Timba Daun Lontar

Jadi Daya Tarik Museum Pamekasan

Dalam buku daftar tamu di museum ini, tercatat telah 3.872 orang pengunjung mendatangi museum yang berada di Jl. Cokroaminoto No 1 Pamekasan itu. Jumlah pengunjung sebanyak itu termasuk para pengunjung yang berdatangan pada saat museum ini diresmikan Bupati Pamekasan Drs KH Khalilurrahman SH MSi pada 18 Maret lalu.

Selain dari empat kabupaten di Madura, para pengunjung museum ini juga berasal dari sejumlah daerah di Jatim, antara lain Banyuwangi, Surabaya, Sidoarjo, Gersik, Lamongan, dan Malang, serta daerah lain terutama daerah yang banyak terdapat etnis Madura. Pengunjung lainnya berasal dari Jawa Tengah, misalnya Solo, Semarang, Jogjakarta, Jakarta, Bandung, Bogor, Bali, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra.

Dari luar negeri tercatat pengunjung dari Singapura bernama Jiang Zhennji dan dari China bernama Ping Zling, keduanya berkunjung ke museum ini pada Sabtu, 17 April 2010. Para pengunjung yang mendatangi museum ini ada yang bersama rombongan, ada pula yang pribadi atau sendirian.

“Mereka datang berkunjung kesini dengan tujuan wisata, ada juga yang karena ada hubungan keluarga dengan warga Pamekasan, lalu jalan-jalan melihat museum ini. Mereka tertarik untuk melihat secara langsung kondisi benda bersejarah yang ada di dalamnya,” kata Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Budaya (Disporabud) Pamekasan Drs M Yusuf Suhartono.

Benda sejarah yang paling menarik bagi para pengunjung adalah barang khas daerah Pamekasan, antara lain keris pusaka, buku kuno, batik tulis kuno, timba air kuno yang terbuat dari daun lontar atau daun siwalan dan alat penggilas jagung kuno yang dinamakan panggilisan. “Timba dari daun siwalan dikagumi karena tidak mudah pecah,” terang Yusuf.

Khusus untuk benda sejarah jenis keris, banyak pengunjung yang sempat menanyakan keberadaan keris pusaka pribadi Ronggosukowati, Raja Islam pertama yang mendirikan Pamekasan. Namun, keris pribadi Ronggosukowati itu belum ditemukan dan masih dalam penelitian. Yang ada hanyalah keris pribadi dari keluarga atau raja atau penerus Ronggosukowati.

Begitu tertariknya terhadap benda benda sejarah yang ada di museum daerah Pamekasan ini, sebagian pengunjung bahkan ada yang berminat untuk membeli barang-barang tersebut, meski sudah jelas hal itu tidak akan diperbolehkan.

Museum yang menempati gedung tua di tengah kota Pamekasan ini berada di sekitar taman kota, Masjid Agung Asy Syuhadak, dan monumen Arek Lancor yang juga menjadi salah satu tempat wisata budaya Pamekasan. Musium Pamekasan ini termasuk musium ke 26 dari seluruh museum yang ada di Jatim. (Masdawi Dahlan)

Sumber: Surabaya Post, Kamis, 6 Mei 2010

Label: , , , ,

Perajin Genteng Karang Penang Terancam Gulung Tikar

Struktur tanah liat yang terkandung di daerah itu merupakan anugerah bagi warga Karang Penang, sebagai bahan baku pembuatan genting. Bahkan, tanah lempung di daerah itu sebenarnya dapat dikembangkan menjadi kerajinan gerabah yang tak kalah dengan daerah Kasongan, Jogjakarta.

Namun, seiring dengan maraknya genteng pres yang lebih modern yang banyak diminati para pembeli, permintaan genteng Karang Penang pun menurun. Proyek pembangunan gedung yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Sampang pun tak berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan genteng tradisional tersebut.

Sedangkan upaya pemerintah kabupaten untuk mengalihkan usaha kerajinan genteng menjadi kerajinan keramik sangat sulit dilakukan. Pola pikir warga yang masih enggan beralih menjadi perajin gerabah menjadi kendala bagi pemerintah untuk memberikan pembinaan.

“Sebenarnya, tanah liat di Kecamatan Karang Penang itu tidak hanya bisa dijadikan genteng, tapi bisa dikembangkan menjadi keramik yang sangat prospektif. Namun, untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat ternyata sulit sekali,” terang Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan, Sampang, Ir Winarno.

H Fauzi, salah seorang perajin genting Karang Penang, mengakui dalam beberapa tahun terakhir permintaan pasar semakin sepi. Namun, untuk mengajak perajin genting beralih sebagai perajin keramik tidaklah mudah, karena kerajinan genteng itu sudah turun temurun dari leluhurnya. Kerajinan genteng tidak sekadar sebagai sumber penghasilan, tapi sudah menjadi tradisi keluarga.

“Harga genteng Karang Penang sebenarnya jauh lebih murah dibandingkan genting pabrikan. Harganya berkisar Rp 700-Rp 1.500/buah. Namun, pembeli lebih suka genteng pabrikan sehingga dikhawatirkan banyak perajin genteng tradisional akan gulung tikar karena usahanya sepi,” kata Fauzi.

Biaya produksi yang sangat tinggi, menurut dia, membuat nasib para perajin genteng semakin terpuruk. Ongkos mengangkut tanah liat, untuk satu kali proses pembakaran genting, bisa mencapai lebih dari Rp 3 juta bahkan sampai Rp 6 juta. Sedangkan kayu bakar yang digunakan untuk memanasi tungku membutuhkan biaya sedikitnya Rp 4,5 juta. (Achmad Hairuddin)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 16 Januari 2010

Label: , , , ,

Sentra Kerajinan Cincin Akik di Desa Tragah

Keahlian Turun-Temurun, Kerap Terbentur Modal Usaha

Di wilayah Kabupaten Bangkalan, Desa/Kecamatan Tragah memang dikenal luas sebagai sentra perajin cincin akik. Hastakarya dari para perajinnya sudah dinikmati masyarakat luas. Bahkan mampu menembus luar Madura. Bagaimana proses pembuatannya?

Cincin akik memiliki daya tarik tersendiri. Khususnya bagi para kaum Adam. Terbukti, hingga sekarang cincin akik masih digemari. Sehingga keberadaan para perajinnya pun masih terus eksis. Salah satunya bisa ditemui di Desa/Kecamatan Tragah.

Bahkan, perajin yang mampu menghasilkan produk cincin akik dengan kualitas bagus bisa ditarik untuk diperkerjakan di Surabaya. Di Kota Pahlawan sendiri memang banyak pengepul cincin akik. Sehingga permintaan dan pemesanan cincin lebih banyak dari mereka. Bahkan para pembelinya bukan hanya dari daerah Madura dan Surabaya saja. Tapi juga ada yang dari Malang, Bali, Banjar (Kalimantan), dan daerah di nusantara lainnya.

Koran ini secara khusus menemui Sekretaris Desa Tragah Sugianto untuk mengetahui proses pembuatan cincin akik. Lebih-lebih yang bersangkutan juga merupakan salah satu perajinnya.

Tak jauh dari rumah Sugianto, bertebaran perajin cincin akik lainnya. Salah satunya Hoirul Anam. Lelaki 34 tahun ini terlihat sedang menggarap pesanan pelanggannya.

Mengaku sudah menekuni profesinya selama 22 tahun, Hoirul Anam tampak sibuk menyoder perak yang sudah berbentuk cincin. Dituturkan juga, keahliannya itu diperolehnya secara turun-temurun. "Awalnya, perak dipanaskan dengan soder untuk dibentuk persegi panjang," ujar pria yang menekuni profesinya sejak tamat sekolah dasar ini.

Setelah itu, bahan perak yang sudah dibentuk dipipihkan menggunakan palu dan digunting. Kemudian dipanaskan lagi untuk dibuat bentuk dasar cincin yang diinginkan. Selama proses pembentukan mutlak memerlukan soder. Sesekali bahan perak yang dibentuk dicelupkan ke air keras. Kemudian ditambahkan lagi bahan perak dan disoder kembali, hingga cincin siap diukir dengan kikir khusus yang bentuk dan ukurannya beragam. Ada yang pipih, setengah lingkaran, dan segitiga.

Setelah semua selesai, cincin akan diampelas agar halus. Yang terakhir, cincin harus digosok dengan benang wol yang dipotong sama panjang dengan ukuran beberapa centimeter. Sehingga hasilnya bisa lebih mengkilap.

Hoirul Anam juga mengaku memulai pekerjaannya dari pukul 07.00. Pada pukul 11.30, dia sudah hampir menyelesaikan dua buah cincin yang belum diukir. Untuk mengukirnya, membutuhkan waktu hanya sekitar 20 menit. "Hari ini saya mendapat empat pesanan," akunya sambil berujar bahwa pemesannya berasal dari Surabaya, Sampang, dan Pamekasan.

Untuk menggarap pesanan tersebut, diakui pula harus merogoh modal sendiri. Khususnya untuk membeli bahan baku perak. "Ini yang terkadang cukup menyulitkan. Sebab terkadang kami tidak mengantongi uang," ujarnya.

Untuk itu, mewakili perajin cincin akik lainnya, dia berharap agar ada perhatian khusus dari pemerintah daerah untuk memberi suntikan dana. Sehingga usahanya itu bisa lebih berkembang. "Selama ini, sudah terlalu sering para perajin mengajukan bantuan modal untuk tambahan dana. Namun masih belum berhasil," tuturnya lagi.

Mengenai kemajuan perkembangan penjualan produknya, mayoritas perajin mengaku masih belum signifikan dengan adanya Suramadu. Sebab hingga kini pesanan mayoritas hanya dari para pengepul di Surabaya. Memang ada juga pemesan baru yang umumnya mengetahui dari para pengepul atau dari mulut ke mulut. Itu karena keberadaan perajin ben-emban akik di Desa/Kecamatan Tragah memang sudah dikenal oleh masyarakat luar. (CAHYA LAILIA O.P.)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 28 Desember 2009

Label: , , , ,