Pondok Pesantren Kholafiyatul Mustarsyidin Sampang

Salaf yang Ditunjang Keterampilan Khusus

Secara geografis, Ponpes Kholafiyatul Mustarsyidin terletak di Dusun Tambas, Desa Tamba’an, Kecamatan Camplong, Sampang. Historisnya, ponpes ini berdiri sejak tahun 1920. Muasalnya hanya dari kegiatan pengajian rutin yang akhirnya melembaga menjadi sebuah pesantren.

Cerita di atas sebagaimana disampaikan KH Fathur Rosi Imam, sang pengasuh Ponpes Kholafiyatul Mustarsyidin. "Itu benar-benar dilakukan buyut saya dengan istiqomah," aku KH Fathur Rosi Imam.

Untuk menjumpai ponpes ini sangat mudah. Sebab di pinggir jalan masuk ke lokasi, terpampang papan nama yang mencolok. Tepatnya di seberang jalan stasiun pengisian bahan bakar umum di daerah Camplong.

Komplek pesantren ini bisa dijangkau sekitar 100 meter dari Jalan Raya Camplong. Setelah melintasi bangunan SDN Tamba’an III, akan terlihat masjid yang berdiri kokoh di atas tanah Ponpes Kholafiyatul Mustarsyidin.

Komplek pondok tersebut terbagi dua bagian, putra dan putri. Untuk pondok putra, dipisah berdasar daerah asal santri yang berdomisili di ponpes tersebut. Di antaranya dari Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, Banjarmasin, dan beberapa kecamatan di wilayah Sampang sendiri. Ini bermanfaat untuk membedakan muasal santri, selain dari logat bicaranya.

KH Fathur Rosi Imam, mengaku sudah 6 tahun menjadi pengasuh ponpes tersebut. Pria berjambang ini kemudian menunjukkan beberapa pohon jambu air yang sedang dicangkok. "Itu bagian dari kegiatan para santri. Nanti akan ditanam di lahan kosong di samping ponpes," ujarnya sambil menunjukkan lahan kosong yang dimaksud. Tanpa ditanya, dia langsung mamaparkan ponpes asuhannya. "Kalu pondok jelas salaf. Namun harus ada penunjangnya," tuturnya.

Sebagai penunjang dimaksud, dia menganjurkan para santrinya untuk mengikuti sekolah formal maupun non formal. Seperti MTs dan MA yang kurikulumnya dibuat sendiri oleh ponpes.

Ditanya jumlah santrinya, KH Fathur Rosi Imam menyebut sekitar 300 orang. Itu, lanjutnya, santri yang menetap di ponpes. "Sebab tidak semua santri berdomisili disini, ada yang tinggal di rumahnya. Tapi kalau malam mereka datang kesini," ungkapnya.

Hampir dari seluruh santri dan santriwati tersebut mengenyam pendidikan formal. Sebagian lainnya nonformal di dalam pondok pesantren. "Saya pikir di jaman modern seperti ini, ilmu salaf yang diperoleh santri harus diperdalam dengan pendidikan formal maupun nonformal," terangnya.

Pola sorogan yang bisanya digunakan di pondok pesantren dirasanya terlalu lama. "Kalau sorogan santri membutuhkan 25 tahun hanya untuk mempelajari bahasa Arab saja," katanya.

Oleh karena itu, dia berinisiatif memperpendeknya dengan menciptakan sekolah non formal di ponpesnya. Pilihannya adalah dengan mendirikan MTs dan MA dengan kurikulum khusus. "Jadi meski tidak formal, santi yang lulus tetap akan memperoleh ijazah," ungkapnya. Hal tersebut dilakukan agar alumni santrinya dapat membantu pembangunan di masyarakat.

Ada juga santri yang memilih sambil sekolah formal di luar pesantren. Itu diakuinya sama sekali tidak mempengaruhi santri-santrinya yang lain. Sebab saat mereka berada di lingkungan pesantren, mereka benar-benar patuh pada peraturan pesantren.

Selain menganjurkan untuk bersekolah secara formal dan informal, pria kelahiran 12 November 1969 itu juga mengarahkan santrinya agar memiliki keterampilan. Pilihannya berupa kegiatannya menjahit, kursus komputer dan pelatihan ceramah agama. "Program penghijauan juga dilakukan untuk menahan air hujan agar lingkungan sekitar pesantren tidak kekurangan air saat kemarau," jelasnya.

Kyai yang satu ini sangat ingin dekat dengan santri-santrinya. Tak heran, dia selalu mendampingi dan bekerjasama dengan santrinya dalam setiap kegiatan. "Saya tidak ingin ada jarak dengan anak didik saya," terangnya.

Mengenai pembiayaan ponpes diakuinya berasal dari sumbangan masyarakat. Termasuk juga uang pribadi dan sumbangan alumni. "Kemarin ada alumni yang telepon. Kataya akan menyumbang Rp 100 juta untuk pembangunan madrasah," katanya bangga.

Dia mengeluhkan beberapa kesulitan yang kadang terjadi akibat kekurangan dana. Dia berharap pemerintah dapat bekerjasama dalam hal ini. (NUR RAHMAD AHIRULLAH)

Sumber: Jawa Pos, Jumat, 11 Jan 2008

Label: