Pondok Pesantren Al-Asror di Kampung Keramat, Desa Ujung Piring

Setiap Tahun Tugasi Santrinya Mengajar ke Bali

Setiap santri yang sudah mengenyam pendidikan tsanawiyah diberi penugasan mengajar. Tidak hanya dikirim ke pulau Jawa, beberapa santri juga dikirim ke pulau yang mayoritas penduduknya beragama Hindu untuk morok agama. Bagaimana pondok pesantren ini mendidik santrinya?

Di Kaampung Kramat, terdapat 3 pondok pesantren. Satu sama lain letaknya cukup berdekatan. Satu di antaranya adalah Ponpes Al-Asror.

Lokasi ponpes yang satu ini tergolong mudah dijangkau dari dua penjuru. Baik melalui jalan aspal dari arah Kota Bangkalan maupun jalan beraspal Kecamatan Socah.

Meski demikian, lokasi persisnya memang sedikit menjorok ke dalam dari jalan beraspal. Kira-kira 100 meter. Saat Koran ini mengunjunginya dengan kendaraan roda dua, yang kali pertama dilihat adalah beberapa santri yang sedang bersantai sambil menunggu waktu morok. Saat itu, matahari memang masih sepenggalah.

"Rumah kiai ada di sebelah sana," ujar salah seorang santri Al-Asror sambil menunjuk rumah pengasuh ponpes di arah selatan gerbang.

Sesampainya di salah satu rumah sederhana, wartawan Koran ini disambut hangat oleh seorang perempuan. "Silahkan masuk dulu, saya panggilkan sebentar," kata perempuan yang ternyata istri salah satu pengasuh ponpes.

Tak berselang lama, muncul pria mengenakan baju serba putih. Dialah KH Abd. Adim Hoszen. Kali pertama membuka pembicaraan, yang bersangkutan langsung menjelaskan kalau dirinya bukan satu-satu pengasuh di ponpes tersebut. "Sebenarnya pengasuhnya bukan saya saja. Kakak saya, KH Akrom Hoszen juga. Tapi dia sekarang sedang sakit," terangnya.

Sejak kakaknya jatuh sakit, tugas morok ditanganinya sendiri dengan salah seorang santri tugas dari Ponpes Sidogiri.

Menurut dia, ponpes yang sudah berdiri 5 tahun setelah kemerdekaan RI tersebut, sengaja mengambil barokah dari Ponpes Sidogiri Pasuruan. Maka itu, banyak santri yang berhasil dalam penugasannya di luar pulau. Tradisi tersebut tak ubahnya santri-santri didikan Sidogiri.

"Sistem pembelajaran di ponpes ini sama dengan santri tradisional lainnya, yaitu salafiah murni," paparnya.

Setiap harinya, lanjutnya, santri morok Alquran setelah menunaikan salat Maghrib selama 1 jam lamanya. Usai salat Isya’, morok dilanjutkan dengan memelajari kitab tentang sejarah Islam dan hadist-hadist riwayat.

"Itu berlangsung sampai pukul 10 malam. Di atas jam itu, santri diperbolehkan istirahat," ulasnya.

Dini hari, sambungnya, santri harus sudah bangun tepat pukul 03.00 untuk morok sambil menunggu waktu salat Subuh. Lalu para santri bergotong royong membersihkan lingkungannya, hingga waktu masuk kelas madrasah.

Di madrasah, baik ibtidaiyah maupun tsanawiyah, para santri menghabiskan waktunya untuk belajar hingga tengah hari. "Yang jelas dalam sehari santri tidak punya waktu kosong sama sekali," tegasnya.

Dia mengemukakan, dengan sistem pembelajaran tersebut, santri akhirnya terbiasa belajar ketat. Sehingga santri lulusan salah satu ponpes tertua di Bangkalan ini kualitasnya teruji. Karena itu, ponpesnya selalu menerima permintaan untuk mengirim santri tugas. Tak hanya di seputaran Bangkalan dan wilayah Madura, namun juga di sejumlah wilayah Pulau Jawa.

Bahkan, untuk tahun ini sekitar 30 santri dikirim ke luar pulau. Tiga di antaranya diminta mengajar madrasah di pulau Bali.

"Kami memberikan batasan para santri yang dikirim ke ponpes lain. Begitu lulus madrasah tsnawiyah, kami langsung beri penugasan itu," ungkapnya.

Penugasan berlangsung selama satu tahun. Santri yang dikirim, rutin diberangkatkan pada tanggal 20 Syawal dan kembali tepat tanggal 20 Sya’ban. "Alhamdulillah, santri tidak pernah keberatan. Bahkan mereka sangat senang," tandasnya.

Kendati setiap tahun mengirim santri tugas keluar ponpes, KH Adim mengaku tidak pernah kekurangan santri di ponpesnya. Tahun ini, ada sekitar 120 santri dan santriwati sedang menuntut ilmu agama di ponpes ini. Mayoritas mereka datang dari Kecamatan Socah, Jeddih dan Desa Ko’ol di Kecamatan Klampis. Ada juga sebagian dari santrinya yang datang dari pulau Kalimantan.

Yang patut diajungi jempol, meski jumlah santrinya terbilang cukup banyak, tapi tidak membuat pengasuh berupaya memugar bangunan ponpes. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga keaslian bangunan ponpes tersebut. Namun, sesekali ada bantuan dari sejumlah pihak untuk membangun fasilitas ponpes. "Beberapa waktu yang lalu ada bantuan dari KH Safik Rofi’i berupa dana penambahan kamar mandi," ungkapnya.

Sementara pembiayaan ponpes berasal dari pengasuh dan dari iuran bulanan santri. Setiap santri perbulannya diminta menyumbang untuk pembayaran listrik dan keperluan lainnya. "Kami sampai saat ini belum pernah minta bantuan pada pemerintah," tuturnya.

Namun, dia berharap pemerintah agar lebih memerhatikan keberadaan ponpes-ponpes yang ada di Bangkalan. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 18 Apr 2008

Label: , , ,

1 Komentar:

Pada 28 April 2008 pukul 13.19 , Blogger AK Sentika mengatakan...

Alhamdulillah kampung halaman saya masuk ke dunia maya, dengan mengenalkan ponpes Al-Asror.
Walaupun menurut KH Abd. Adim Hoszen salah satu pengasuh ponpes tsb bahwa belum pernah minta bantuan pada pemerintah, tetapi beliau mengharapkan pemerintah agar lebih memerhatikan keberadaan ponpes-ponpes yang ada di Bangkalan.
Saya kira pemerintah secara rutin mensubsidi ponpes-ponpes yang masih relatif sederhana. Walaupun Al-Asror hampir mencapai usia 60 tahun, tetapi bangunan phisiknya kalah dengan ponpes-ponpes lain yang relatif baru.
Di kampung Kramat juga, disebrang jalan ponpes Al-Asror ada juga ponpes, kalau tidak salah namanya Mistahul 'Ulum yang dipimpin oleh KH Habir Hamid, saya kira perlu di korek juga apa visi dan misi nya.
Sekian, semoga kekangenan saya saya akan kampung halaman terobati.

Wassalam

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda