Buku "Tembang Macapat Madhura"

Sarat Makna, Butuh Konsentrasi dan Keseriusan

Macapat adalah salah satu salah satu kesenian tradisional. Seni membaca tembang yang berasal dari tanah Jawa ini juga berkembang sampai ke Pulau Madura. Namun, kini mulai terpinggirkan dan ditinggal masyarakatnya, khususnya di Madura. Mengapa?

Macapat mengandung makna dalam. Dengan mendengarnya, bisa menyejukklan hati. Apalagi jika bisa tahu maknanya, akan sangat berarti dalam kehidupan.

Namun, seiring dengan berkembangnya berbagai musik modern, saat ini seni macapat kurang digemari. Berdendang dengan dengan macapat dianggap kuno atau malah katrok.

Meski dengan peminat sedikit, macapat masih bertahan. Dan tidak menutup kemungkinan orang kota juga menggemari kesenian macapat, meski yang menggemari sebatas kalangan tua. Para anak muda kini lebih suka jenis kesenian yang lebih atraktif. Seperti band, tari-tarian, hingga dangdut.

Alasannya mudah. Kesenian modern mudah ditiru dan dipahami. Sementara macapat, kata Kadarisman Sastrodiwirjo, banyak membutuhkan konsentrasi dan keseriusan dalam memelajarinya.

"Saya saja sulit memahami tembang-tembang macapat. butuh semangat dan kemauan yang tinggi untuk bisa memahami tembang macapat," katanya saat bedah buku kemarin.

Kadarisman adalah anak dari Oemar Sastrodiwirjo, sang penulis macapat. Wabup Pamekasan yang akrab dipanggil Dadang ini memang dikenal sangat peduli dengan seni budaya Madura.

Layaknya tembang dalam ketoprak, ludruk maupun wayang, macapat juga memiliki berbagai macam tembang. Dalam satu jenis tembang butuh waktu berbulan-bulan agar bisa melantunkannya.

Dengan diluncurkannya buku Tembang Macapat Madhura karya Oemar Sastrodiwirjo ini, diharapkan beberapa guru dapat memelajari dan meneruskannya kepada siswa. Sehingga kesenian macapat dapat mengubah kehidupan generasi muda yang berakhlak mulia.

Kasi Budaya Dinas P dan K Pamekasan Khalifaturrahman mengatakan, peluncuran buku Tembang Macapat Madhura merupakan suatu pelestarian kesenian budaya Madura, khususnya di Pamekasan. Dengan buku ini nantinya diharapkan generasi sekarang bisa merasakan hasil karya kuno yang sarat dengan makna.

Peluncuran buku ini dihadiri budayawan Zawawi Imron. Ia mengatakan, dulu, walaupun sudah tua, (alm) Oemar Sastrodiwirjo tetap merampungkan buku Parebhasan Ban Saloka Madhura juga buku Tembhang Macapat. "Dengan hadirnya buku ini, kita diharapkan dapat belajar kepada Oemar Sastrodiwirjo. Tentunya akan lebih bahagia jika kita kenal dengan Oemar Sastrodiwirjo," katanya.

Dia menjelaskan, zaman dulu mamaca merupakan kesenangan yang utama. Selain menyenangkan juga dapat menghilangkan kesusahan hidup. Tembang-tembang itu bisa diambil oleh setiap orang yang halus budi pekertinya. Apa saja yang dapat diambil dari tembang itu, dapat dijadikan sebagai langkah dalam kehidupan.

"Jadi, bisa diucapkan untuk perjalanan hidup penuh kesempurnaan dunia dan akhirat," katanya. (HARISANDI SAVARI)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 21 Juli 2008

Label: , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda