Pernikahan Silang Budaya Madura-Jepang

Setelah Pakai Kimono, Berganti Baju Pengantin Madura

Perbedaan budaya merupakan hal tersulit yang harus dihadapi dalam pernikahan silang budaya. Perlu waktu untuk melakukan adaptasi untuk bisa saling mengenal lebih dalam satu dengan yang lainnya. Bagaimana pasangan Nanang Hazinullah alias Kitsunai - Shigeko menjalaninya?

Shigeko terlihat sedang mengayunkan kipasnya untuk menghilangkan udara panas. Wanita Jepang ini memang sedang menunggu undangan yang akan hadir di prosesi pernikahannya kemarin. Dia lalu berbisik pada suaminya menanyakan kapan para undangan akan datang. Sebab, waktu sudah menunjukkan 09.30 dan hanya segelintir undangan yang datang. Padahal, di kartu undangan tertera pukul 09.00.

"Di Jepang segalanya harus tepat waktu. Makanya dia jadi kehilangan semangat. Soalnya di Jepang, kalau jamnya sudah lewat, berarti undangan tidak datang," terang Nanang Hazinullah kepada koran ini dari atas kursi mempelai.

Mempelai yang mengenakan kimono (baju adat Jepang) jelas terlihat begitu berbeda di mata para undangan. Mereka yang datang saling berbisik dan bertanya baju apa yang sedang dikenakan mempelai.

Sejurus kemudian, keduanya berganti pakaian adat Madura yang lebih familiar di mata para undangan. Di tengah prosesi, mempelai perempuan didaulat untuk menyanyikan lagu Jepang berjudul Mirai yang dalam Bahasa Indonesia berarti "masa depan". Undangan yang hadir dibuat terpesona dengan suara merdu perempuan asal negeri Sakura tersebut.

Setelah prosesi usai, keduanya langsung berganti pakaian dan berbincang santai dengan anggota keluarga. Nanang kemudian menceritakan awal mula pertemuannya dengan istrinya tersebut.

Pertemuan Shigeko dan Nanang berawal saat keduanya sama-sama melamar kerja di suatu perusahaan mobil di Jepang. Saat itu Nanang sedang libur panjang kuliah dan mencari pekerjaan untuk mengisi liburannya. "Tidak semua orang Jepang mau merespons ajakan bicara orang asing," ujarnya.

Tapi Shigeko beda. Ajakan bicaranya langsung mendapatkan respons. Sejak saat itu keduanya selalu berkomunikasi via telepon. Kebetulan pula, pasutri ini diterima di tempat mereka melamar kerja. Seperti halnya anak muda lain, Nanang dan Shigeko berpacaran selama 1 tahun sebelum memutuskan untuk menikah.

Nanang mengaku sangat terpesona dengan keluarga Shigeko yang tidak terlalu peduli dengan latar belakang pasangan anaknya. "Kalau saya tidak terlalu sulit beradaptasi dengan keluarganya (istri, Red), karena mereka tidak terlalu peduli. Yang penting percaya dan anaknya suka, ya sudah jadi," tuturnya.

Pernikahan keduanya kemudian dilangsungkan di Jepang dua tahun sebelum prosesi pernikahannya di Madura. Menurut Nanang, pernikahan di Jepang tidak sesederhana di Madura. Memerlukan biaya yang cukup mahal dan hidangannya terbilang sangat istimewa untuk ukuran orang Indonesia. "Kalau dikurs rupiah, mungkin sudah menghabiskan Rp 100 juta lebih," ungkapnya.

Orang Jepang sangat sensitis dan disiplin. Sehingga, harus benar-benar pas penulisan nama dan waktu pelaksanaan acara. Jika di undangan tidak sesuai, tidak akan datang. Terlebih jika dilaksanakan di hari aktif.

Shigeko senang menikah dengan orang Madura? Nanang langsung menjadi penerjemah pertanyaan tersebut pada istrinya. "Apa harus dikatakan?" tanya Shigeko kepada suaminya. Hasil terjemahan dari Nanang, Shigeko sangat senang menikah dengan orang Madura. Alasannya, suaminya sangat pengasih dan jauh lebih pengertian daripada pria asli Jepang.

"Kalau di Jepang, asalkan sudah menikah, perempuan akan diperlakukan seenaknya," bisik Shigeko kepada suaminya dalam Bahasa Jepang.

Saat diminta menceritakan pengalamannya di Madura, Shigeko bilang, kebersamaan di Madura jauh berbeda dengan kebersamaan di tempat asalnya. Di negara matahari terbit itu dia mengaku tidak pernah menemukan suasana kumpul-kumpul setelah acara pernikahan. "Kalau acara selesai, semuanya langsung pulang. Disiplinnya luar biasa kalau di sana," kata Nanang.

Selama dua minggu di Madura, Shigeko menyebutkan, kebiasaan orang Madura membuang sampah sembarangan merupakan hal terburuk. Sehingga, kebersihan menjadi tidak terjaga. Dia juga mengungkapkan keheranannya saat melihat keberadaan sekian banyak sepeda motor berseliweran di jalan.

"Dia juga sangat malas kumpul dan ngobrol dengan orang-orang (keluarga,Red). Saya yang mengajak dia, meski terpaksa dia mau kok," kata Nanang. Keenganan berkumpul itu karena kebiasaan di Jepang hanya ada komunikasi jika benar-benar diperlukan saja.

Shigeko lalu menuliskan beberapa kata dalam Bahasa Jepang penilaiannya tentang Madura dan orang-orangnya. Madura shima wa nambiri sikan nageru shima deshita hito wa oorakana hito ga ooi to omo imashita. Dalam Bahasa Indonesia, Pulau Madura sangat nyaman dijadikan tempat untuk bersantai karena waktu terasa sangat pelan. Orang Madura juga sangat baik dan mudah bergaul, meskipun dengan orang yang baru dikenalnya. (NUR RAHMAD AKHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, 04/05/08

1 Komentar:

Pada 8 Mei 2008 pukul 10.45 , Blogger infogue mengatakan...

Artikel di blog ini menarik & bagus. Untuk lebih mempopulerkan artikel (berita/video/ foto) ini, Anda bisa mempromosikan di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di tanah air. Telah tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://seni-budaya.infogue.com
http://seni-budaya.infogue.com/pernikahan_silang_budaya_madura_jepang

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda