Demi Ogoh-ogoh, Yasinan Pun Dimajukan
Menyusuri komunitas-komunitas Hindu di Gresik Selatan, pinggiran Surabaya, kita akan mensyukuri nikmat kedamaian.
Masuk ke Dusun Laban Kulon, Desa Laban, Kecamatan Menganti, tampak deretan penjor tinggi menjulang. Penjor, tiang bambu dihias ukiran janur, adalah perlambang keagungan Tuhan. Penjor biasanya dipasang menyambut hari-hari besar agama Hindu.
Meski bukan mayoritas, komunitas Hindu di Dusun Laban Kulon tergolong besar. Menurut Supriyanto, Kepala Desa Laban, warga penganut Hindu di Dusun Laban Kulon sekitar 300 KK atau 700-800 jiwa. Angka ini tergolong besar untuk ukuran komunitas Hindu di pinggiran Surabaya.
“Meski begitu, angka ini terbilang menyusut dibanding di masa Lurah Jaman dulu,“ kata Supriyanto.
Yang justru terpupuk, kata Supriyanto, adalah kerukunan antar warga. Meski berbeda agama, toleransi mereka sangat tinggi.
“Arak-arakan ogoh-ogoh dalam rangkaian tawur agung digelar Rabu (25/3) malam. Padahal, tiap Rabu malam warga Muslim di sini menggelar yasinan. Namun untuk menghormati warga Hindu yang akan merayakan Nyepi, warga Muslim mengalah. Yasinan mereka ajukan menjadi hari Selasa hingga tak ada aktivitas apa pun yang menandingi tawur agung di malam itu,“ kata Supriyanto.
Malah, tiga tahun belakangan ini pawai ogoh-ogoh menjadi acara besar di Desa Laban. Pawai yang tadinya hanya keliling dusun, kini keliling desa, termasuk melintasi jalan raya Surabaya-Gresik.
Klaim persatuan ini diakui Gondo, salah satu penganut Hindu tertua di dusun Laban Kulon.
“Kami tak pernah bertengkar karena agama. Anak saya bahkan ada yang Islam dan sudah berhaji pula,“ katanya.
Ya, masuk ke gang-gang di Dusun Laban Kulon, kita akan merasa tenang. Jamaah salat di masjid dusun, misalnya, langsung disambut penjor Nyepi. Maklum, penghuni rumah depan masjid adalah penganut Hindu. Selain itu, pengajian-pengajian yang digelar warga Muslim pun tidak pernah menyinggung kejelekan agama atau penganut agama lain. Sebaliknya, penganut Hindu juga tak pernah mempermasalahkan adzan yang berkumandang dari masjid 5 kali sehari.
Menurut Supriyanto, bisa jadi tingginya toleransi ini adalah warisan dari sikap nasionalis mereka. “Tidak ada partai religius yang menang di sini. Di sini basisnya PDIP,“ katanya.
Ciri nasionalis itu, kata Supriyanto, terepresentasi pula dalam Pemilihan Kepala Desa sekitar 2 tahun lalu. Dari 7 calon, 2 calon nasionalis mendapat posisi terhormat. Yang satu lolos menjadi kepala desa, yakni Supriyanto, yang satu lagi ada di posisi ketiga.
“Sementara lima calon dari kelompok religius semua ada di papan bawah. Satu-satunya calon kelompok ini yang ada di posisi atas hanyalah lurah incumbent, yakni di posisi kedua,“ kata Supriyanto.
Kerukunan warga tampak makin nyata saat ngembak geni, “lebaran“ Hindu setelah sehari semalam menjalani catur brata penyepian. Sama seperti saat pawai ogoh-ogoh, Dusun Laban Kulon kembali ramai. Kali ini oleh warga yang saling unjung-unjung, bertandang dari satu rumah ke rumah lain. Dalam kegembiraan. Dalam kebersamaan. spd
Sumber: Surabaya Post, Senin, 30 Maret 2009
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda