Tradisi Pengajian Memasuki
Bulan Rabiul Awal Tahun Hijriah
Di Kota Dikalahkan Televisi, di Desa Tetap Meriah
Madura dan beberapa daerah lain memiliki aktivitas menyambut bulan di mana nabi besar umat muslim dilahirkan, yaitu Rabiul Awal. Sayangnya, tradisi itu kini semakin banyak ditinggalkan di wilayah kota. Sementara di desa, peringatan yang dikenal akrab dengan sebutan cocoghan ini masih menjadi prioritas warga.
Pertanda tersendiri bagi warga di Madura ketika segala tanaman berbuah berarti bulan Rabiul Awal sudah dekat. Rabiul awal menjadi bulan yang sangat spesial bagi warga Madura karena Rasulullah Muhammad SAW dilahirkan pada tanggal 12 salah satu bulan penangggalan hijriah tersebut. Berbagai kegiatan dilaksanakan untuk menyambut datangnya bulan yang juga suci di samping Ramadhan.
Kegiatan yang paling banyak ditunggu-tunggu adalah pelaksanaan cocoghan. Kegiatan ini merupakan suksesi pergantian. Dirayakan tepat di malam tanggal 1 Rabiul Awal. Kegiatannya semacam pengajian dengan pembacaan salawat nabi secara bersama - sama di surau dan mushala. Segala yang dimiliki warga mulai dari uang hingga buah - buahan yang mereka miliki disumbangkan untuk mereka yang datang ke peringatan tersebut.
Mereka yang datang menyumbang tidak lantas pulang, tapi juga duduk membacakan surat-surat. Pada surat tertentu warga yang hadir harus berdiri. Pada surat tertentu pula warga harus berebut buah-buahan yang dihidangkan dan sumbangan warga. Setelah berebut mereka kembali tenang membaca surat yang lain hingga usai. Beberapa kampung masih punya kegiatan sendiri seperti yang dilakukan oleh kelompok warga di Jalan Trunojoyo III (Bangkalan). Mereka terus melantunkan salawat nabi disertai tabuhan alat musik rebana dan perlengkapan lainnya.
Namun, cocoghan kini sudah banyak ditinggalkan oleh warga kota. Tradisi yang sudah ada sejak lama ini kalah dengan tayangan hiburan televisi. "Terus terang memang tambah lama kegiatan tahunan ini makin sepi. Kalah sama TV (televisi,Red) Mas. Kalau diajak orang - orang ternyata lebih memlilih nonton TV," ujar Rosi warga Jalan Jokotole sepulang cocoghan di kampungnya. Padahal, sambungnya, saat dirinya masih kecil, tak satu pun warga diam di rumahnya saat cocoghan berlangsung. "Waktu itu memang tidak ada TV," imbuhnya.
Menurut Rozi, kondisi tersebut berbeda dengan di desa. Tak perlu jauh-jauh membuktikan hal tersebut. Pasar yang biasanya ramai bisa cukup sepi menjelang peringatan memasuki bulan lahir nabi terakhir itu. Mereka memilih pulang ke rumahnya masing-masing untuk mempersiapkan hidangan terbaik untuk disumbangkan ke mushala desa dan kiainya. "Kalau di kampung - kampung kota saja masih ada yang mengadakan cocoghan, saya yakin di desa tak akan sepi. Pasti ramai, tidak mungkin ada mushala yang kosong. Warga juga pasti ikut semua," ujarnya pria asal Kecamatan Geger ini. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)
Sumber: Jawa Pos, Jum'at, 27 Februari 2009
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda