Karapan Sapi Makin Mengerikan

Di Balik Gebyar Ikon Wisata Madura


Kerapan sapi yang menjadi aset budaya Madura dan menjadi tontonan yang menghibur, lama-kelamaan bergeser. Sebagian warga mulai ngeri melihat sapi-sapi karapan disiksa agar bisa lari kencang dalam lomba demi gengsi yang diwarnai perjudian.

Tak hanya itu, pemilik sapi juga tirakatan puasa 40 hari untuk menghindari sapi miliknya tidak terkena petaka.

Sebagian warga berharap adu cepat pasangan sapi di lintasan lapangan sepanjang 185 meter itu dikembalikan ke bentuk awal, sebagai tontonan yang menyenangkan. Namun, ini tidak gampang. Sebagian pelaku menyatakan keberatan.

Susraji, 43, pemilik pasangan sapi Kala Jengking, peraih juara harapan II, Piala Presiden 2010, menolak klaim melukai pantat sapi saat tanding sebagai penyiksaan. Sus, demikian ia dipanggil, menyatakan sapi aduan perlu dirangsang agar tidak loyo. “Paku yang kami pakai untuk melecut itu ukurannya kecil sehingga lukanya tidak parah dan lekas sembuh,” tutur warga Kampung Solo Laok, Desa Murtajih, Kec Pademawu, Pamekasan, ini, Rabu (27/10).

Selama 30 tahun Sus memelihara sapi karapan dan belasan kali ikur lomba, semua joki menggunakan kayu dengan ujung diberi paku yang ditusuk-tusukkan ke pantat sapi, saat sapi dilepas di arena lintasan karapan sapi. “Luka itu dibasuh air hangat campur garam dan diberi suntikan obat, cepat sembuh,” tuturnya.

Semua pemilik sapi karapan, lanjutnya, ingin jagonya menang. Karenanya, joki mengoleskan balsem di sekitar mata dan menusuk-nusukkan paku ke pantat sapi, agar hewan ini beringas lalu lari kencang seperti dikejar setan. Itu selain jamu racikan dan telur 101 butir per hari selama dua minggu atau sebulan menjelang karapan.

Dulu, katanya, saat ia masih kanak-kanak, joki hanya menarik ekor agar sapi lari kencang. Beberapa tahun kemudian, mereka memakai lecut terbuat dari dua irisan bambu ukuran 30 cm yang ujungnya (20 cm) dibelah tiga, yang 10 cm dijadikan pegangan. Lecut bambu ini dipukulkan terus menerus ke pantat sapi sehingga mengeluarkan bunyi ceplak -ceplak.

Selanjutnya, joki memasukkan lingkaran karet dari ban mirip cincin. Lingkaran dalamnya diberi paku. Sebelum sapi di lepas, lingkaran karet itu dimasukkan ke ekornya dan digerak-gerakkan, sehingga sapi berjingkrak-jingkrak kabur sekuat tenaga.

Asmar, 45, warga Bengserreh, Kec Sepuluh, Bangkalan, menyatakan, perlakuan terhadap sapi karapan merupakan bagian dari budaya. “Luka-luka itu akan sembuh hanya dalam satu malam,” terang pemilik sapi Bola Pusaka dan Congkrong ini.

Sapi karapan, katanya, tak hanya dicambuki, melainkan juga dipelihara dengan baik, bahkan dimanjakan. Menjelang lomba, satu ekor sapi karapan diberi makan 101 butir telur per hari dan ramuan rempah-rempah. “Biaya perawatan sangat mahal,” tuturnya. Hal senada juga diungkapkan mantan perawat sapi kerap, H Abdul Hadi, warga Sanggra Agung, Kec Socah. Menurutnya, sapi-sapi karapan dicekoki telur sejak H-30 sebelum lomba. “Tak hanya itu, pemilik sapi juga tirakatan puasa 40 hari untuk menghindari sapi miliknya tidak terkena petaka,” terangnya. Ia menambahkan, agar sapi lebih tenang, pemilik sengaja mendatangkan penabuh musik seronen (gending Madura).

Apa pun argumen para pemilik sapi karapan, sebagian warga Madura saat ini merasakan ada kengerian dalam karapan sapi. Ada yang berubah. Sapi-sapi karapan menjadi simbol prestisye. Tak semua orang bisa memiliki pasangan sapi yang harganya mencapai ratusan juta rupiah, terutama bagi yang jawara. Hanya kalangan berduit yang mampu merawat sapi karapan.

Selangitnya harga sapi jawara menjadikan orang berlomba-lomba dan bermimpi agar memiliki sapi bergengsi ini. Tak hanya itu, karapan sapi juga telah menjadi ajang perjudian, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Gengsi dan judi telah mengubah budaya karapan. Waktu pertunjukan menjadi semakin panjang, dua hari. Padahal, sebelumnya hanya sehari. Sjaifuddin Miftah, budayawan, menilai karapan sapi sekarang sudah melenceng. Dulu, katanya, tidak ada penyiksaan sapi, apalagi perjudian.

Sebelum tahun 50-an, katanya, karapan sapi Gubeng (besar) benar-benar menjadi pesta rakyat Madura. Beberapa hari sebelum karapan memperebutkan piala presiden digelar, suasana Kota Pamekasan berubah. Di sepanjang jalan di tengah kota, siang malam dipadati calon pengunjung dari luar Pamekasan. Bahkan, beberapa pemilik sapi dan krunya, menginap sambil menanak nasi.

Beberapa saat sebelum karapan sapi digelar, pemilik sapi mengarak jagonya keliling lapangan diiringi musik seronen dan mengikutsertakan beberapa istri pemilik sapi. Tapi, sekarang sudah ada ritual itu, termasuk pertunjukan tari picot yang melibatkan anak-anak muda Madura.

Perubahan ini yang membuat kalangan dewan berhasrat mengembalikan karapan seperti dulu, tanpa penyiksaan dan menjadi tontonan yang menghibur. Wakil Ketua DPRD Pamekasan Khairul Kalam, SSos. Ia berharap sistem karapan sapi dikembalikan ke semula, tetap menarik, tanpa penyiksaan fisik dan lama pelaksanaan dipercepat, tidak sampai molor hingga dua hari. (sin/st32)

Sumber: Surya, 28 Oktober 2010

Label: , ,

Hentikan Kekerasan dalam Karapan Sapi

Foto : Surya/Dodo Hawe
Wakil Ketua DPRD Pamekasan, Madura, Jawa Timur, Khairul Kalam, meminta tradisi kekerasan dalam pelaksanaan lomba karapan sapi di wilayah tersebut bisa dihentikan. “Kalau dibicarakan sejak awal antara semua pihak, antara pihak panitia pelaksana dan pemilik sapi karapan saya kira bisa dihentikan,” kata Khairul Kalam, Kamis (14/10/2010).

Pernyataan Khairul ini disampaikan menanggapi protes sebagian warga tentang praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi yang biasa terjadi di Madura. Hanya, menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi itu membutuhkan waktu yang lama, karena menyangkut kebiasaan. “Soalnya itu kan sudah menjadi tradisi turun temurun dari dulu,” katanya.

Selain itu, pemerintah daerah baik Pemkab, Bakorwil dan Pemprov, juga memiliki peran penting dalam menghentikan praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi tersebut. “Demikian juga dengan para tokoh masyarakat dan ulama yang ada di Madura, harus ada ketegasan bagaimana hukumnya menyiksa hewan sebagaimana dalam praktik karapan sapi yang terjadi selama ini,” katanya.

Politikus dari Partai Demokrat (PD) ini menambahkan, budaya karapan sapi sebenarnya merupakan warisan budaya leluhur warga Madura. Pada awalnya, karapan sapi di Madura ini tanpa kekerasan dan murni hanya dilakukan untuk adu kecepatan lari sapi pasangan sapi.

Karapan sapi menjadi tontotan menarik, karena selain bisa menyaksikan adu kecepatan lari sapi. Biasanya dalam pelaksanaan karapan sapi, khususnya juga diiringin dengan musik saronen yakni jenis musik yang memang menjadi musik pengiring dalam pelaksanaan karapan sapi.

Menodai Budaya

Usulan menghapus praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi sebelumnya juga telah disampaikan sejumlah aktivis mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bahkan organisasi ini menilai, praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi sebenarnya telah menodai khazanah budaya peninggalan leluhur sesepuh Madura tersebut.

“Cara-cara yang dilakukan dalam karapan sapi sudah menyimpang, baik dari sisi prikehewanan ataupun dari nilai-nilai agama,” kata Azis Maulada, dari Lembaga Pengelola Latihan (LPL) HMI cabang Pamekasan.

Praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi ini dilakukan dengan cara membacokkan paku ke pantat sapi agar larinya kencang, serta memoleskan balsem dan cabe ke mata hewan itu sesaat sebelum dikerap.

Sumber: Surya, Jumat, 15 Oktober 2010

Label: ,

Penyiksaan dalam Karapan Sapi Akan Dibahas Dewan

Pihak DPRD Pamekasan, Jawa Timur, berencana melakukan koordinasi dengan dewan di tiga kabupaten lain di Madura terkait praktik penyiksaan dalam pelaksanaan karapan sapi. Hal itu dikatakan Ketua Komisi B DPRD Pamekasan, Hosnan Ahmadi, Senin (18/10/2010).

Hosnan menyatakan, langkah itu perlu dilakukan mengingat praktik penyiksaan dalam pelaksanaan lomba karapan sapi tidak hanya terjadi di Pamekasan namun juga di tiga kabupaten lain di Madura, seperti Bangkalan, Sampang dan Kabupaten Sumenep. “Itu langkah pertama yang perlu dilakukan. Jika antarlembaga legislatif sudah tercapai kesepakatan maka kami tinggal melakukan penekanan kepada pihak eksekutif untuk membuat aturan dalam pelaksanaan karapan sapi ini yang tanpa penyiksaan,” paparnya.

Ia menjelaskan, jika hanya DPRD Pamekasan yang melakukan penekanan dengan meminta pemkab membuat ketentuan berupa larangan melakukan penyiksaan dalam pelaksanaan karapan sapi tersebut —sedangkan di kabupaten lain tidak— maka hal itu akan sia-sia.
Oleh karenanya, sambung Hosnan, koordinasi antara lembaga legislatif di Madura perlu dilakukan lebih dahulu, sebelum akhirnya dewan memberikan penekanan terhadap pihak eksekutif, terkait penyelesaian persoalan praktik penyiksaan dalam pelaksanaan karapan sapi tersebut.

Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini menambahkan, akibat adanya praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi tersebut, citra ‘karapan’ sebagai khazanah budaya masyarakat Madura kini menjadi tercoreng. Bahkan yang mengemuka di masyarakat saat ini adalah seolah mempertontonkan penyiksaan manusia terhadap hewan, ketika sapi karapan yang dilombakan itu harus dibacok dengan paku agar laringan kencang dan kedua matanya diolesi cabai dan balsem.

“Jangankan masyarakat luar Madura, masyarakat Madura sendiri sampai saat ini masih banyak yang tidak mau menonton karapan sapi karena tidak tega terhadap pembacokan yang dilakukan oleh pemiliknya,” tutur Hosnan Ahmadi.

Sebelumnya, Bupati Pamekasan Kholilurrahman juga mengajak warga untuk ikut menyuarakan penolakan terhadap praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi. Menurut dia, hal itu perlu dilakukan karena penghapusan praktik kekerasan dalam pelaksanaan karapan sapi tersebut bisa dilakukan jika ada kesepakatan dari semua pihak. Baik pemerintah, masyarakat pemilik sapi ataupun tokoh masyarakat dan tokoh ulama di Madura.

Sumber: Surya, Selasa, 19 Oktober 2010

Label: ,

Mata Dibalsem, Pantat Dipaku

Wakil Rakyat Pamekasan Gagas Stop Penyiksaan Sapi Karapan

Karapan sapi tak terpisahkan dari masyarakat Madura dan membuat Pulau Garam itu mendunia. Tetapi, ada yang harus dihapuskan dari tradisi balapan sapi ini, yaitu penyiksaan. Upaya penghapusan secara sistematis mulai dilancarkan pemerintah.

Karapan sapi bukan sekadar pesta tahunan turun-temurun rakyat Madura. Lebih jauh dari itu, karapan sapi merupakan ajang 'narsisme' pemilik sapi. Mereka bisa membanggakan diri saat memamerkan sapi jawara, karena artinya, mereka mampu mengeluarkan duit jutaan rupiah untuk mencetak sapi yang mampu lari cepat.

Demi mendapatkan sapi jawara, pemilik sapi kadang berlebihan memperlakukan sapi. Contoh sederhana, bukan mobil yang mereka pajang di garasi rumah, tetapi sepasang sapi karapan. Prestise mereka pun naik di kalangan warga sekitarnya.

Sapi-sapi itu pun dimanjakan luar biasa. Agar berstamina tinggi dan tetap fit selama lomba, sapi-sapi itu dicekoki jamu berikut ratusan butir telur ayam kampung, serta pijatan khusus pada tubuh sapi. Unsur gaib pun tak ketinggalan. Bebat berisi mantra di kepala sapi menandakan keterlibatan paranormal dalam urusan itu.

Layaknya lomba Formula 1 atau MotoGP, setiap pasangan sapi karapan punya tim. Misalnya tukang tongko’ (joki, Red) dan tukang tambeng (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu). Tukang getak (penggertak sapi agar berlari cepat), dan tukang gubra (suporter di luar arena).

Sapi karapan dibedakan tiga macam, sapi cepat panas, sapi dingin, dan sapi kowat kaso (tahan lelah, Red). Untuk sapi cepat panas, menjelang diadu, diolesi bedak panas atau balsem agar cepat terangsang. Sapi dingin, tubuhnya lebih dicambuk berulang-ulang. Sedang sapi kowat kaso, sebelum diadu diperlukan pemanasan.

"Malam sebelum lomba, pasangan sapi bersama pemilik dan kerabatnya menginap di arena karapan," kata Abdul Kadir, warga Waru, mantan pemilik sapi karapan.

Nah, setelah itu dimulailah sesi penyiksaan. Agar bisa melesat di lintasan 180 meter, sapi itu harus dilecut dengan cambuk atau kayu berpaku. Agar bisa lari secepat kilat, pangkal ekor sapi dipasangi sabuk berpaku. Harapannya, rasa sakit akibat tusukan paku di pantat itu akan bisa memaksa sapi lari lebih cepat lagi. Umumnya, lintasan 180 meter itu ditempuh antara 12-18 detik.

Itu masih di sektor buritan. Di bagian depan, di sekeliling mata sapi, diolesi balsem. Tujuannya sapi tidak diam dan terus bergerak-gerak seperti hendak kabur.

Tak mengherankan, kalau kemudian terlihat pantat sapi bercucuran darah begitu sampai di finis. Bagi sapi pemenang, siksaan belum berhenti, karena mereka masih harus mengikuti babak-babak selanjutnya.

Namun, tradisi berpuluh tahun itu mulai menggelisahkan anggota DPRD Pamekasan, untuk menyetop penyiksaan itu.

"Kami akan berkoordinasi dengan DPRD se-Madura, terkait praktik penyiksaan dalam karapan sapi," kata Ketua Komisi B DPRD Pamekasan, Hosnan Ahmadi, Senin (18/10).

Kata Hosnan, penghapusan penyiksaan dalam lomba karapan sapi tidak bisa hanya dilakukan di Pamekasan, karena Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Sumenep juga punya tradisi kuat karapan sapi. Ia menjelaskan, kalau hanya Pamekasan yang bertindak, maka upaya itu sia-sia. “Jika antarlembaga legislatif sudah sepakat, kami tinggal menekan eksekutif agar membuat aturan karapan yang minus penyiksaan,” katanya.

Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini menambahkan, praktik penyiksaan itu mencoreng citra masyarakat Madura. “Jangankan yang di luar, masyarakat Madura pun banyak yang tidak mau menonton karapan sapi karena tidak tega terhadap pembacokan yang dilakukan oleh pemiliknya,” tutur Hosnan.

Sebelumnya, Bupati Pamekasan Kholilurrahman juga mengajak warganya menolak praktik kekerasan dalam karapan sapi. “Upaya penghapusan kekerasan itu sia-sia tanpa dorongan dari pemerintah dan masyarakat, termasuk pemilik sapi.

Baik pemerintah, masyarakat pemilik sapi, ataupun tokoh masyarakat dan tokoh ulama di Madura. Dalam wawancara sebelumnya, tokoh ulama Madura KH Munif Sayuti menyatakan, penyiksaan hewan dalam karapan sapi haram dan perlu dihentikan.

Caranya, kata Munif, pemerintah daerah harus mengeluarkan aturan yang melarang peserta karapan sapi melakukan penyiksaan. “Atau menganggap kalah pasangan sapi karapan yang menggunakan kekerasan, meski sapinya finis paling cepat,” katanya. (Mukhsin)

Sumber: Surya, 19 Oktober 2010

Label: ,