Sentra Kerajinan Cincin Akik di Desa Tragah

Keahlian Turun-Temurun, Kerap Terbentur Modal Usaha

Di wilayah Kabupaten Bangkalan, Desa/Kecamatan Tragah memang dikenal luas sebagai sentra perajin cincin akik. Hastakarya dari para perajinnya sudah dinikmati masyarakat luas. Bahkan mampu menembus luar Madura. Bagaimana proses pembuatannya?

Cincin akik memiliki daya tarik tersendiri. Khususnya bagi para kaum Adam. Terbukti, hingga sekarang cincin akik masih digemari. Sehingga keberadaan para perajinnya pun masih terus eksis. Salah satunya bisa ditemui di Desa/Kecamatan Tragah.

Bahkan, perajin yang mampu menghasilkan produk cincin akik dengan kualitas bagus bisa ditarik untuk diperkerjakan di Surabaya. Di Kota Pahlawan sendiri memang banyak pengepul cincin akik. Sehingga permintaan dan pemesanan cincin lebih banyak dari mereka. Bahkan para pembelinya bukan hanya dari daerah Madura dan Surabaya saja. Tapi juga ada yang dari Malang, Bali, Banjar (Kalimantan), dan daerah di nusantara lainnya.

Koran ini secara khusus menemui Sekretaris Desa Tragah Sugianto untuk mengetahui proses pembuatan cincin akik. Lebih-lebih yang bersangkutan juga merupakan salah satu perajinnya.

Tak jauh dari rumah Sugianto, bertebaran perajin cincin akik lainnya. Salah satunya Hoirul Anam. Lelaki 34 tahun ini terlihat sedang menggarap pesanan pelanggannya.

Mengaku sudah menekuni profesinya selama 22 tahun, Hoirul Anam tampak sibuk menyoder perak yang sudah berbentuk cincin. Dituturkan juga, keahliannya itu diperolehnya secara turun-temurun. "Awalnya, perak dipanaskan dengan soder untuk dibentuk persegi panjang," ujar pria yang menekuni profesinya sejak tamat sekolah dasar ini.

Setelah itu, bahan perak yang sudah dibentuk dipipihkan menggunakan palu dan digunting. Kemudian dipanaskan lagi untuk dibuat bentuk dasar cincin yang diinginkan. Selama proses pembentukan mutlak memerlukan soder. Sesekali bahan perak yang dibentuk dicelupkan ke air keras. Kemudian ditambahkan lagi bahan perak dan disoder kembali, hingga cincin siap diukir dengan kikir khusus yang bentuk dan ukurannya beragam. Ada yang pipih, setengah lingkaran, dan segitiga.

Setelah semua selesai, cincin akan diampelas agar halus. Yang terakhir, cincin harus digosok dengan benang wol yang dipotong sama panjang dengan ukuran beberapa centimeter. Sehingga hasilnya bisa lebih mengkilap.

Hoirul Anam juga mengaku memulai pekerjaannya dari pukul 07.00. Pada pukul 11.30, dia sudah hampir menyelesaikan dua buah cincin yang belum diukir. Untuk mengukirnya, membutuhkan waktu hanya sekitar 20 menit. "Hari ini saya mendapat empat pesanan," akunya sambil berujar bahwa pemesannya berasal dari Surabaya, Sampang, dan Pamekasan.

Untuk menggarap pesanan tersebut, diakui pula harus merogoh modal sendiri. Khususnya untuk membeli bahan baku perak. "Ini yang terkadang cukup menyulitkan. Sebab terkadang kami tidak mengantongi uang," ujarnya.

Untuk itu, mewakili perajin cincin akik lainnya, dia berharap agar ada perhatian khusus dari pemerintah daerah untuk memberi suntikan dana. Sehingga usahanya itu bisa lebih berkembang. "Selama ini, sudah terlalu sering para perajin mengajukan bantuan modal untuk tambahan dana. Namun masih belum berhasil," tuturnya lagi.

Mengenai kemajuan perkembangan penjualan produknya, mayoritas perajin mengaku masih belum signifikan dengan adanya Suramadu. Sebab hingga kini pesanan mayoritas hanya dari para pengepul di Surabaya. Memang ada juga pemesan baru yang umumnya mengetahui dari para pengepul atau dari mulut ke mulut. Itu karena keberadaan perajin ben-emban akik di Desa/Kecamatan Tragah memang sudah dikenal oleh masyarakat luar. (CAHYA LAILIA O.P.)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 28 Desember 2009

Label: , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda