Sate Kelapa Ondomohen

Jual Sepeda Onthel buat Beli Altis dan Innova

Anda pernah mencicipi kelezatan sate kelapa Ondomohen, Surabaya? Rasa daging sapinya kenyal dibalut parutan kelapa. Lazimnya sate, disunduk pakai lidi, dibakar di atas arang. Dinikmati waktu sarapan pagi atau makan siang oke saja.

Sate kelapa yang dijual di pinggir Jl Ondomohen (sekarang Jl Walikota Mustajab) merupakan salah satu makanan legendaris Kota Surabaya. Sudah ada sejak 61 tahun silam. Penjual sate yang tak pernah berpindah lokasi ini letaknya agak terpencil, di ujung gang sempit Ondomohen Magersari II. Menemukan pedagang kaki lima ini tak terlalu sulit. Sepanjang pukul 06.00 WIB -15.00 WIB pembeli selalu ngantre.

Tak salah jika berkat sate kelapa si tukang sate menjadi sangat makmur. Empat rumah mentereng lengkap dengan Kijang Innova dan Toyota Altis merupakan hasil jerih payah penjual sate kelapa ondomohen ini.

Sebelumnya, si penjual cuma naik sepeda onthel. Rumah pun masih ngontrak. Untuk modal, ia terpaksa jual sepeda onthel kesayangannya. Harga sate kepala ondomohen tak mahal, hanya Rp 12.000 - Rp 14.000 per 10 tusuk, tambah Rp 2.000 jika pakai nasi. Mau sate daging sapi murni, campur lemak, otot, sumsum, atau ginjal, tergantung selera.

Ny Asih Sudarmi, 51, tentu tak pernah membayangkan kalau usaha warisan almarhum sang mertua (Haji Zaenab) bakal mendatangkan omzet Rp 3 juta per hari atau Rp 90 juta per bulan.

Namun, rezeki memang terkadang datang tanpa disangka. Ada ratusan pelanggan yang loyal mengonsumsi sate kelapa ini. Setiap hari saja ratusan bungkus ludes terjual. Modal tak lebih dari Rp 1,5 juta per hari. Ini untuk membeli 30 kg daging sapi, 4 kg usus, 15 kg lemak, serta 2 kg sumsum.

"Itu ukuran rata-rata. Bahkan, kalau pas ramai, stok daging sampai kurang," ungkap Ny Asih. Namun, perempuan ini sekarang tak sesibuk dahulu, karena sudah ada 11 karyawan yang siap membantunya. Mereka menyiapkan segala sesuatu di rumah sang juragan. Rumah mentereng di belakang tempat berjualan.

Suami Ny Asih, yakni Saluki, asal Blega, hanya bertugas melayani pembeli dan mengawasi proses pembuatan sate ketika masih mentah. Ny Asih tak punya warung khusus ketika berjualan, apalagi depot. Gaya berjualan sama seperti penjual sate pada umumnya. Berbekal bangku kecil, bakaran sate, kipas sate, sebakul nasi, tempeh besar untuk wadah sate, dan daun pisang untuk bungkus. Plus lima buah bangku plastik. Semua perlengkapan itu siap dibawa berkeliling sewaktu-waktu. Ny Asih duduk berjualan beralas tanah. Tepat di depan warung kopi yang berbaik hati memberinya sejumput lahan.

"Saya sebetulnya paling alergi kalau ditanya omzet, karena takut diuber-uber pajak," ujar Ny Asih sambil tersipu membungkus sate. Padahal, Ny Asih hanyalah pedagang kaki lima yang tak memiliki tempat berdagang tetap. Maka ia pun tak punya kewajiban setor pajak. Ny Asih kini telah memiliki dua cucu. Dari empat rumahnya, dua di antaranya dikontrakkan. Sang anak tinggal di daerah Karangmenjangan. "Kalau saya sudah tua nanti, pasti anak saya yang meneruskan usaha ini," timpalnya.

Asih mengaku tak punya niat mengembangkan usahanya, apalagi menggarapnya dengan konsep warabala. "Saya tidak tahu soal itu. Kalau dibuat depot pasti sewa bangunannya mahal," ucapnya dengan logat kental Madura.

Ditanya asal muasal resep makanan, Ny Asih cuma tersenyum. “Orang Madura identik dengan makanan sate dan kelapa. Mungkin itu yang mendasari ibu mertua saya memilih menggabungkan dua makanan ini karena sejarah pastinya saya juga kurang tahu,” ujarnya. Ny Asih boleh bangga, meski ia nyaris tak pernah tersentuh bantuan pemerintah kota, meski omzetnya tembus puluhan juta rupiah per bulan.

"Ini usaha kecil, biarlah tetap menjadi usaha kecil. Yang penting duit yang diperoleh kan banyak dan halal," pungkasnya mantap. Anda pun tak perlu ragu memulai usaha makanan semacam ini. Berani sedikit lebih kreatif dan tekun, omzet bisa puluhan juta seperti Ny Asih. (DWI PRAMESTI)

Sumber: Surya, Tuesday, 27 May 2008

Label: , ,