Kerupuk Terung dan Blunyu Desa Jung Anyar
Terus Bertahan di Tengah Hantaman Beragam Krisis
Di Desa Jung Anyar, Kecamatan Socah terdapat usaha kerupuk terung dan blunyu. Usaha ini milik Musidah, seorang ibu setengah baya dengan beberapa cucu. Usahanya tersebut terbilang cukup lama bertahan. Padahal harga kebutuhan produksi terus meningkat. Namun itu dinilainya merupakan tantangan tersendiri bagi usahanya.
Buktinya, selama enam tahun menjalankan usahanya itu, dia mengaku sudah beberapa kali melewati masa krisis. Termasuk saat minyak tanah langka. Namun yang tersulit adalah akhir-akhir ini kala kenaikan harga BBM.
Musidah dengan antusias menceritakan bagaimana dia memertahankan usahanya. Di gardu depan rumahnya, dia dengan bangga bercampur prihatin menceritakan seluk-beluk usahanya.
Menurut dia, kenaikan harga mitan pada dasarnya tak berpengaruh banyak terhadap produksi krupuk terungnya. Sebab dalam usahanya, dia tidak menggunakan mitan untuk api pembakaran saat menggoreng terung. Tapi, dia pakai kayu bakar.
"Saya kan memang sejak lama tidak menggunakan mitan untuk menggoreng terung. Kalau saya goreng pakai minyak tanah (untuk apinya, Red), sekarang sudah tutup Mas," ujarnya lalu.
Meski demikian, kenaikan harga BBM berpengaruh pada usaha nelayan mendapatkan bahan baku usahanya. Sejak harga BBM naik, nelayan membutuhkan uang lebih banyak untuk bisa berlayar dan mendapatkan terung dan blunyu yang begitu dibutuhkan Musidah untuk usahanya tersebut. "Sekarang harga terung dan blunyu tambah mahal mas," keluhnya.
Sebelum kenaikan harga BBM, hingga kini harga terung dan blunyu masih belum mengalami perubahan. Dia bisa mendapatkan bahan dasar usahanya tersebut dengan harga Rp 600 ribu per 10 kg. Tak heran jika Musidah terus menerus mengeluh akan kelangsungan hidup usahanya tersebut. "Dari dulu harga terung dan blunyu memang mahal, tapi tidak semahal sekarang," akunya.
Harga itu, menurut dia, merupakan harga terakhir dan tidak menutup kemungkinan akan naik lagi. Sebab harga BBM sudah naik dalam sebulan terakhir. "Saya harap tidak ada kenaikan lagi, meskipun harga BBM sudah naik. Kalau ada kenaikan lagi, jelas saya makin sulit," katanya.
Harga yang sekarang saja, lanjutnya, sudah cukup membuatnya kesulitan bertahan. Utamanya mengatur keuangan usahanya yang hanya bermodal Rp 3 juta tersebut.
Diceritakan pula, yang tak kalah mencekiknya saat ini adalah naiknya harga minyak goreng (migor). Beberapa pekan terakhir, harga migor tak pernah turun dari Rp 11 ribu per kilo-nya. Padahal dalam sekali berproduksi, Musidah mengaku menghabiskan migor sebanyak 5 kg lebih. "Meski mahal, namanya orang butuh terpaksa dibeli juga," tandasnya.
Akibat naiknya harga bahan baku, Musidah terpaksa menambah kemasan dan menaikkan harga kerupuk terungnya Rp 500 per kemasan. "Kerupuk terung dan blunyu itu sekarang ada tiga macam. Kecil, sedang dan besar. Sebelumnya hanya ada kemasan kecil dan besar," ungkapnya.
Proses Pembuatan Kerupuk Terung
SIANG itu, Koran ini sengaja menunggu nelayan datang dari laut dan membawa hewan laut yang menjadi bahan dasar kerupuk. Tepat tengah hari, salah satu dari enam pekerja Musidah datang dengan membawa gerobak berisi terung dan blunyu.
Bentuk asli hewan laut bernama terung itu menyerupai onde-onde. Hampir bulat sempurna dengan diameter 3 sentimeter dan titik putih di luarnya bak wijen pada onde-onde. Sedangkan blunyu, bentuknya lonjong, berwarna hitam. Panjangnya kira-kira 10 sentimeter.
Pekerja yang tak lain adalah para ibu rumah tangga di sekitar rumah Musidah dengan sigap memilah terung dan blunyu dari gerobak. Usai dipisahkan, hewan terung itu dibuburi arang. "Itu nanti gunanya untuk membersihkan terung," terang Musidah.
Setelah merata, terung yang sudah dibuburi arang dimasukkan dalam keranjang. Seorang pekerja dengan mengenakan sepatu bersih langsung "bergabung" dengan para terung yang ada dalam keranjang. Diinjak-injaknya terung dalam keranjang tersebut sambil lalu disirami air bersih.
Keluar dari keranjang, terung yang tadinya hitam bercampur arang, kini bersih putih seperti dicuci menggunakan deterjen. Lalu, secepatnya mereka membelah tubuh terung menjadi dua bagian terpisah.
Sambil memerlihatkan isi perut terung, Musidah menunjukkan telur hewan tersebut yang juga bisa dimanfaatkan untuk lauk. "Nah, yang ini enak untuk dibuat krengsengan (sambal goreng, Red.). Biasanya dibawa para pekerja untuk lauk di rumahnya atau dijual ke pasar terdekat," papar Yani, salah seorang pekerja.
Setelah semua isi perut dibersihkan, terung ditata di atas sebuah nampan dari bambu yang didesain khusus untuk proses pengeringan. Dalam sehari, pekerja bisa menghasilkan 2 sampai 6 nampan untuk dijemur. "Sejrebeng (satu nampan, Red.) kalau digoreng bisa menghasilkan kurang lebih 2 kilo," tandas Musidah.
Proses pengeringan, maksimal memakan waktu selama 2 hari. Namun, jika hari sedang cerah terung akan kering dalam waktu sehari saja. Dijelaskan, pembeli yang datang untuk membeli terung yang belum digoreng menghargai tiap nampan terung senilai Rp 50 ribu untuk ukuran kecil dan Rp 150 ribu terung ukuran besar.
Terung-terung yang sudah kering dan siap digoreng diambil dari tempatnya dijemur. Kemudian Emil, putri Musidah segera menyalakan api dengan bahan bakar kayu. Minyak goreng sebanyak 5 kg lebih kemudian dituangkan di atas wajan. Sambil lalu menunggu panasnya migor, Emil memilih terung yang akan digorengnya. "Barangkali yang ada ukuran beda, jadi diteliti dulu," katanya.
Saat migor sudah panas, Emil memasukkan beberapa terung ke penggorengan. Setelah terlihat mengembang, dia mengangkat dan menaruhnya di tempat khusus. Sang ibu melanjutkan ke proses selanjutnya. Supaya lebih renyah, terung kembali digoreng. Tapi kali ini tidak menggunakan migor, melainkan pasir yang merupakan resep khususnya.
Usai proses tersebut, terung siap dimasukkan ke dalam kemasan. Dengan peralatan sederhana, Emil dan ibundanya memasukkan terung menurut ukurannya masing-masing ke dalam kemasan plastik dan siap dipasarkan ke seluruh penikmatnya. (nur rahmad akhirullah)
Sumber: Jawa Pos, Senin, 16 Juni 2008
Label: blunyu, humaniora, jung anyar, kuliner, terung
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda