Manusia Pasir, Sisi Unik Potensi Pantai Utara Sumenep

SP/Etto Hartono
Beginilah keseharian ibu dan anak ini tertidur pulas di atas kasur pasir, di Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep.

Mayoritas warga tiga desa di kecamatan Batang-Batang, kabupaten Sumenep, Madura, tidur beralas pasir. Tradisi ini sudah dilakoni secara turun-temurun sejak kakek moyang mereka dulu. Disamping sudah tradisi, hal ini diyakini sebagai obat bagi kesehatan tubuh. Etto Hartono, reporter Surabaya Post yang bertugas di Sumenep, melaporkannya untuk pembaca.

Bagi mayoritas di tiga desa yakni warga, Legung Barat dan Desa Dapenda, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura pasir tidak akan pernah lepas dari kehidupannya, sudah menjadi gaya hidup.

Tradisi tidur diatas pasir yang ditempatkan di sudut kamar rumah, maupun di ruang istirahat, menjadi teman dalam hidupnya. Bahkan, sebagian halaman rumah juga terdapat pasir sebagai tempat bermain anak-anak.

Warga tiga desa yang mayoritas sebagai nelayan, dan sebagian lainnya pedagang dan bertani, menganggap pasir memberi manfaat besar berupa kesehatan bagi tubuh. Mereka juga menganggap, tidur di atas pasir bisa lebih nyenyak dibanding kasur kapuk maupun kasur spring bed yang harganya jutaan rupiah.

"Kalau tidur di atas pasir terasa lebih empuk mas. Bahkan, kalau musim dingin terasa hangat dan kalau musim panas justru terasa dingin. Tidur pun lebih nyenyak dan lebih segar," kata Ny Harsiyani (38), salah seorang warga Dusun Samburat, Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep, Selasa (10/4).

Pasir yang diambil dari sekitar Pantai Lombang itu tidak lengket ke kulit atau tubuh. Jika badan dalam kondisi basah, maka saat kering akan mengelepus dengan sendirinya. Yang istimewa, butiran pasir disepanjang Pantai Lombang memiliki kristal pasir yang sangat halus. Pasir inipun bersih mengkilap dan memiliki warna putih gading, terasa sangat halus ketika dipegang.

Warga yang memanfaatkan pasir sebagai tempat tidur atau istirahat, bukan hanya mereka yang kelas ekonomi menengah ke bawah, melainkan warga yang sudah mempunyai kemampuan lebih masih tetap tidur di atas pasir.

Rata-rata mereka juga memiliki kasur modern dari bahan kapuk maupun spring bed. Tapi uniknya itu hanya dipakai sebagai hiasan, sehingga kasur modern mereka tetap tampak bersih layaknya baru.

"Tempat tidur berupa kasur atau spring bed semua warga punya, tetapi hanya sebagai hiasan dan tidak digunakan, sehingga tetap kelihatan baru," ujarnya, sambil tersenyum.

Proses melahirkan pun, kata dia, juga dilakukan di atas pasir. Warga meyakini jika lahir di atas pasir anak-anak mereka tidak mudah sakit. Hanya pada kasus-kasus ibu yang mengalami kesulitan saat melahirkan, tetap dibawa ke Puskesmas atau ke rumah sakit.

Usir Capek dan Rematik

Salah seorang tokoh masyarakat setempat, H Ali Makki menjelaskan, kebiasaan warga tidur dan lebih banyak beraktivitas di atas pasir sudah tradisi turun-temurun. "Kenapa dan mulai kapan tidur diatas kasur pasir itu, saya juga tidak tahu, yang jelas masyarakat sangat suka dan merasa lebih sehat," katanya.

Manfaat yang langsung dirasakan oleh masyarakat, kata dia, merasa nyaman dan nyenyak bila tidur maupun istirahat bersama keluarga. Bahkan, bagi mereka yang mempunyai penyakit rematik dan pegal atau linu akan sembuh dengan sendirinya.

"Sehabis kerja kan capek dan tubuh terasa lelah dan letih, kalau sudah tidur di atas pasir, apalagi sebagian tubuh ditimbun pasir, akan terasa nyaman dan bugar kembali," ungkapnya.

Julukan manusia pasir, kata dia, hanyalah sejumlah orang yang menyebut, yakni para pendatang yang berkunjung ke pantai Lombang dan mampir ke rumah-rumah warga untuk tahu lebih dekat. Namun, bagi warga pesisir utara menyebutnya kasur pasir.

Untuk sampai ke lokasi kampung pasir, harus menempuh perjalanan sekitar 45 menit dengan jarak 31 kilometer (km) dari pusat kota, ke arah wisata Pantai Lombang. Warga setempat sangat terbuka dan ramah bila ada tamu yang ingin tahu soal kasur pasir. Mereka pun tidak segan-segan mengajak tamunya untuk mencoba dan merasakan nikmatnya kasur pasir tersebut.

Perlu Diteliti

Direktur Rumah Sakit Daerah (RSD) dr Moh Anwar Kabupaten Sumenep, dr Susianto, menyebut fenomena kampung pasir yang digunakan warga di pesisir pantai utara kota Sumenep itu, memang perlu diteliti lebih lanjut dari lembaga yang berkompeten, sehingga dapat dijelaskan secara ilmiah ke masyarakat umum.

dr Susianto mengaku pernah berkumpul selama 5 tahun bersama masyarakat pengguna pasir sebagai alas tidur, tapi belum menemukan hasil kajian ilmiah.

"Saya pun pernah merasakan enak dan nyamannya istirahat di atas kasur pasir itu. Sebab, saya pernah bertugas di daerah itu selama 5 tahun," ujar Susianto.

Dia membenarkan jika masyarakat merasakan manfaat pasir itu untuk kesehatan. Akan tetapi, kesulitan untuk dijelaskan secara ilmiah dari sisi medis.

"Jika ada penelitian akan diketahui kandungan dalam pasir itu," katanya.

Banyak tamu dari luar negeri, kata dia, baik Amerika Serikat, India maupun wisatawan lainnya yang terkesan dengan pasir yang ada di sekitar pantai pesisir utara Sumenep itu.

"Kesan mereka, pasir itu terasa hangat, sehingga berdampak positif pada peredaran darah," ungkapnya.

"Jika di daerah luar mengemas air laut untuk kesehatan dan bisa mengobati rematik, kenapa pasir Sumenep belum bisa menghasilkan sesuatu yang lebih. Padahal, sudah dirasakan banyak orang, terutama masyarakat setempat yang sudah turun-temurun memanfaatkan pasir sebagai alas tidur," pungkasnya.

Terkait:

Sumber: Surabaya Post, Rabu, 11/04/2012

Label: , , , , ,

7-Year-Old Indonesian Turns Mountains Into Molehills

Indonesian mountaineer Arya Sugiarto, aged 7, has his sights set on major peaks in Europe and the Himalayas. (Photo courtesy of Arya Cahaya Mulya Sugiarto)

Little Arya Cahaya Mulya Sugiarto could be one of the bravest 7-year-olds in the world.

He has already climbed 14 mountains and is now ready to climb more of the world’s highest peaks. To mark National Children’s Day on July 23, Arya will attempt to conquer the highest mountain in Europe, Russia’s Mount Elbrus. From there, he will go on to climb an even higher peak in the Himalayas to mark Universal Children’s Day on Nov. 20.

The young adventurer from Pemekasan, Madura, East Java has impressed mountain climbers worldwide with his feats and even sparked the interest of President Susilo Bambang Yudhoyono. When he reaches the peak of Mount Elbrus on National Children’s Day, Arya will receive a call from the president to congratulate him on his achievements and commend him for inspiring the children of Indonesia to follow their dreams.

Reaching the peak of Elbrus is only the start of Arya’s adventures this year. In November he will attempt to climb Imja Tse, better known as Island Peak, a 6,189-meter peak in the Himalayas.

The first expedition, Ekspedisi Cahaya Indonesia (Light Expedition Indonesia), was developed by mountain-climbing instructor Budi Cayono to help Arya become the youngest person to ever conquer Mount Elbrus.

Budi said that Arya’s achievements encourage other children to get involved in sports and enjoy the outdoors. Arya’s father, Agus Sugiarto, said it is important for children to fulfill their dreams, and he hopes that “Arya’s dream comes true, to climb up this snowy mountain.”

First celebrated globally in 1953, Universal Children’s Day was established to promote children’s welfare worldwide and their contributions to society. By conquering Mount Elbus and Imja Tse, Arya hopes to set an example for children of all walks of life.

Arya’s little footprints have made their impression on many a mountain; he has been hiking since before he could walk. His father, Agus, said he used to carry him on mountain climbs when he was just 8 months old. But it was not long before Arya found his feet: “He was only 3 years old when he started to hike by himself and didn’t want to be carried anymore.”

In fact, Arya has climbed 14 tall mountains in Indonesia, the highest of them being Mount Semeru in Java in August 2010 when he was just 5, and then Mount Rinjani in Lombok last year.

He is the youngest person ever to conquer those mountains, and Agus said that these were the hardest mountains so far. But the treacherous peaks do not seem to faze Arya — last year the boy told the tabloid magazine Nyata that it was “nice to be able to reach the top of the mountain; I can see God’s creation.”

Mount Elbrus will be Arya’s hardest climb to date. Reaching heights of 5,642 meters, the icecap of Mount Elbrus feeds 22 glaciers. The inactive volcano is considered the world’s 10th most prominent mountain.

The highest mountain in Europe would certainly be a risk and a challenge to the most competent of mountain climbers. Yet Agus insists that Arya is in no danger.

“Mount Elbrus is safe enough for a kid his age to climb. The important thing is to always be careful, take notice and pay attention to weather conditions,” he says.

Budi, Arya’s instructor, will lead the expedition to Mount Elbrus and has trained Arya in preparation for the climb.

“I have full confidence that Arya can reach the top of Mount Elbrus on National Children’s Day,” he said. “I have seen him climb Rinjani and he was so happy doing it all the way to the top.”

“If you watch the way he climbs the mountains, you will be amazed, because Arya walks so excitedly,” he added. “Even if it is raining heavily and the terrain is slippery, he still carries on and enjoys the journey.”

Arya and his mountain-climbing team, which includes instructor Budi, father Agus, and a team of experienced climbers, will depart for Moscow on July 9. There they will meet a team of local guides and start their climb at the base of Mount Elbrus on July 15.

After reaching the summit and speaking to the president, Arya will begin his descent and arrive at the base camp on July 26.

To prepare for this ambitious expedition, Arya has undergone daily training. He runs every afternoon and goes mountain climbing every weekend. Budi insists that the mountain is safe to climb, as long as Arya is prepared.

“Mountain climbing is very safe, as long as climbers follow the rules and techniques — especially for young climbers — so they need a lot of preparation,” he says.

Budi says July’s expedition will take longer than it would for more experienced climbers, but believes safety comes before speed.

“Arya requires a longer adjustment [than adults], and his safety is the most important thing,” he said.

Fully aware of the risks, Arya knows how important safety is after coming into trouble while mountain climbing last year. The expedition, Ekspedisi Cahaya Merdeka (Independent Light Expedition) saw him conquer 12 mountains in only three months.

Yet some of the climbs were hindered by stormy weather. The climbers experienced heavy rainstorms and were forced to take shelter in their tents.

The rain prevented Arya from sticking to his original plans, yet Budi said Arya stayed strong.

“He was still fit and in a good condition when he completed the journey,” Budi said.

Label: , , , , , ,

Murid TK Siap Mendaki Delapan Puncak Gunung

Seorang anak 6 tahun dari pulau Madura di Jawa Timur pada hari Kamis berangkat untuk menyelesaikan tugas yang ambisius. Menaklukkan 10 puncak gunung hanya dalam empat bulan.

Arya Cahya Mulyana Sugianto, seorang murid TK dari Pamekasan, telah menyertai mendaki gunung orangtuanya, Agus Sugianto dan Tri Yuli Mulyanti, sejak tahun 2007. "Dia telah mendaki Gunung Welirang dua kali dan terakhir dia naik gunung adalah Mahameru," kata ayahnya, Agus.

Arya menyelesaikan pendakian 3.676 meter memanjat Mahameru, juga dikenal sebagai Gunung Semeru, di Jawa Timur tahun lalu sebagai bagian dari perayaan Hari Kemerdekaan. Kali ini, tantangannya adalah untuk menyelesaikan skala 10 gunung sebelum 21 Agustus.

Lima pendaki berpengalaman akan menemani Arya dalam pendakian

Memanjat pertamanya adalah-2900 meteran Gunung Ceremai di Jawa Barat, diikuti oleh Gunung Slamet (3.432 m) dan Gunung Sindoro (3.155 m) di Jawa Tengah, dan Gunung Wonotirto (2.000 m) di Jawa Timur. Dia juga dijadwalkan untuk mengatasi Tengah Jawa Gunung Lawu (3.265 m), Gunung Rinjani (3.726 m) di Lombok, Bali Gunung Agung (3124 m) dan Welirang (3.156 m), dan Gunung Arjuno (3.330 m) di Jawa Timur.

"Mahameru akan puncak akhir dia akan memanjat sehingga ia kembali bisa menanam bendera nasional ada pada tanggal 17 Agustus seperti yang ia lakukan tahun lalu," kata Akhmad Kusnindar, kepala tim Arya mendaki.

Kabar Terkait:
Kindergarten Student Set to Climb to Great Heights Pamekasan, East Java. A 6-year-old boy from the island of Madura in East Java on Thursday set out to complete an ambitious task: Conquer 10 mountain peaks in just four months. Arya Cahya Mulyana Sugianto, a kindergartener from Pamekasan, has been accompanying his mountain-climbing parents, Agus Sugianto and Tri Yuli Mulyanti, since 2007. “He has climbed Mount Welirang twice and the last mountain he climbed was Mahameru,” said his father, Agus. Arya completed the 3,676-meter hike up Mahameru, also known as Mount Semeru, in East Java last year as part of Independence Day celebrations. This time, the challenge is to finish scaling 10 mountains before Aug. 21. Five experienced climbers will accompany Arya for the feat His first climb is the 2,900-meter Mount Ceremai in West Java, followed by Mount Slamet (3,432m) and Mount Sindoro (3,155m) in Central Java, and Mount Wonotirto (2,000m) in East Java. He is also scheduled to tackle Central Java’s Mount Lawu (3,265m), Mount Rinjani (3,726m) in Lombok, Bali’s Mount Agung (3,124m) and Welirang (3,156m), and Mount Arjuno (3,330m) in East Java.

“Mahameru will be the final peak he’ll climb so he can again plant the national flag there on August 17 like he did last year,” said Akhmad Kusnindar, head of Arya’s climbing team.

May 13, 2011

Label: , , , , , , ,

Mengintip Kerajinan Ranjang Pale'
Satu-satunya di Madura

'Ban-Giban' Buat Mempelai Wanita



Bagi sebagian masyarakat desa di Madura, kebiasaan membawa ban-giban (oleh-oleh, Red) buat pihak mempelai wanita telah mentradisi. Mulai dari kosmetik, pakaian, bantal, tikar, makanan, kue, dan tak jarang juga membawa ranjang pale'. Ternyata, produsen ranjang pale' itu kini banyak bertebaran di Kota Sampang. Bagaimana sesungguhnya seluk beluk para pengrajin dalam membikin ranjang pale'?

Oleh MOH. ANSHORI

Siapa menyangka bahwa produsen ranjang pale' di Kota Sampang merupakan satu-satunya produsen di Madura. Bila Anda berkunjung ke Kota Sampang, disepanjang kawasan stasiun lama-dekat terminal sampai Jalan Kasenih terlihat berderet toko maupun produsen ranjang tersebut. Ada sekitar tiga puluhan toko dan produsen yang memasarkan ranjang pale' tersebut.

Ranjang yang semua bagiannya terbuat dari bahan kayu tersebut, sepintas lalu memang kelihatan artistik dan kuno.

"Ranjang pale' ini memang mirip dengan ranjang-ranjang kayu yang ada di masa kerajaan kuno dimasa lalu. Saya dulu pernah melihat ranjang sejenis ini di museum. Tetapi, sekarang justru dipakai oleh masyarakat di pelosok desa," kata Syaiful seorang pengrajin.

Ranjang pale' tersebut rata-rata memiliki panjang 3 meter, lebar 1,5 meter dan tinggi 2 meter. Pembeli bisa mendapatkan berbagai ragam model sesuai dengan pesanan. Ada pagaran (batas penghalang) motif gunung, dan ada juga yang bermotifkan tumpang. Ranjang semakin antik, karena selain dipolitur juga beberapa bagiannya dicat dengan warna yang mencolok.

Yang lebih menarik, ternyata bahan baku yang dipakai tidak berasal dari Kayu Jati ataupun Meranti, tetapi dari Kayu Akasia. Padahal, selama ini Kayu Akasia hanya dijadikan kayu bakar. Dengan polesan keahlian para pengrajin, Kayu Akasia kini menjadi lebih bernilai.

"Bahan kayunya dari Akasia mas. Pertama kali banyak yang heran kok Kayu Akasia dibuat ranjang, tetapi belakangan jadi biasa. Dan nyatanya terbukti, Kayu akasia lebih tahan lama dan murah harganya," kata Muhammad Asy'ari pengarajin yang lain.

Menurut pengakuan H. Bahruddin, 76 tahun, salah seorang yang lama bergelut dalam pembuatan ranjang ini, pertama kali pada zaman Belanda ranjang seperti ini dibeli dari Probolinggo. Atas inisiatif pengrajin di Sampang, lanjutnya, ranjang tersebut dikembangkan di daerah ini. Walhasil, banyak peminat dari desa di Kabupaten Sampang. Bahkan, menurutnya, peminat juga berdatangan dari luar Sampang. Misalnya, dari Kecamatan Tanah Merah, Sepuluh, Kwanyar Bangkalan dan Kecamatan Pagentenan, Pakong Pamekasan

Dijelaskannya, pembuatan ranjang pale' tidaklah rumit dan lama. Untuk menyelesaikan satu buah ranjang, hanya dibutuhkan waktu satu minggu. Pembuatannya sendiri ada yang menggunakan ukir dengan tangan juga pakai mesin. Khusus, ranjang pale' yang asli, hanya bisa diukir dengan tangan. Sementara untuk ranjang pale yang telah dimodifikasi, menggunakan mesin bubut.

Biasanya, pasaran ranjang ini membludak manakala lagi musim orang hajatan pernikahan atau selesai masa panen.

"Wah, kalau lagi musim mantenan, toko kami ini ramai sekali. Yah, kebanyakan mereka peruntukkan sebagai ban-giban untuk mempelai wanita. Harganya sendiri bervariasi, mulai dari Rp 450.000 sampai Rp 1 juta lebih. Tergantung model dan situasi pasarnya," aku Asy'ari. *

Sumber: Radar Madura, 29/02/2011

Label: , , , ,

Warga di Sumenep Tidur Berkasur Pasir

Diyakini Menyehatkan

Foto: Moh Hartono Sumenep

Bagi sebagian warga di tiga desa pesisir utara Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, tidur beralas pasir sudah menjadi gaya hidup. Jadi jangan heran bila di kamar warga terlihat hamparan pasir daripada kasur yang empuk.

Pasir yang dijadikan kasur itu, ditempatkan di pojok kamar tidur ataupun di kamar tamu sebagai tempat istirahat sekeluarga.

Oleh Moh Hartono Sumenep

Mereka itu bukan tergolong orang yang tidak mampu membeli kasur kapas ataupun springbed. Di dalam rumah mewah dan bertingkat serta lengkap dengan perabot rumah tangga berkualitas pun tetap beralaskan pasir untuk istirahat.

Pasir yang digunakan merupakan pasir laut yang diambil dari pantai pesisir setempat melalui proses penyaringan dan telah suci. Pasirnya tidak lengket di badan itu dianggap mempunyai keistimewaan tersendiri, dan diyakini mampu mengobati sakit rematik.

Tidak hanya itu, dalam perkembangannya, pasir itu juga sebagai pengganti minyak goreng. Kacang-kacangan yang biasa dikonsumsi, kini digoreng dengan menggunakan pasir berhasiat tersebut.

Bahkan, mereka mempunyai kepercayaan bagi ibu yang lahir di kasur pasir, bayinya akan lebih sehat dibanding lahir di tempat tempat tidur yang ada di rumah sakit maupun di bidan desa.

Pasir berwarna putih halus tersebut, juga dijadikan pupuk untuk tanaman bonsai cemara udang yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Tanpa pasir, pohon cemara yang sudah kondang diseluruh Nusantara ini tidak akan hidup normal.

Baijuri (38), warga Desa Dapenda, Kecamatan Batang-batang, Sumenep, mengatakan, kebiasaan warga tidur di pasir sudah dilakukan turun-temurun khsususnya warga Desa Dapenda, Legung Barat dan Desa Legung Timur.

"Tidur di kasur pasir mampu menyembuhkan penyakit tulang seperti rematik. Bahkan, untuk penyakit gatal-gatal juga bisa disembuhkan dengan cara pasir digosok-gosokan," terang Baijuri dalam bincang-bincang dengan detiksurabaya.com, di rumahnya, Desa Dapenda, Minggu (3/4/2011).

Meski diakui belum ada penelitian khusus soal pasir yang ada di pesisir utara pantai utara Batang-batang, namun, mayoritas warga tidak ada yang mengalami gangguan sakit tulang seperti rematik.

Bahkan, warga yang dari luar daerah yang menjadi penduduk pesisir utara ikut merasakan nikmatnya tidur di kasur pasir tersebut. "Kalau musim hujan tidak terasa dingin, terasa hangat. Kalau musim kemarau justru terasa dingin. Sehingga tubuh kita selalu terasa fresh," urainya.

Salah seorang dokter di Sumenep yang telah merasakan kehangatan pasir tersebut mengakui kehangatannya.

"Pasir itu memang terasa hangat dan enak rasanya di tubuh," terang Direktur RSD Dr Moh Anwar Kabupaten Sumenep, Dr Susianto pada detiksurabaya.com.

Ia menilai, pasir tersebut tidak kalah hangat dengan alat penghangat tubuh buatan luar negeri yang saat ini gencar dipasarkan. Secara medis, memang akan menimbulkan efek positif ke kesehatan tubuh.

"Karena efek hangat itu, maka peredaran darah dalam tubuh akan lancar. Bila peredaran darah bagus, otomatis berdampak positif pada kesehatan tubuh," urainya.

Bahkan, ia mengusulkan ada penelitian ilmiah dari lembaga berkompeten, sehingga nilai kandungan pasir itu diketahui. "Bisa jadi, pasir itu mengandung molekul-molekul yang bisa menghangatkan tubuh bagi penggunanya," katanya.

Lebih dari itu, pasir tersebut bisa dikemas dengan secara teg
knologi tinggi, sehingga bisa digunakan halayak. "Kalau pasir itu dikemas dengan menggunakan teknologi, sangat mungkin digunakan banyak orang," pungkasnya. (gik/gik)

Sumber: detiksurabaya.com 3 April 2011

Label: , , , , ,

Cinta Sapi Sonok

BUPATI Pamekasan Drs KH Kholilurrahman SH akhirnya harus mengikuti arus budaya warganya. Pada saat warga Pamekasan tengah keranjingan dengan Sapi Sonok, maka pengusaha yang berlatar belakang kiai ini juga merasa perlu mengikuti kesenangan warganya.

Ya, dia akhirnya juga memelihara Sapi Sonok. “Sapi Sonok selain menjadi salah satu potensi budaya Pamekasan, juga menjadi salah satu potensi ekonomi yang menggiurkan,” kata Bupati Kholil. “Bahkan Sapi Sonok yang berkualitas harganya sangat mahal. Bisa mencapai ratusan juta per pasangnya,” tambahnya.

Sejauh ini keberadaan Sapi Sonok telah banyak menguntungkan masyarakat Pamekasan. Bahkan karena sapi jenis itu, Bupati Kholil mendapat penghargaan sebagai kepala daerah yang peduli pada pengembangan sektor pariwisata dari Gubernur Jatim beberapa waktu lalu.

“Bukan hanya saya pribadi saja yang harus punya Sapi Sonok, tapi saya kira rekan rekan pejabat lainnya sangat tepat jika memiliki simpanan dana untuk dibelikan Sapi Sonok. Ini sebuah potensi budaya khas Madura yang sekaligus potensi ekonomi yang sangat menggiurkan, karena harganya yang sangat bagus,” ajaknya.

Alasan lainnya, kesenangannya pada sapi sonok ini, adalah sebagai kritik untuk menggugah kesadaran sebagian pemilik sapi kerapan yang setiap kali ada lomba atau kerapan sapi selalu menyiksa sapinya dengan melukai sapi agar lari kencang.

Menurut Bupati Kholil, Kerapan Sapi telah menjadi budaya Madura yang telah mengglobal. Namun jika pada pelaksanaan kerapan banyak aspek penganiayaan pada sapi, misalnya memecut sapi dengan kayu yang ada pakunya agar larinya cepat saat di kerap, maka itu penyiksan. “Itu harus dihindari,” ujarnya.

Bupati mengaku mendapat saran dari sesepuh dan perantau asal Pamekasan yang sukses di luar daerah. Mereka meminta Bupati Kholil agar menjaga dan jangan sampai Kerapan Sapi di Madura dikotori dengan penyiksaan memecut sapi dengan paku pada saat dikerap. (mas)

Sumber: Surabaya Post, Selasa, 3 Nopember 2009

Label: , ,

Clurit Emas Imbau Batasi Tonton TV

Budayawan D. Zawawi Imron

Budayawan D. Zawawi Imron mengimbau warga Sampang membatasi aktivitas menonton tayangan televisi (TV). Maksud imbauannya, agar warga terhindar dari rasa lelah rohani.

Seruan itu, disampaikan Si Clurit Emas - julukan D. Zawawi Imron, dalam sarasehan Pengembangan Seni Budaya prakarsa Dewan Kesenian Sampang (DKS) di aula PKPRI Trunojoyo, kemarin (24/11).

Secara umum, Zawawi tak melarang warga menonton TV. Asal, lanjutnya, lebih mengedepankan acara yang bersifat edukasi. "Tapi, harus tetap kita batasi. Kalaupun harus menonton TV, kita harus bisa memilah mana yang baik ditonton dan mana yang harus tidak ditonton," tuturnya.

Pria asal Sumenep ini berharap acara yang digelar DKS tersebut bisa memberi semangat baru terhadap insan-insan muda. Khususnya, bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah.

Zawawi Imron juga menegaskan, orang Madura merupakan insan yang mampu berpikir dan dapat bekerja keras. Khusus terkait lontaran dimaksud, dia kemudian memberi spirit terhadap para pemuda. "Orang Madura, utamanya kawula mudanya, harus bisa berpikir dan bekerja. Kalau ada yang tidak mau berpikir dan bekerja, berarti orang Dulmus (pemalas, Red.)," tegasnya.

Dalam kesempatan ini, pria berkaca mata ini berpesan kepada segenap warga Sampang supaya dapat berpikir dan memanfaatkan segala yang ada di sekitar. "Kembangkan segala potensi serta bakat diri untuk membentuk sebuah talenta," pesannya.

M. Fauzi, ketua Dewan Kesenian Provinsi Jawa Timur menambahkan, secara keseluruhan masyarakat Madura merupakan orang yang tidak takut dengan perubahan. "Malah sebaliknya, orang Madura bisa membentuk perubahan itu sendiri," ujarnya.

Dia juga menyarankan agar Sampang menjadi ruang budaya dari Madura. Alasannya, Sampang merupakan titik persinggahan dari warga luar Madura. "Jadikan Sampang sebagai pusat peradapan Madura. Mengingat Sampang merupakan titik singgah para pendatang," ujar pria kelahiran Kecamatan Pakong, Pamekasan ini.

Rochim Mawardi, selaku Sekretaris Disbudparpora Sampang menuturkan, masyarakat Sampang mempunyai sifat berani, kreatif, dan cerdas dalam menghadapi tantangan. Tetapi secara fisik, Sampang belum bisa diandalkan pasca Suramadu. "Pasalnya, segala fasilitas yang terkait dari aspek budaya dan wisata belum bisa terpenuhi," pungkasnya. (c25/yan/ed)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 25 November 2009

Label: , , , ,