Pengguma Bahasa Madura Kian Merosot
Kecintaan HR Soedirman Mertoadikoesoemo terhadap tanah kelahiran di Madura tidak perlu diragukan. Dia salahseorang warga asli Madura yang dilahirkan di Bangkalan pada 3 Juli 1932 silam. Di kediamannya terdapat berbagai benda khas Madura. Mulai peralatan rumah tangga pecah belah, hingga gambar leluhurnya di Madura.
Sebagai keturunan darah biru, dia sangat memerhatikan budaya dan sastra Madura. Sejak lama, suami Hj Rr Soediyah ini prihatin akan penggunaan bahasa Madura. Mantan bupati KDH Jombang dan Probolinggo ini melihat makin hari kian merosot. Bahkan, mulai jarang digunakan dalam percakapan keseharian masyarakat di pulaunya.
Baginya, bahasa adalah sebuah identitas. Tak heran meski jarang ke Madura, dia selalu menggunakan bahasa daerah dalam keseharian dan saat berkumpul serta bercengkrama dengan warga Madura.
Menurut dia, keberadaan bahasa Madura sebagai bahasa luhur dan memiliki nilai tinggi akan hilang jika tidak diperhatikan secara serius. Terlebih jika pergaulan generasi muda mulai meninggalkan bahasa Madura dalam berkomunikasi.
"Apalagi kalau perkawinannya sudah campuran. Bisa jadi bahasa Madura tidak pernah digunakan sama sekali. Bahkan, anak-keturunnya juga tidak akan mengerti bahasa Madura," ungkapnya.
Sebagai pemerhati Madura, Soedirman pernah mengusulkan kepada gubernur Jatim untuk mendirikan sekolah Khusus. Yakni sekolah yang dikhususkan pada guru bantu untuk mempelajari bahasa Madura.
Menurut pandangan dia, hilangnya bahasa Madura dalam pergaulan masyarakat dikarenakan pendidikan bahasa tersebut tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah. "Makin merosotnya penggunaan bahasa Madura karena gurunya tidak siap. Atau tidak punya materi bahasa Madura," tegasnya. Sayang usulan Soedirman untuk mendirikan sekolah bahasa Madura tidak direspons positif.
Menurut pria kelahiran Bangkalan ini, merosotnya penggunaan bahasa daerah bakal membawa dampak makin hilangnya budaya Madura yang memiliki cita rasa tinggi. Dia mengungkapkan, leluhurnya adalah birokrat yang sangat mencintai seni dan budaya Madura.
"Semua leluhur saya adalah sastrawan. Bahkan, dari kecintaannya kepada seni membawa mereka biasa berkomunikasi dengan negara luar untuk saling bertukar informasi," terangnya.
Makin hilangnya kesenian Madura, lanjutnya, harus mendapatkan perhatian generasi muda dan pemerintah. "Pemerintah sebagai pihak paling bertanggungjawab memertahankan kebudayaan. Pemerintah tidak boleh membiarkan begitu saja ketika melihat seni dan budaya Madura makin hilang," pintanya.
Dia mengaku bangga melihat sastrawan D Zawawi Imron yang mendapatkan julukan Si Clurit Emas. Kendati bukan dari kalangan sastrawan, Zawawi sebagai tokoh agamawan berani mengangkat sastra Madura dimata masyarakat dan dunia. Karena itu Soedirman berharap, kedepan makin banyak pelaku seni yang mampu membawa seni dan budaya Madura ke luar daerah.
"Tapi bukan budaya kerasnya. Itu bukan budaya. Semua orang Madura memiliki sikap andhap asor (sopan santun, Red). Tapi kalau sudah berhubungan dengan hal prinsip, siapapun pasti tersulut emosinya," papar Soedirman.
Bahkan, dia menyatakan sama sekali tidak setuju jika celurit menjadi souvenir atau kenang-kenangan yang diberikan untuk pengunjung yang datang ke Madura. Sebab, souvenir semacam itu justru akan memperkuat pandangan bahwa Madura identik dengan kekerasan.
"Dulu pada saat konflik di Sambas saya sampaikan di KPP HAM Pusat. Saya katakan pada semua yang hadir, bahwa orang Madura tidak seperti yang digambarkan tuan-tuan sekalian," ujar mantan Kapolsek Srono Banyuwangi ini dengan penuh semangat.
Sebab, sambungnya, jika ada oknum yang berbuat kekerasan, masyarakat tidak boleh langsung memvonis sama rata. Seharusnya, oknum itulah yang mendapatkan tindakan tegas dan ditangkap berdasarkan hukum yang berlaku.
Generalisasi yang ditujukan kepada masyarakat Madura secara keseluruhan berdampak negatif. Pertama, membuat perlakuan masyarakat lain menjadi berbeda. Selanjutnya, menjadi kekhawatiran untuk mengakui identitasnya sebagai warga Madura. "Kalau saya tetap bangga sebagai orang Madura, karena saya tahu stereotip yang dilekatkan pada kita itu salah," tegasnya. (nra/tra)
Sumber: Jawa Pos, Selasa, 29 Juli 2008
Label: bahasa, budaya, madura, soedirman mertoadikoesoemo
1 Komentar:
p6a85f2m00 d0g52c2o54 c5w12v2e72 a1t18m0h18 w3p32s6u14 p4m00o7f67
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda