Ponpes Darul Hikmah Sumber Lompang
Tempat Angker yang Kini Sangat Religius
Unik dan menarik. Pondok pesantren (ponpes) yang satu ini di asuh oleh kiai muda dengan latar belakang bekas crosser yang juga mantan aktivis mahasiswa. Lokasinya pun di puncak bukit yang mempunyai sejarah magis.
JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kutipan yang diambil dari titel pidato Soekarno itu sangat tepat kalau diumpamakan ke salah satu ponpes yang ada di Pamekasan ini. Sebab awal pendiriannya tidak lepas dari sejarah dan selalu dijadikan pegangan oleh penerusnya.
Ponpes Darul Hikmah namanya. Lokasi di areal perbukitan yang masuk wilayah Sumber Lompang, Desa Batu Bintang, Kecamatan Batu Marmar, Kabupaten Pamekasan. Ponpes yang satu ini awal mula pendirian termasuk menyimpan sejarah yang terbilang magis.
Konon katanya, awal mula pendirian Ponpes Darul Hikmah ini menempati areal yang terkenal angker dan tidak berpenghuni. "Dulu katanya mbah, kalau ada kambing yang lewat daerah gunung (bukit, Red.) ini pasti mati," tutur KH Mudassir selaku pengasuh ponpes.
Untuk menghilangkan rasa takut masyarakat sekitar, pada tahun 40-an Kiai Ridho’i yang tak lain kakeknya KH Mudassir Palengaan, dibantu Kiai Juwahir Sumber Beringin dan Kiai Bakir Al-Khairat Banyu Anyar Pamekasan, membabat hutan tersebut. Kemudian dijadikan sebuah pesantren.
"Mbah saya yang membabat alas (hutan, Red.) ini. Katanya, dulunya masyarakat ketakutan saat mau melintas disini," ujar Ra Das -sapaa kiai muda yang masih lajang ini.
Sedang muasal nama Sumber Lompang, menurut Ra Das berasal dari sebuah sumber air yang sangat besar. Persis di atasnya terdapat pohon klompang (Madura, Red.). "Dulu itu katanya ada pohon klompang yang sangat besar. Oleh warga sekitar biasa disebut Sumber Lompang," tuturnya.
Suatu ketika, lanjutnya, klompang tersebut ditebang. Akibatnya debit sumber airnya menyurut. Karena terus menyurut, akhirnya di lokasi bekas sumber air itu dibangunkan tandon air yang hingga sekarang belum selesai digarap. Sekarang ini lokasinya berada di depan masjid ponpes tersebut.
Ra Das sendiri merupakan pengasuh keempat di pesantren tersebut. Pengasuh sebelumnya adalah bapaknya, KH Fathol Bari. Baru pada tahun 2006 selepas tamat kuliah, Ra Das mengambil alih posisi abahnya. Ini karena sudah dirasa mampu untuk memimpin pesantren.
Sebelumnya, Ra Das dikenal sebagai penghobi berat motocross. Hobinya itu sangat kontras dengan dunia pesantren yang biasanya dicekoki dengan teori-teori agama dan implementasinya. Bahkan, dari hobinya itu dia pernah menyabet juara II Jatim Open di Sampang dan Juara IV Jatim Open di Jember (2000). Juga pernah juara III Jatim Open Sumenep dan Pameksan (2001).
"Saya memang hobi berat pada motocross. Dulu waktu masih mondok, kalau ada even saya pasti berangkat. Tentu saja nyuri-nyuri waktu tanpa sepengetahuan pengurus pondok," tuturnya sambil menunjukkan foto-fotonya saat menunggangi ’kuda Jepang’.
Lora yang mempunyai gelar sarjana sosial ini merupakan lulusan Unijoyo Bangkalan. Selama menjadi mahasiswa, tercatat sebagai anggota GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Cabang Bangkalan. "Dulu saya sering bergabung dengan kawan-kawan aktifis Bangkalan. Saya juga ikut diklatnya GMNI di Blitar," imbuhnya.
Disinggung metode pembelajaran di pesantrennya yang memiliki kurang lebih 600 santri, Ra Das mengaku kental dengan taklimul muta’allim. Yaitu mengajarkan tentang ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini bagaimana tata cara hidup yang baik. Tentunya dengan ditunjang ajaran salafi (tentang keagamaan) dan formal. Khusus salafi biasanya diajarkan setelah salat isya’ dan subuh. Sedang formalnya pada pagi hari.
"Taklimul muta’allim juga bisa disamakan dengan sosilis religius. Karena ini megajarkan tata cara hidup (sosial) yang berlandaskan agama," tuturnya.
Sedang lembaga pendidikan yang ada, sementara masih Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah, serta Diniyah.
Ra Das katakan, kedepan dirinya berkeinginan untuk turut memajukan bangsa. Untuk itu, sebisa mungkin akan menyumbangkan pemikirannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Saya rasa kalau Kita semua memahami betul sosialis religius dan dijalankan, koruptor pasti kita lenyap dari bumi Indonesia," ucapnya.
Pria yang masih berusia kepala dua itu mengingatkan, sosialis relegius berbeda dengan komunis. Dalam sosialis relegius, imbuhnya diajarkan bagaimana tata cara hidup yang baik, tapi berlandaskan aturan agama yang ada.
"Kalau saya tetap berlandaskan Islam, karena agama saya Islam," pungkasnya. (NADI MULYADI)
Sumber: Jawa Pos, 19/01/08
Label: ponpes
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda