayaan Natal di desa tetangganya Sirisori Kristen.

Di Madura yang tradisi Islamnya begitu kuat, ketegangan suasana Natal itu tidak ada. Gereja tertua di Pamekasan di Jl Jokotole ini, pagi tadi belum tampak kesibukan Natal kecuali pengantar parsel memasuki areal itu.

Gereja ini dikenal masyarakat sebagai gereja jam-ajaman (ayam-ayaman, Red) dikelola oleh Jamaat GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) Mahkota Hayat. Disebut jam-ajaman karena di puncak atap patung seekor ayam jago.

Sedangkan di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Pasamuan Sumberpakem Kecamatan Sukowono, Jember, misa Natal nanti malam sesuai tradisi membacakan Injil dan puji-pujian berbahasa Madura dipimpin pendeta Sapto Wardoyo. Ada 200 anggota jamaah gereja ini.

Bagi warga setempat suasana puji-pujian dengan bahasa Madura itu sudah biasa tapi untuk warga luar itu menjadi keunikan. GKJW Sumberpakem ini sudah menerjemahkan Injil dan puji-pujian sejak 1882 dipelopori oleh misionaris Belanda, Dr Esyer.

Sedangkan di Pamekasan, gereja tua itu dibangun juga pada 1800-an peninggalan misionaris Belanda yang kemudian dihibahkan pada GPIB pada 1948.

Pemimpin gereja jem-ajeman, Pendeta James Mewengkang, menuturkan, tak ada perayaan yang mencolok pada Natal tahun ini kecuali ritual. Kegiatan rutin itu nanti malam dan besok. “Acara besok dikenal dengan perayaan natal diisi peribadatan natal. Lalu pada 26 Desember ada kegiatan ibadah Natal kedua, biasanya lebih diisi dengan kegiatan ibadah pembaptisan,” ujar James yang asli dari Sulawesi Utara ini.

Dia menuturkan, sekalipun ini gereja tertua di Madura, namun jamaah gereja Mahkota Hayat sekitar 100 orang. Itu pun kebanyakan warga pendatang, bukan orang Madura yang mendapat tugas di sini seperti PNS, guru, wiraswasta, dokter, dosen, pegawai perusahaan garam.

“Kami kebetulan jamaat pendatang, ada penduduk asli hanya kurang lebih tiga kepala keluarga. Jamaah yang terdaftar 35 KK kalau dicacah kurang lebih 100 jiwa yang aktif beribadah di sini,” katanya.

Di Pamekasan ini, kata dia, hanya ada tiga gereja protestan. Cuma yang cukup lama dan tertua adalah gereja jem ajeman ini. “Ketika muncul aliran gereja lain yang datang ke Pamekasan ada umat yang tertarik dengan mereka itu, tapi sejauh ini tidak ada masalah, “ tambah James yang sudah bertugas di sini dua tahun.

Pada Natal 2008 ini antar gereja di Madura pun tidak menggelar perayaan natal bersama seperti dilakukan sebelumnya. ”Rencananya kegiatan bersama nanti akan dikonsentrasikan pada tahun 2010 nanti akan ada pertemuan hamba hamba tuhan secara besar besaran,” katanya.

Sementara Pendeta GKJW Sumberpakem Sapto Wardoyo menceritakan, penggunaan puji-pujian dengan menggunakan bahasa Madura di gereja tersebut sudah dilakukan semenjak tahun 1882 silam.

Gereja lain yang juga menggunakan bahasa Madura ada di daerah Slateng dan Sumberjambe.

Saat itu di daerah Jember mayoritas daerah perkebunan yang dikelola oleh bangsa Belanda. Agar bisa lebih mudah mengajak warga Madura masuk beragama Kristen, maka digunakanlah metode penyesuaian dalam menyebarkan agama Kriseten. Salah satunya menggunakan bahasa Madura.

“Kitab Injil berbahasa Madura ini dicetak di Belanda pada tahun 1882 dan merupakan satu-satunya di Indonesia. Bahkan kitab serupa di daerah Madura sepertinya tidak memiliki,” kata Sapto Wardoyo.

Beberapa baris pujian dari Kitab Injil ayat nomor 165 berjudul Ayem Tentrem itu di antaranya: Sadaja pekker klaban krenana, Kagem Gusti se sabhar tor tresna, Se nyapura sadaja dusa, Marengana o dhi se samporna, E pojia Gusti Alla Rama…

Selain berbahasa Madura, dalam Kitab Injil itu juga termuat sejumlah gambar-gambar yang menceritakan kehidupan umat Kristen masa lalu.

Sapto menceritakan, perintisan Injil berbahasa Madura bersamaan dengan dibangunnya gereja oleh Pendeta Esyer.

“Dulu di Gereja Madura Kabupaten Bondowoso pernah menggunakan bahasa Madura, tapi sekarang tidak lagi,” ujar Sapto. (masdawi dahlan)

Sumber: Surabaya Post, Rabu, 24 Desember 2008

Label: , ,

1 Komentar:

Pada 1 Mei 2013 pukul 18.29 , Anonymous Anonim mengatakan...

trimakasih atas infonya, GBU

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda