Sebulan, Omzet Capai Rp 150 Juta

INDUSTRI jamu tradisional Madura ternyata tidak bisa diremehkan. Ini dibuktikan oleh generasi ketiga pemilik industri jamu di Kabupaten Sampang. Mengusung label Madura Sari dan berlokasi di Jalan Pahlawan Kelurahan Rongtengah, Kec Sampang, Madura Sari ternyata mampu menembus pasar nasional. Bahkan, dalam sebulan omzetnya bisa mencapai Rp 150 juta.

Ditemui di sebuah ruang yang diberi nama Istana Jamu pada salah satu sudut rumahnya, Nyai Hj Hayati Waladi DH menunjukkan beberapa produk jamu tradisional buatannya. Selain itu, kepada wartawan ia juga menunjukkan beberapa penghargaan serta sertifikat yang diperoleh selama melanjutkan usaha turun temurun leluhurnya.

Istri H Waladi tersebut mengatakan, butuh ratusan tahun bagi keluarganya untuk merintis dan mengembangkan usaha jamu Madura Sari. Usaha tersebut kali pertama dirintis oleh nenek sang suami, yakni Nyai Hajrah.

"Saat awal merintis, jamu yang diracik mbah itu hanya dibuat untuk keluarga yang baru melahirkan. Setelah itu menyebar dari mulut ke mulut, tetangga sekitar lalu mulai memesan jamu ke keluarga kami," ungkapnya.

Ditambahkan, perekambangan jamu tradisional miliknya itu lebih tampak ketika dilanjutkan oleh generasi kedua yakni mertuanya sendiri, Hj Alwiya Asnawi. Di bawah kendalai ibu mertuanya, jamu tradisional kelurga tersebut mampu menembus pasar lokal Kabupaten Sampang.

Dengan bakat dan keuletan yang dimiliki, Nyai Hayati yang merupakan generasi ketiga pewaris Madura Sari tidak puas jika home industri jamunya yang memroduksi 34 jenis jamu asli Madura hanya beredar di tingkat lokal. Atas bantuan beberapa pihak dan bermodal ijin Depkes RI Nomor: 06/IKOT/JATIM/97, ibu empat anak ini mulai berkeliling Nusantara mengenalkan jamu tradisionalnya.

"Saat ini saya jarang di Sampang. Sebab, saya terus mempromosikan jamu tradisional Sampang melalui pameran tingkat nasional. Bahkan, kalau mau, setiap hari pasti ada informasi dimana ada pameran. Namun saya membatasi diri. Sebab, yang meracik jamu saya sendiri. Sedangkan delapan karyawan hanya sekedar bantu-bantu," tuturnya.

Selama mengikuti pameran tingkat nasional, Nyai Hayati mengaku lebih sering menggunakan dana pribadi. Sebab, sambung dia, kegiatan pameran yang difasilitasi oleh pemerintahan daerah dananya sangat terbatas. "Kalau kegiatan pameran yang difasilitasi dinas di sini, setahun paling hanya dua kali," terang wanita yang kemarin semestinya ke Jakarta guna mengikuti pameran.

Ditanya mengenai omzet, perempuan yang sudah mempersiapkan anak ketiganya sebagai penggantinya kelak guna mengelola industri jamu tradisional mengungkapkan, dalam sebulan omzet yang dicapai sekitar Rp 150 juta. "Tapi itu masih kotor Mas," imbuhnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa harga jamu yang diproduksi masih relatif sama dengan harga jamu di luaran. "Harganya mulai dari Rp 20 ribu sampai Rp 250 ribu. Jamu paling mahal adalah jamu bersalin lengkap. Jamu tersebut terdiri dari satu paket jamu berisi lima item jamu dan tiga param harum yang bisa digunakan untuk 40 hari setelah masa bersalin," tandasnya. (fei/ed)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 29 Maret 2010

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda