Mata Dibalsem, Pantat Dipaku
Wakil Rakyat Pamekasan Gagas Stop Penyiksaan Sapi Karapan
Karapan sapi tak terpisahkan dari masyarakat Madura dan membuat Pulau Garam itu mendunia. Tetapi, ada yang harus dihapuskan dari tradisi balapan sapi ini, yaitu penyiksaan. Upaya penghapusan secara sistematis mulai dilancarkan pemerintah.
Karapan sapi bukan sekadar pesta tahunan turun-temurun rakyat Madura. Lebih jauh dari itu, karapan sapi merupakan ajang 'narsisme' pemilik sapi. Mereka bisa membanggakan diri saat memamerkan sapi jawara, karena artinya, mereka mampu mengeluarkan duit jutaan rupiah untuk mencetak sapi yang mampu lari cepat.
Demi mendapatkan sapi jawara, pemilik sapi kadang berlebihan memperlakukan sapi. Contoh sederhana, bukan mobil yang mereka pajang di garasi rumah, tetapi sepasang sapi karapan. Prestise mereka pun naik di kalangan warga sekitarnya.
Sapi-sapi itu pun dimanjakan luar biasa. Agar berstamina tinggi dan tetap fit selama lomba, sapi-sapi itu dicekoki jamu berikut ratusan butir telur ayam kampung, serta pijatan khusus pada tubuh sapi. Unsur gaib pun tak ketinggalan. Bebat berisi mantra di kepala sapi menandakan keterlibatan paranormal dalam urusan itu.
Layaknya lomba Formula 1 atau MotoGP, setiap pasangan sapi karapan punya tim. Misalnya tukang tongko’ (joki, Red) dan tukang tambeng (bertugas menahan, membuka dan melepaskan rintangan untuk berpacu). Tukang getak (penggertak sapi agar berlari cepat), dan tukang gubra (suporter di luar arena).
Sapi karapan dibedakan tiga macam, sapi cepat panas, sapi dingin, dan sapi kowat kaso (tahan lelah, Red). Untuk sapi cepat panas, menjelang diadu, diolesi bedak panas atau balsem agar cepat terangsang. Sapi dingin, tubuhnya lebih dicambuk berulang-ulang. Sedang sapi kowat kaso, sebelum diadu diperlukan pemanasan.
"Malam sebelum lomba, pasangan sapi bersama pemilik dan kerabatnya menginap di arena karapan," kata Abdul Kadir, warga Waru, mantan pemilik sapi karapan.
Nah, setelah itu dimulailah sesi penyiksaan. Agar bisa melesat di lintasan 180 meter, sapi itu harus dilecut dengan cambuk atau kayu berpaku. Agar bisa lari secepat kilat, pangkal ekor sapi dipasangi sabuk berpaku. Harapannya, rasa sakit akibat tusukan paku di pantat itu akan bisa memaksa sapi lari lebih cepat lagi. Umumnya, lintasan 180 meter itu ditempuh antara 12-18 detik.
Itu masih di sektor buritan. Di bagian depan, di sekeliling mata sapi, diolesi balsem. Tujuannya sapi tidak diam dan terus bergerak-gerak seperti hendak kabur.
Tak mengherankan, kalau kemudian terlihat pantat sapi bercucuran darah begitu sampai di finis. Bagi sapi pemenang, siksaan belum berhenti, karena mereka masih harus mengikuti babak-babak selanjutnya.
Namun, tradisi berpuluh tahun itu mulai menggelisahkan anggota DPRD Pamekasan, untuk menyetop penyiksaan itu.
"Kami akan berkoordinasi dengan DPRD se-Madura, terkait praktik penyiksaan dalam karapan sapi," kata Ketua Komisi B DPRD Pamekasan, Hosnan Ahmadi, Senin (18/10).
Kata Hosnan, penghapusan penyiksaan dalam lomba karapan sapi tidak bisa hanya dilakukan di Pamekasan, karena Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Sumenep juga punya tradisi kuat karapan sapi. Ia menjelaskan, kalau hanya Pamekasan yang bertindak, maka upaya itu sia-sia. “Jika antarlembaga legislatif sudah sepakat, kami tinggal menekan eksekutif agar membuat aturan karapan yang minus penyiksaan,” katanya.
Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini menambahkan, praktik penyiksaan itu mencoreng citra masyarakat Madura. “Jangankan yang di luar, masyarakat Madura pun banyak yang tidak mau menonton karapan sapi karena tidak tega terhadap pembacokan yang dilakukan oleh pemiliknya,” tutur Hosnan.
Sebelumnya, Bupati Pamekasan Kholilurrahman juga mengajak warganya menolak praktik kekerasan dalam karapan sapi. “Upaya penghapusan kekerasan itu sia-sia tanpa dorongan dari pemerintah dan masyarakat, termasuk pemilik sapi.
Baik pemerintah, masyarakat pemilik sapi, ataupun tokoh masyarakat dan tokoh ulama di Madura. Dalam wawancara sebelumnya, tokoh ulama Madura KH Munif Sayuti menyatakan, penyiksaan hewan dalam karapan sapi haram dan perlu dihentikan.
Caranya, kata Munif, pemerintah daerah harus mengeluarkan aturan yang melarang peserta karapan sapi melakukan penyiksaan. “Atau menganggap kalah pasangan sapi karapan yang menggunakan kekerasan, meski sapinya finis paling cepat,” katanya. (Mukhsin)
Sumber: Surya, 19 Oktober 2010
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda