Perajin Genteng Karang Penang Terancam Gulung Tikar

Struktur tanah liat yang terkandung di daerah itu merupakan anugerah bagi warga Karang Penang, sebagai bahan baku pembuatan genting. Bahkan, tanah lempung di daerah itu sebenarnya dapat dikembangkan menjadi kerajinan gerabah yang tak kalah dengan daerah Kasongan, Jogjakarta.

Namun, seiring dengan maraknya genteng pres yang lebih modern yang banyak diminati para pembeli, permintaan genteng Karang Penang pun menurun. Proyek pembangunan gedung yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Sampang pun tak berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan genteng tradisional tersebut.

Sedangkan upaya pemerintah kabupaten untuk mengalihkan usaha kerajinan genteng menjadi kerajinan keramik sangat sulit dilakukan. Pola pikir warga yang masih enggan beralih menjadi perajin gerabah menjadi kendala bagi pemerintah untuk memberikan pembinaan.

“Sebenarnya, tanah liat di Kecamatan Karang Penang itu tidak hanya bisa dijadikan genteng, tapi bisa dikembangkan menjadi keramik yang sangat prospektif. Namun, untuk mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat ternyata sulit sekali,” terang Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan, Sampang, Ir Winarno.

H Fauzi, salah seorang perajin genting Karang Penang, mengakui dalam beberapa tahun terakhir permintaan pasar semakin sepi. Namun, untuk mengajak perajin genting beralih sebagai perajin keramik tidaklah mudah, karena kerajinan genteng itu sudah turun temurun dari leluhurnya. Kerajinan genteng tidak sekadar sebagai sumber penghasilan, tapi sudah menjadi tradisi keluarga.

“Harga genteng Karang Penang sebenarnya jauh lebih murah dibandingkan genting pabrikan. Harganya berkisar Rp 700-Rp 1.500/buah. Namun, pembeli lebih suka genteng pabrikan sehingga dikhawatirkan banyak perajin genteng tradisional akan gulung tikar karena usahanya sepi,” kata Fauzi.

Biaya produksi yang sangat tinggi, menurut dia, membuat nasib para perajin genteng semakin terpuruk. Ongkos mengangkut tanah liat, untuk satu kali proses pembakaran genting, bisa mencapai lebih dari Rp 3 juta bahkan sampai Rp 6 juta. Sedangkan kayu bakar yang digunakan untuk memanasi tungku membutuhkan biaya sedikitnya Rp 4,5 juta. (Achmad Hairuddin)

Sumber: Surabaya Post, Sabtu, 16 Januari 2010

Label: , , , ,

’Kampung Genteng’ di Desa Karang Penang

Mayoritas Warganya Bergelut dengan Tanah Liat

Bagi mayoritas warga Karang Penang, Sampang, tanah liat tak ubahnya emas. Dengan mengolah menjadi produk genteng, kehidupan mereka terangkat. Kok bisa?

Dibutuhkan waktu satu jam untuk sampai ke lokasi perkampungan Desa/Kecamatan Karang Penang. Ini karena jarak yang ditempuh sekitar 25 km arah utara Kota Sampang. Apalagi Karang Penang merupakan area pengunungan.

Berbeda dengan wilayah lainnya di kepulauan Madura, Karang Penang memiliki struktur tanah yang cukup istimewa. Sebab sebagian besar tanahnya merupakan tanah liat yang berkualitas bagus. Terutama bila dimanfaakan sebagai bahan baku pembuatan genteng (atap rumah). Sebab tidak mudah retak bila diproses dalam tungku pembakaran.

Tak heran, sebagian besar warga di Karang Penang berorientasi pada pembuatan genteng tanah liat. Bahan baku alami yang mereka miliki dijadikan satu kekayaan alami yang tak dapat ditukar oleh apapun. Hanya berbekal keterampilan mengolah bahan baku tersebut, warga Karang Penang mampu bertahan hidup. Bahkan beberapa di antaranya tergolong hidup berkecukupan.

Seperti yang dialami H Syahri. Dengan hanya bermodalkan tanah liat yang ada di pekarangannya, ayah empat putra ini mampu memasarkan produk lokalnya hingga ke luar Jawa. Biasanya sekali antar pesanan, H Syahri mampu memenuhi permintaan hingga 10 ribu hingga 20 ribu keping genteng.

Padahal harga yang dia kenakan untuk satu keping gentengnya sebesar Rp 700,-. Bayangkan saja berapa keuntungan yang didapat bila permintaan di atas hanya dikenakan untuk satu pemesan saja. Sementara dalam satu bulannya H Syahri mengaku bisa melayani permintaan hingga 2 atau 3 pemesan.

Untuk mampu melayani permintaan pemesan itu, H Syahri mengandalkan tenaga tambahan dari para pekerjanya. Tercatat ada 10 pekerja borongan yang membantu produksi gentengnya. Mereka rata-rata bekerja dengan sistem borongan. "Satu harinya saya mengupah Rp 7.500 - Rp 10 ribu perorang," kata H Syahri.

Sitem kerjanya pun dimulai pukul tujuh pagi hingga tiga sore. Namun begitu, karena sebagian pekerjanya adalah ibu-ibu, jam kerjanya pun kadang disesuaikan dengan hari luang mereka di rumah. "Jika pagi hari mereka masih harus ke pasar, biasanya masuknya pun juga agak telat," jelas H Syahri.

Begitu pula jika sudah siang hari. "Saya biasanya ijin dulu bila merasa jam pulang sekolah anak saya telah tiba," aku Maysaroh, salah seorang pekerja yang saat itu sedang memindah kepingan genteng setengah jadi untuk disimpan di dalam tungku pemanas. Tak heran, keringat di setiap tubuh pekerja bercucuran.

Dari cerita mereka, akhirnya diketahui begaimana proses pembuatan genteng tersebut. Awalnya, tanah liat yang sudah dipilih direndam terlebih dahulu di suatu wadah khusus. Rendaman tersebut dibiarkan hingga semalaman. Ini dimaksud agar tanah liat luwes dan halus kala diproses.

Hasil rendaman tanah liat tersebut dicetak sesuai ukuran. Biasanya, satu rujung tanah liat menghasilkan empat keping genteng. Dari kepingan tanah liat yang sudah dicetak itu lantas dijemur di bawah terik matahari selama setengah hari.

Proses pembuatan genteng tidak berhenti di situ. Kepingan genteng tanah liat setengah matang tersebut nantinya masih dibakar lagi di dalam tungku pemanas. "Ini dilakukan supaya genteng menjadi lebih kuat dan kokoh," jelas Muni, pekerja yang usianya sudah 65 tahun.
Waktu yang digunakan untuk pemanasan genteng adalah 1 hari penuh. Namun karena produksi genteng yang dihasilkan terbilang banyak, maka untuk sau kali proses waktu yang dibutuhkan selama 10 hari.

Berbeda dengan produk lokal lainnya, genteng Karang Penang tak lagi dipusingkan pemasarannya. Sebab sejumlah pemilik industri genteng mengakui sudah mampu menembus areal pemasaran sampai ke luar kota. "Seperti Banyuwangi, Solo dan Probolinggo," kata H Syamsul, warga Karang Penang lainnya yang juga mengandalkan industri pembuatan genteng sebagai penopang hidup keluarganya.

Namun begitu mereka juga masih perlu mempelajari trik dan teknik pemasaran yang lain. Terbukti kini mereka tidak hanya memikirkan bagaimana cara untuk menghasilkan, tapi juga mulai memikirkan tentang teknik perbaikan kualitas. "Saya cukup senang bila ada pihak yang bersedia memberi kami tambahan pengetahuan. Utamanya tentang teknik kemajuan kualitas," harap H Nawi, pemilik industri lainnya.

Apa yang dikatakan sebagain besar warga cukup beralasan. Terlebih bila mengingat kemasan dan tampilan produk daerah lain sudah mulai bercorak warna dibanding produk lokal. "Makanya kita juga ingin bersaing," ujar mereka serentak. (SILVIA RATNA D)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 21 Mei 2008

Label: , , , ,