Batik Tulis Tradisional Desa Klampar

Dipakai Menteri, Diburu Putri Indonesia

Batik. Mendengar kata ini mungkin sebagian besar orang Indonesia akan mengidentikkan dengan Solo atau Pekalongan sebagai sentranya. Namun, jangan salah, Pulau Madura yang selama ini hanya dikenal lewat karapan sapinya, juga mampu bersaing dengan kota-kota tersebut dengan batiknya. Salah satunya melalui sentra batik tulis tradisional yang terletak di Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Pamekasan.

Menurut data yang dihimpun koran ini, tidak kurang dari 300 perajin batik tersebar di seluruh penjuru Desa Klampar. Bahkan, dari tujuh dusun yang ada di desa Klampar, 200 perajin diantaranya terpusat di Dusun Banyumas. "Dusun kami memang dikenal sebagai sentranya batik di Pamekasan," kata Muafi, 32, salah satu pengrajin di Dusun Banyumas.

Diceritakan, menurut silsilah dan sepengetahuannya, batik tulis Desa Klampar sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Muafi sendiri mengaku menekuni batik tulis dari warisan dari orangtua serta kakek neneknya. Begitu pula pengrajin batik yang lain di desa itu.

Hanya, kata Muafi, walaupun hampir di seluruh kabupaten di Madura mempunyai daerah sentra batik, batik asal Desa Klampar punya keunikan tersendiri. Yakni kaya akan warna. "Bahkan, dalam satu potong kain batik bisa lebih dari tiga warna," tutur bapak dua anak ini.

Warna-warna tersebut adalah coklat sagon (tua), hitam, merah, dan hijau. Bahkan, para pengrajin batik Desa Klampar kini tengah melakukan eksperimen otodidak menciptakan warna baru. Yakni warna kunyit busuk (konye' bucco', Madura Red.). Sayangnya, Muafi enggan menjelaskan secara detil bagaimana proses pembuatan warna yang dimaksudkannya itu. Dia lebih memilih menceritakan proses membuat batik.

Dijelaskan, secara teknis tidak ada perbedaan yang mendasar dalam pembuatan batik tulis Desa Klampar dengan batik-batik lainnya. Mulai dari memotif, mewarnai, mencelup hingga menjemur. Termasuk cairan untuk mewarnai kain yaitu malam yang direbus. Yang membedakan hanya paduan warna, motif, dan jenis kain yang digunakan.

Lalu, bagaimana dengan harga? Muafi mengatakan, para perajin batik Desa Klampar membagi dua segmen para konsumennya. Untuk segmentasi konsumen batik yang ekonominya menengah ke bawah misalnya, harga 1 potong kain batik hanya Rp 75 ribu hingga Rp 500 ribu. Batik tersebut berbahan dasar dari kain katun dan hanya melewati satu tahap pewarnaan.

Sedangkan untuk batik yang biasa dibeli kalangan ekonomi menengah ke atas, bahkan hingga tingkat menteri, harganya bisa mencapai Rp 1,5 juta per potong. Bahan dasarnya kain sutra asli dan melalui dua kali tahap pewarnaan. "Usai diwarnai kemudian dijemur. Setelah kering diwarnai lagi. Batik jenis ini yang kemarin diburu Putri Indonesia karena warnya benar-benar cerah," tutur Muafi.

Dengan harga penjualan seperti itu, Muafi mengaku bisnis batik tulis memberikan hasil yang cukup menjanjikan. Terlebih 2008 ini, batik asal Madura sudah mulai booming di pasaran lokal maupun internasional. Salah satu bukti, dalam dua bulan ini Muafi tiga kali menjadi wakil Jatim dalam pameran usaha kecil menengah di Jakarta dan Surabaya. Bahkan, sepekan lalu dirinya kedatangan langsung pembeli dari Jakarta.

Tak hanya itu. Dengan makin dikenalnya batik Desa Klampar, membuat warga desa tersebut semakin bersemangat membuka usaha kecil menengah (UKM). Tentu saja, dengan banyaknya UKM semakin mengurangi pengangguran di desanya. "Saya sendiri memekerjakan 15 orang. Mungkin yang lain juga sekitar itu," terangnya.

Hanya, kendalanya yang dihadapi perajin sekarang adalah hal pemasaran, pengembangan motif, hingga modal usaha. Kendala pemasaran misalnya, Muafi menuturkan, sistem pemasaran batik Desa Klampar masih bersifat tradisional, yakni melalui door to door (rumah ke rumah). Padahal, sistem pemasaran batik yang ideal adalah terpusat pada salah satu titik. Seperti di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah.

Meski sebenarnya Pemkab Pamekasan sudah memfasilitasi kebutuhan para perajin batik dengan dibangunnya salah satu gedung tempat pemasaran kerajinan tradisonal di Jalan Jokotole, itu dirasa Muafi belum representatif bagi para perajin batik. "Saya kira tidak cukup jika dipaksakan menggunakan gedung itu," katanya.

Menyadari pentingnya pemasaran, akhirnya Muafi dan para perajin menyiasati ikut dalam berbagai ajang pameran atau ekspo. Mespin dengan menggunakan biaya pribadi. Bahkan, salah satu langkah terobosannya, dalam satu bulan ini dia mengaku memasarkan batiknya melalui internet.

Soal motif batik, sejauh ini batik yang diproduksi pengrajin batik Desa Klampar belum mengalami perkembangan. Bahkan, terkesan monoton alias itu-itu saja. Untuk kebutuhan itu, Muafi berharap Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pamekasan bisa memfasilitasi perajin melakukan studi banding ke beberapa daerah sentra batik di Indonesia.

"Sebab, skill membatik mereka (pengrajin, Red) itu kan warisan. Jika tidak dikembangkan, maka motifnya akan itu-itu saja," ujarnya.

Selain itu, para pengrajin terkendala masalah modal usaha. Sebab, mayoritas perajin batik Desa Klampar mengaku ragu-ragu dalam meminjam modal untuk melanjutkan usahanya. "Sebab, akan kembali ke pemasaran. Kalau pemasaran sepi tentu saja mereka tidak berani gambling (spekulasi, Red)," tanads pria berkumis tipis ini. (aditia gilang rhamadhani/mat)

Sumber: Jawa Pos, Senin, 02 Juni 2008

Label: