Inovasi Perajin dari Desa Klampar
Perpaduan Batik Tulis dan Cap,
Antisipasi Pencaplokan Negara Lain
Ancaman tekstil impor menambah kreativitas perajin batik di Pamekasan. Kini muncul kreasi baru, yakni batik tulis tiga dimensi (3D) dengan airbrush. Seperti apa?
JIKA sebelumnya kita hanya mengenal batik tulis dan batik cap, inovasi batik 3D airbrush merupakan perpaduan dua jenis batik tersebut. Perajin tidak menghilangkan nuansa lokal dan batik tulisnya tetap dipertahankan. Itu untuk mempertahan dan menghindari pengakuan negara asing.
Oleh NADI MULYADI
Sebab, dengan berbagai motif dari berbagai daerah, tidak sedikit produk batik sebagai warisan nenek moyang dicaplok negara lain. Juga maraknya teksil China yang terus mengancam keberadaan batik lokal.
Menurut Ilzam, salah satu perajin batik di Desa Klampar, Kec Proppo, penggunaan airbrush pada batik tulis merupakan terobosan baru. Sebab, selama ini pembuatan batik masih terpaku dengan cap dan tulis.
Pengembangan pengelolaan batik 3D untuk menghadapi serbuan tekstil negara Asia lainnya. Sekaligus memancing dan menggairahkan pangsa pasar batik lokal.
"Jika kami (perajin, Red) tetap stagnan, pangsa pasar dan omzet penjualan tidak akan pernah berkembang. Airbrush ini diharapkan mampu menjawab itu. Artinya, tetap dengan pakaian tradisional tapi bergaya modern (3D)," terangnya saat ditemui kemarin siang (8/4).
Pengusaha muda ini menjelaskan, penggunaan airbrush tidak menghilangkan dan mengurangi kekhasan lokal. Sebab, pewarna sebatas disemprotkan pada kain batik yang sudah diberi motif.
"Pewarna bukan cat, tetap pewarna batik. Hanya, cara memotifnya ditambah dengan menggunakan alat semprot. Dan, dijamin ramah lingkungan karena tidak ada bekas pewarna," katanya meyakinkan.
Proses pembuatannya relatif mudah. Motif dasar pada kain tetap menggunakan batik tulis dan malan. Setelah itu, kain yang sudah bermotif dasar dicelup untuk menghilangkan malan. Setelah kering, proses penyemprotan airbrush dimulai hingga membentuk motif baru. Selanjutnya dikeringkan sebentar untuk dibatik ulang oleh perajin atau penyelesaian akhir.
"Pembatikan terakhir itu untuk mendapatkan efek tiga dimensi (3D). Terakhir, dicelupkan lagi dan proses pengeringan untuk dipasarkan ke pembeli atau pelanggan," terangnya.
Adanya penambahan proses pembuatan, berpengaruh pada harga yang lebih mahal. Jika batik tulis biasa per potong Rp 80 ribu, batik 3D lebih mahal Rp 20 ribu, yakni Rp 100 ribu. "Itu harga eceran. Kalau partai Rp 80 ribu per potong. Sekarang masih dalam negeri, untuk luar negeri masih belum," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD Pamekasan Husnan Ahmady mengapresiasi kreativitas perajin asal Desa Klampar tersebut. Dia mendesak pemkab memberi peluang batik 3D itu menembus pangsa internasional.
"Artinya, tidak hanya sebatas bangga. Melainkan harus ada terobosan dari pemkab. Tujuannya hanya satu, perekonomian masyarakat semakin meningkat," katanya. (mat)
Sumber: Jawa Pos, 09 April 2010
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda