Pengrajin Tikar Desa Kaduara Temor

Bekerja Satu Tim, Lembur Saat Musim Tembakau

Sebagian besar warga di Desa Kaduara Temor, Peragaan, Sumenep bekerja sebagai petani. Saat pagi tiba, anggota keluarga di pihak laki-laki pergi ke sawah. Sedangkan anggota keluarga perempuan menganyam tikar di rumah. Anggota keluarga ini bekerja dalam satu tim dan berbagi tugas. Mengapa?

Desa Kaduara Temor tergolong dataran tinggi. Jenis tanahnya berbatu. Di desa ini nyaris tak ada tanaman padi. Ratusan pohon siwalan tumbuh di bukit dan tegalan. Saat pagi tiba, petani memanjat pohon siwalan dan mengiris mayang untuk memperoleh nira. Untuk pohon yang tidak bermayang, petani mengambil daun siwalan untuk dijadikan tikar.

Saat petani tiba di rumah dengan segulung daun siwalan, anggota keluarga siap menerima. Keluarga berjenis kelamin putri itu membuat ukuran sejajar antara potongan daun siwalan. Langkah ini ditempuh agar anyaman tikar rapi lantaran dibuat dari ukuran lebar daun siwalan yang sama.

Selepas salat isya' kemarin, salah satu keluarga pengrajin tikar Arminten (60) sibuk dengan daun siwalan. Perempuan tua itu dibantu anak dan cucunya untuk menyiapkan anyaman tikar. Satu lembar daun siwalan disambung-sambung dan dianyamkan satusama lain sampai membentuk lembaran tikar berukuran 2 x 3 meter.

Ibu bagi lima anak-anaknya itu menjadi pengrajin tikar usia SD. Keterampilan ini dia dapat dari leluhurnya. Ketika dirinya masih kecil, Arminten ikuti saja kebiasaan orangtuanya menganyam tikar. Lama-lama, dia bisa menganyam tikar. Pekerjaan ini dia turunkan kepada anak dan cucunya.

Dia tegaskan anyaman tikar telah memberinya sejumput cerita dan kehidupan. Apalagi, tuturnya, harta peninggalan kedua orangtuanya hanya sepetak tanah dengan rerimbunan pohon siwalan. Karenanya, dia merasa sungkan untuk tinggalkan peninggalan yang dianggapnya berharga itu. Melainkan, dia tertantang untuk memanfaatkan warisan itu dengan menganyam tikar.

Saat koran ini bertamu, Arminten ditemani cucunya. Anak kecil itu cakap juga membantu neneknya. Anak kecil yang masih belajar di SD itu lincah menganyam helai-helai daun siwalan. Secara tidak langsung, Arminten akui telah memberikan pendidikan keterampilan kepada cucunya belajar dalam merajut tikar. "Bila musim tembakau, di beranda ini sangat ramai dan lembur bersama," katanya.

Menurutnya, harga tikar selalu berubah tergantung pasar. Harga tikar sering turun dan terkadang berlipat. Tahun ini, harga tikar alami kenaikan. Dulu, katanya, di luar musim tembakau dijual seharga Rp 5.000 hingga Rp 7.500/lembar. Tetapi di musim tembakau, harga tikar berlipat dari harga di luar musim tembakau. "Tikar pernah menembus Rp 15 ribu/lembar," tuturnya.

Perempuan yang tak muda lagi itu akui menjadi pengrajin tikar butuh ketelatenan. Dia beralasan jika orang melihat dari segi untungnya saja, seseorang tak dijamin untung besar. Arminten merasa terpanggil nuraninya untuk meneruskan warisan para leluhur. "Pekerjaan ini tak pernah berhenti karena selalu ada penerusnya," pungkasnya. (Zaiturrahiem)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 12 Juni 2008