Mengintip Kerajinan Ranjang Pale'
Satu-satunya di Madura

'Ban-Giban' Buat Mempelai Wanita



Bagi sebagian masyarakat desa di Madura, kebiasaan membawa ban-giban (oleh-oleh, Red) buat pihak mempelai wanita telah mentradisi. Mulai dari kosmetik, pakaian, bantal, tikar, makanan, kue, dan tak jarang juga membawa ranjang pale'. Ternyata, produsen ranjang pale' itu kini banyak bertebaran di Kota Sampang. Bagaimana sesungguhnya seluk beluk para pengrajin dalam membikin ranjang pale'?

Oleh MOH. ANSHORI

Siapa menyangka bahwa produsen ranjang pale' di Kota Sampang merupakan satu-satunya produsen di Madura. Bila Anda berkunjung ke Kota Sampang, disepanjang kawasan stasiun lama-dekat terminal sampai Jalan Kasenih terlihat berderet toko maupun produsen ranjang tersebut. Ada sekitar tiga puluhan toko dan produsen yang memasarkan ranjang pale' tersebut.

Ranjang yang semua bagiannya terbuat dari bahan kayu tersebut, sepintas lalu memang kelihatan artistik dan kuno.

"Ranjang pale' ini memang mirip dengan ranjang-ranjang kayu yang ada di masa kerajaan kuno dimasa lalu. Saya dulu pernah melihat ranjang sejenis ini di museum. Tetapi, sekarang justru dipakai oleh masyarakat di pelosok desa," kata Syaiful seorang pengrajin.

Ranjang pale' tersebut rata-rata memiliki panjang 3 meter, lebar 1,5 meter dan tinggi 2 meter. Pembeli bisa mendapatkan berbagai ragam model sesuai dengan pesanan. Ada pagaran (batas penghalang) motif gunung, dan ada juga yang bermotifkan tumpang. Ranjang semakin antik, karena selain dipolitur juga beberapa bagiannya dicat dengan warna yang mencolok.

Yang lebih menarik, ternyata bahan baku yang dipakai tidak berasal dari Kayu Jati ataupun Meranti, tetapi dari Kayu Akasia. Padahal, selama ini Kayu Akasia hanya dijadikan kayu bakar. Dengan polesan keahlian para pengrajin, Kayu Akasia kini menjadi lebih bernilai.

"Bahan kayunya dari Akasia mas. Pertama kali banyak yang heran kok Kayu Akasia dibuat ranjang, tetapi belakangan jadi biasa. Dan nyatanya terbukti, Kayu akasia lebih tahan lama dan murah harganya," kata Muhammad Asy'ari pengarajin yang lain.

Menurut pengakuan H. Bahruddin, 76 tahun, salah seorang yang lama bergelut dalam pembuatan ranjang ini, pertama kali pada zaman Belanda ranjang seperti ini dibeli dari Probolinggo. Atas inisiatif pengrajin di Sampang, lanjutnya, ranjang tersebut dikembangkan di daerah ini. Walhasil, banyak peminat dari desa di Kabupaten Sampang. Bahkan, menurutnya, peminat juga berdatangan dari luar Sampang. Misalnya, dari Kecamatan Tanah Merah, Sepuluh, Kwanyar Bangkalan dan Kecamatan Pagentenan, Pakong Pamekasan

Dijelaskannya, pembuatan ranjang pale' tidaklah rumit dan lama. Untuk menyelesaikan satu buah ranjang, hanya dibutuhkan waktu satu minggu. Pembuatannya sendiri ada yang menggunakan ukir dengan tangan juga pakai mesin. Khusus, ranjang pale' yang asli, hanya bisa diukir dengan tangan. Sementara untuk ranjang pale yang telah dimodifikasi, menggunakan mesin bubut.

Biasanya, pasaran ranjang ini membludak manakala lagi musim orang hajatan pernikahan atau selesai masa panen.

"Wah, kalau lagi musim mantenan, toko kami ini ramai sekali. Yah, kebanyakan mereka peruntukkan sebagai ban-giban untuk mempelai wanita. Harganya sendiri bervariasi, mulai dari Rp 450.000 sampai Rp 1 juta lebih. Tergantung model dan situasi pasarnya," aku Asy'ari. *

Sumber: Radar Madura, 29/02/2011

Label: , , , ,

Ranjang Pale' Dongkrak
Gengsi Pengantin

Ukiran kayu Jepara, memang sudah lebih dulu dikenal luas hingga luar negeri. Namun Bangkalan juga mempunyai karya serupa yang tidak kalah kelasnya, meski baru sebatas di pasar lokal dan regional. Meski begitu karya tangan ini kepopulerannya dikalangan masyarakat Bangkalan, Madura, tidak pernah luntur.

Salah satunya adalah hasil karya perajin yang cukup popular adalah Ranjang Pale'. Itu terkenal hasil perajin Desa Buduran, dan Desa Berbeluk, keduanya Kec. Arosbaya, Kab. Bangkalan. Bila konsumennya merasa tertarik dan berminat untuk membeli, harus datang sendiri ke lokasi pembuatan.

Sebab tidak dijual disembarang tempat, alias harus pesan dulu. Peminat harus datang sendiri alias memesan lewat order yang telah disepakati bersama dengan pengrajin. Baru barang yang diinginkan dikirim ke almat pemesan, tentunya setelah dilakukan pembayaran.

Kegunaan Ranjang Pale', bukan hanya sekedar berfungsi sebagai tempat tidur biasa. Keberadaannya sudah ada sejak jaman dulu dan tetap dijaga kelestariannya. Dengan tidak mengubah pernak-pernik ukiran yang telah ditetapkan sebagai sebuah warisan pakem.

“Biasanya pemesannya, orang–orang yang mau meminang seorang gadis. Kebiasaan orang Madura khususnya di desa masih membawa tempat tidur lengkap dengan kasur dan bantalnya dibawa mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Nah dengan membawa ranjang pale', akan meningkatkan gengsi kedua keluarga mempelai. Karena tidak semua orang bisa memesan ranjang ini, karena harganya mahal,” terang Azis warga Buduran.

Jadi tidak semua masyarakat mampu menggunakan Ranjang Pale sebagai barang yang digunakan untuk meminang anak gadis orang. Tergantung dari kekuatan kocek (dana) yang dimiliki dari pihak mempelai pria. Harga sebuah ranjang Pale kelas menengah bisa puluhan juta rupiah. Namun ada juga yang harganya Rp 3,5 juta. Sedangkan harga sebuah lemari berukuran jumbo dan telah di ukir dengan ciri khas Buduran, harganya bisa mencapai Rp 3 juta - Rp.4 juta.

“Orang–orang tertentu yang mempunyai uang lebih yang bisa memesan Ranjang Pale dan lemari ukiran untuk meminang gadis. Tanpa dana yang memadai, masyarakat lebih memilih ranjang dan lemari biasa yang dijual di toko mebeler,” tambah Sidik, pengrajin lainnya.

Bila ingin membuat ranjang Pale' maupun lemari pakaian, desainnya harus mengikuti kebiasaan yang dilakukan secara turun–temurun, dan itu tetap diikuti oleh para pengusungnya. Menurut cerita masyarakat setempat, home industry ranjang Pale, nama besarnya sudah dikenal bukan hanya di Bangkalan tetapi hingga ke kabupaten lainnya di Madura (Kab.Sampang, Pamekasan dan Sumenep).

Pembuatan ranjang Pale’ secara turun-temurun dijadikan gantungan hidup bagi sebagian penekunnya di kedua desa itu. Sudah legenda masyarakat di sana keunikan ranjang Pale sebagai tradisi ‘seserahan’. Tradisi seserahan adalah pelengkap mahar atau barang bawaan dari kaum pria jika hendak melakukan pernikahan dikediaman mempelai wanita.

Camat Arosbaya, Drs.Ahwan Effendi mengatakan menggunakan ranjang Pale dan lemari ukiran produksi Desa Berbeluk dan Buduran sebagai ‘seserahan’. Umumnya lebih banyak dipergunakan masyarakat kelas menengah ke atas. Karena secara tidak langsung telah menunjukan status sosial dari keluarga mempelai pria.

Bahkan tak kurang masyarakat Madura yang sukses meniti kehidupan di negeri orang (merantau di Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali dll), bila putra atau putrinya bertemu jodoh sesama dari Madura, biasanya datang langsung atau memesan Ranjang Pale dan lemari ukiran khas Berbeluk dan Buduran.

“Secara khusus mereka tidak ingin ingin meninggalkan jati dirinya sebagai seorang putra Madura,” ujarnya. (kas)

Sumber: Surabaya Post, Senin, 10 Nopember 2008

Label: , , , ,

Perajin Ukir Tangan Tetap Eksis

Perajin kayu jati ukir tradisional (tangan) di Bangkalan, jumlah cuma hitungan jari. Kebanyakan mereka membuat tempat tidur, lemari, dan perabotan rumah tangga lainnya. Mereka mampu bertahan di tengah kemajuan pembuatan mebeler yang menggunakan peralatan.

SIANG itu lima remaja berusia belasan tahun tengah melakukan pengerjaan pembuatan lemari ukiran. Masing – masing pengrajin mengerjakan sesuai bidangnya. Ada yang memahat kayu dan mengukir, ada juga yang memoles ukiran. Itu kegiatan rutin perajin yang mengandalkan keterampilan tangan di show room Durantique di Jl. Raya Bancaran, Kel.Bancaran, Bangkalan.

"Mereka sedang mengerjakan pesanan konsumen. Konsumen datang ke sini memesan apa yang diinginkan. Bisa lemari, atau kursi, tempat tidur dan lainnya," kata Chaliq, pengusaha kerajinan ukir itu.

Dikatakan, konsumen tinggal datang pesan apa kebutuhannya. Bahan baku berupa kayu jati tidak perlu khawatir karena sudah tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasar. Itu juga terlihat di show room. Selain beberapa hasil karya perajin tampak pula tumpukan yang siap dipoles menjadi barang jadi yang bernilai ekomis tinggi.

"Memang kami hanya menyediakan bahan baku kayu jati. Sehingga harga lemari atau kursi yang kita tawarkan lebih mahal. Meman konsumen yang datang ke kami, adalah kelas menengah ke atas," ujar pengrajin lulusan SMAN 1 Bangkalan ini.

Kenapa membidik konsumen menengah ke atas, menurut Chaliq tidak ingin bersaing dengan para perajin yang sudah ada di tempat kelahirannya. Para perajin lain yang juga mengandalkan pesananan dari konsumen, sudah begitu banyak. Bahan baku kayu yang dipakai mereka beragam, mulai meranti, bengkirai dan kaju asal Kalimantan lainnya.

"Biarlah kami fokus pada kayu jati. Jadi keberadaan kami tidak menggangu rekan–rekan seprofesi lainnya. Toh kita bekerja ini, sama–sama cari makan dengan uang halal. Kalau kita bersaing terlalu ketat, sama–sama mendapatkan kesulitan. Kami cari haluan lain, dengan menggunakan bahan baku khusus jati," ujarnya.

Bahan kayu jati yang dipakai untuk pembuatan kebutuhan interior di rumah tidak ada kesulitan mendapatkannya. Dia sudah membuat jaringan dengan para pemilik pohon kayu jati di desa – desa.

“Selama ini kami mendapatkan kayu jati dari masyarakat di wilayah Galis. Kadang kita yang mencari, atau masyarakat yang menawarkan kalau punya kayu jati. Kita saling tawar – menawar, bila sepakat, kayu di kirim ke sini,” ucapnya.

Dengan bahan baku kayu jati, lanjut dia sudah barang tentu hasil karya kerajinan ukir ini harganya cukup mahal. Harganya jutaan rupiah, tergantung tingkat kesulitan pengerjaan dan besaran bahan baku yang diperlukan. "Harganya bervariasi dari jutaan rupiah hingga puluhan juta. Tergantung bahan baku dan tingkat kesulitan ukiran yang dikerjakan teman–teman," tambah Chaliq.

Meski harga cukup mahal namun cukup banyak pesanan yang masuk. Hampir setiap bulan produksi home industri kerajinan ini bisa mencapai 100 unit guna memenuhi konsumen . "Teman – teman yang bekerja cukup banyak, tergantung pesanan. Semakin banyak pesanan, banyak teman–teman yang diperlukan untuk bekerja. Hasil yang didapat teman–teman tiap bulannya, cukup untuk kebutuhan hidup sehari–hari," tegasnya. “Ya, masih di atas UMK lah," tambahnya.

Di tengah modernisasi, dia tetap menilai prospek kerajinan ukiran kayu ini di masa mendatang masih cukup menjanjikan. Meskipun sekarang jamannya serba instan."Biarlah kita akan terus bertahan dengan menekuni profesi sebagai pengrajin ukiran kayu. Dua tahun ke depan prospeknya masih cerah. Kita juga mendapatkan pesanan dari masyarakat termasuk dari kelembagaan. Jadi tetap kami bisa menikmati pekerjaan ini," ungkapnya.

Kepala Disperindag Bangkalan Drs Geger, MM mengatakan memang tidak cukup banyak perajin kayu ukir tradisional di kabupaten Bangkalan. Namun mereka mampu menghasilkan karya yang bernilai kualitas secara estetika, bahkan berciri khas tersendiri.

Seperti kursi Inlai dari Kec. Tragah, Ranjang Pale’ dari Kec. Arosbaya. "Kursi Inlai dari Tragah, bisa menembus Bali. Hasil karyanya perorangan itu mempunyai ciri khas tersendiri," ujarnya.

Untuk membantu pengembangan jaringan pasar, pihaknya juga tidak segan-segan mendorong pelaku usaha home industri ini, untuk ikut pameran di tingkat lokal atau regional.

"Seperti PRB (Pekan Raya Bangkala) beberapa waktu lalu, mereka ikut tampil. Ini tidak lain untuk lebih mengenalkan pada konsumen," kata Geger. (KASIONO).

Sumber: Surabaya Post, Senin, 10 Nopember 2008

Baca juga:
Ranjang Pale' Dongkrak Gengsi Pengantin

Label: , ,