Pondok Pesantren Darussalam di Pamekasan

Kedepankan Rasa Beragama, Mantapkan Kesalehan Sosial

Pondok pesantren (ponpes) di dalam kota, terhimpit kehidupan modern sekitarnya. Tetapi, Ponpes Darussalam di Jl KH Shinhaji terus bertahan. Ponpes ini tekankan religiusitas dengan mengutamakan kesalehan sosial. Mengapa?

Memasuki kawasan pesantren di Jl KH Shinhaji, seperti memasuki kota santri. Di sore hari kemarin, para santri berduyun-duyun ke masjid Darusalam. Para santriwati mengenakan mukena dan santri memakai busana muslim. Mereka bersiap salat asar sampai maghrib di pesantren tertua yang berada di dalam kota Gerbang Salam ini.

Menjelang maghrib, para santri bersiap diba’an dan salawatan di pondok yang didirikan sesepuh NU Pamekasan KHR Syakrani. Di zamannya, Syakrani cukup populer sebagai tokoh Anshor. Bahkan nama Syakroni, tetap terkenal sampai saat ini. Di era 70-an, pondok ini dikenal dengan pondok modern.

Saat itu, di pondok ini terdapat lembaga pendidikan muallimin dengan lama belajar enam tahun. Lulus muallimin berarti telah menyelesaikan setingkat tsanawiyah dan aliyah dalam satu kali tempuh. Kemudian dari muallimin beralih menjadi Mts (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah).

Ponpes Darussalam, kini dilanjutkan generasi almarhum Syakrani, KHRP Thoriq Syakrani M.Si. Kaum santri terbagi dua. Yakni muqimin (menetap di pondok) dan colokan (santri yang berada di pondok pada jam pembelajaran).

Sebagian santri terdiri atas kaum perempuan di usia belajar setingkat SD - SMA. Mereka menempa ilmu agama mulai dari membaca Alquran, diba’an, tahlilan, belajar khitabah, dan salawatan.

Menurut pengasuh KHRP Thoriq Syakrani, titik tekan pendidikan di pondoknya berpaut dengan penguatan agama. Ini diberlakukan lantaran generasi yang tinggal di perkotaan terancam secara akidah dan akhlakul karimah. Bila tidak dikuatkan, Thoriq kawatir mentalitas remaja kian rapuh dan mudah menerima budaya negatif.

Selain itu, pria bergelar raden panji itu menerapkan kesalehan sosial dan saling membantu. Alasannya, masa depan sosial penduduk perkotaan terancam. Menurutnya, zaman modern cenderung menghendaki rasa sosial agar kian tercerabut. Akibatnya, masyarakat perkotaan memilih hidup secara individualistis. Terutama masyarakat yang berada di kota besar. "Kami sangat prihatin masa depan persaudaraan di perkotaan," tuturnya.

Selain itu, ponpes Darussalam menerapkan tradisi NU yang diwariskan pendahulunya. Dia menganggap doa sebagai sadaqah bagi orang lain yang memerlukan. Ayah tiga orang anak itu menerapkan rasa keberagamaan dan kesalehan sosial dalam tradisi NU. Di tradisi NU, katanya, pendekatan kultural lebih diterima masyarakat.

Secara tak langsung, NU menerapkan tiga hal sekaligus. Yakni pemantapan berakidah, berakhlakul karimah, dan berbagi kasih dengan masyarakat. Misalnya, santri seringkali dilibatkan dalam acara yang berbaur dengan masyarakat. "Kami sentuh santri dengan tidak membiarkan orang lain sengsara," ungkapnya. (ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 07 Mar 2008

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda