Pondok Pesantren Al Mubtadiin Bangkalan

Pertahankan Salaf, Berupaya Cetak Santri Hafal Alquran

Perkembangan teknologi tidak menggoyahkan komitmen pondok pesantren (ponpes) untuk tetap mempertahankan tradisi salafnya. Seperti dilakukan Ponpes Al Mubtadiin, Desa/Kecamatan Tragah, Bangkalan.

Terik matahari terasa menyengat kepala. Maklum saja kala itu jam menunjukkan pukul 12.30. Sang surya tepat menyinari ubun-ubun. Namun panasnya udara tidak menyurutkan puluhan santri di Ponpes Al Mubtadiin untuk beraktivitas rutinitasnya.

Ketika wartawan koran ini datang, puluhan santri ngaji Alquran di musala lingkungan pesantren. Melihat tamu datang, salahsatu santri dengan ramah menyambut. "Silahkan masuk," katanya menjulurkan tangan sambil membungkukkan badan sebagai tanda hormat.

Tak lama kemudian, KH Muad Soleh, putra KH Moh. Soleh datang menemui. Lalu disusul KH Soleh. Setelah dijelaskan jika hendak memprofil pesantren, kiai asal Desa Langkap, Kecamatan Burneh ini antusias menjelaskan silsilah berdirinya pesantren.

"Pondok (Ponpes, Red.) ini didirikan tahun 1974. Saya sendiri yang merintis pendiriannya. Saya diminta mertua saya (Alm. KH Mahfud Basuni, Ponpes Al Akhyat Tambak Agung, Kecamatan Labang)," kata Kiai Soleh mengawali ceritanya.

Menurut Kiai Soleh, tidak mudah untuk menarik warga menimba ilmu. Sebab, sejak kecil warga di daerah tersebut (Desa Tragah) sudah bisa mencari nafkah dengan membuat kerajinan cincin perak. Sehingga mereka lebih suka mencari uang daripada mencari ilmu.

Tapi lambat laun, keberadaan pesantren bisa merubah kebiasaan warga setempat. Kaum muda tertarik untuk menimba ilmu agama. Awalnya santri tidak bermukim menimba ilmu agama di Pesantren Al Mubtadiin.

Lambat laun makin banyak santri yang bermukim. Hingga kini, lebih dari 100 santri putra dan putri yang mukim untuk menimba ilmu agama. Baik santri yang datang dari wilayah Tragah serta beberapa kecamatan sekitarnya.

Namun, selama 34 tahun berkiprah di dunia pendidikan, Ponpes Al Mubtadiin tetap kukuh memegang tradisi pesantren salafnya. "Saya pertahankan Ponpes Salaf. Sebab, rencana untuk membuka lembaga pendidikan formal tidak diijinkan mertua saya," jelasnya.

Mengenai program unggulan pesantren, Kiai Soleh mengatakan sama seperti pesantren lain. Namun, sampai sekarang Ponpes Al Mubtadiin berupaya mencetak santri yang bisa menghafal Alquran. Hanya, keinginan itu belum membuahkan hasil. "Sampai sekarang belum ada (santri, Red.) yang bisa menghafal Alquran," tukasnya.

Ismail, salah satu santri Ponpes Al Mubtadiin hanya mampu menghafal 15 juz. Namun belum genap 30 juz, dia sudah keluar dan pindah ke pesantren lain. "Gurunya anak saya sendiri. Tapi santri belum ada yang bisa menghafal (30 juz, Red.) Alquran," terang Kiai Soleh.

Disinggung rutinitas santri, dia menjelaskan, sebelum subuh, santri diwajibkan berdzikir di musala. Selanjutnya salat subuh berjamaah dan ngaji kitab. "Dilanjutkan salat duha berjamaah," terangnya.

Sekitar pukul 07.00, santri menempuh pendidikan diniyah hingga pukul 11.00. Satu jam berikutnya salat duhur berjamaah. Diteruskan pengajian hingga pukul 14.00. Lalu santri istirahat. Pada pukul 15.00, salat asar dan dilanjutkan pengajian.

Magrib salat berjamaah diteruskan ngaji Alquran hingga masuk waktu Isyak. Setelah salat Isyak berjamaah, santri diberi kesempatan belajar sampai pukul 10.00. Lalu istirahat dan salat tahajud. "Rutinitasnya seperti itu," katanya. (TAUFIQURRAHMAN)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 08 Mei 2008

kembali

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda