Santi Muryana Sang Mualim Perempuan

Tak Malu, bahkan Bangga karena satu-satunya Mualim Perempuan. Tak banyak perempuan menjalani profesi sebagai mualim kapal. Tapi, Santi Muryana salah satu dari yang tak banyak itu. Bagaimana perasaan dia?

Pagi itu suasana pelabuhan penyebrangan Kamal masih cukup sepi. Maklumlah, saat itu tepat Idul Adha (20/12). Usai salat id, orang-orang masih meluangkan waktu untuk bersilaturahmi dengan sanak kerabat. Tapi, pagi itu koran ini harus mengejar jadwal trip terakhir kapal untuk bisa bertemu dengan seorang mualim perempuan, Santi Muryana

Berdasarkan informasi yang diterima koran ini, biasanya Santi mengoperasikan kapal Dharma Fery I. Untungnya, mencari sosok perempuan itu tidak susah. Setiap orang di lingkungan PT Dharma Lautan Utama yang ditanya pasti kenal mualim perempuan itu. Memang, dia cukup dikenal di lingkungan perusahaan tempatnya berkeja tersebut.

Dengan informasi dari seorang karyawan yang sedang bertugas di kapal, Jawa Pos ini bertemu Santi di anjungan Dharma Fery I. Kesan pertama menginjakkan kaki di anjungan, suasana sempit sangat terasa. Hanya ada beberapa ruang untuk bergerak.

Meski bekerja di tengah lelaki di kapal, Santi sangatlah periang. Senyum manis dan rona wajah ceria selalu dia tampakkan ketika berbincang. Padahal, saat itu dia merasa kurang sehat. Maklum dia baru bertugas semalaman. Bagaimana tidak, pekerjaan sebagai mualim kapal menuntut dia untuk selalu standby memantau keseluruhan oprasional kapal.

Kadangkala orang awam menduga, orang yang mengemudikan kapal adalah nahkoda. Padahal, yang bertugas secara langsung mengemudikan kapal adalah sang juru mudi. Juru mudi inilah yang nantinya bertanggung jawab kepada mualim. Mualim memiliki kedudukan setingkat lebih rendah di bawah nahkoda. Mualim dan nahkoda merupakan perwira jaga bagi kelayakan dan kesempurnaan operasional kapal.

Di balik kemudi kapal, terdapat sederetan tombol otomatis penggerak kapal. Di sebelahnya ada beberapa alat penunjuk status arah kapal, bentuknya seperti jarum kompas. Namanya schotell. Di samping kanan schotell terdapat alat high engine yang berfungsi sebagai pendorong agar kapal dapat bergerak.

Terdengar suara radio dari operator mengomunikasikan status bongkar muat kapal yamg dioperasikan Santi. Itu pertanda kapal sudah harus kembali berlayar ke dermaga selanjutnya. Dengan cekatan Santi memberi aba-aba kepada Nur Sayid, juru mudi kapal. Setiap perubahan tekanan, koordinat dan arah yang tertera di sana dapat dia baca dengan sigap. Sehingga memudahkan juru mudi untuk mengoperasikan kendali kapal. Beginilah tugas Santi, memberikan instruksi navigator. "Lebih banyak sukanya dibandingkan dukanya selama bertugas sebagai seorang mualim," akunya.

Dia cerita, jejak karirnya berawal ketika dia mengambil sekolah jurusan pelayaran di SPM BS (Sekolah Pelayaran Maritim Bina Samudra) di Jalan Tidar Surabaya. Dia memang ingin sekolah di jurusan pelayaran. Apalagi, saat itu keluarganya tidak ada yang protes.

Menurut dia, hampir keseluruhan keluarganya berprofesi sebagai perawat. Hanya, orangtuanya memberikan kebebasan pada anaknya untuk menetapkan pilihan. Satu nasihat ayahnya yang paling dia ingat, "Jika memang sudah mantap mengambil keputusan untuk sekolah jurusan pelayaran, ya harus didalami. Jangan setengah-setengah."

Dia lulus di tahun 1993 dan langsung bekerja di salah satu perusahaan Kargo. Itu pun posisinya sebagai mualim. Pada 1995 Santi bergabung dengan perusahaan tempat dia berkerja sekarang. Saat itu dia ditempatkan di penyeberangan Ketapang (Banyuwangi)-Gilimanuk (Bali). Lima tahun kemudian ditempatkan di penyeberangan Kamal-Ujung.

Posisi dia yang berada di tengah-tengah lingkup pekerjaan yang didominasi kaum pria, tidak membuat pesimistis atau malu. Malah, dia memgaku bangga, karena satu-satunya perempuan di penyeberangan Ujung-Kamal yang tetap eksis di posisi mualim kapal.

Penyeberangan di Selat Madura adalah yang terpadat di Indonesia. Kondisi ini berpengaruh pada jadwal kerjanya Santiyang juga sangat padat. Tak jarang dia harus bertugas malam. Selama 12 jam dia harus standby di atas kapal. Itu artinya dalam semalam Santi harus melakukan pekerjaannya sebanyak 14-15 trip.

Kondisi ini yang kadang menjadi pemberat bagi santi. Sebab, kini dia memiliki anak laki-laki usia 5 tahun, yang menutut dia pandai mengatur waktu. Sehingga ada waktu luang untuk bisa bercengkrama dengan anaknya.

Suaminya yang bekerja juga bekerja di perusahaan yang sama, tak jarang pula jadwal kerjanya berbarengan. Otomatis tidak ada yang bisa mengasuh anak. Jika sudah begitu, anak mereka dititipkan pada penitipan anak.

Justru, Santi merasa lega jika mendapat jadwal kerja malam. Alasannya, di pagi hari dia bisa punya waktu untuk bisa bersama anaknya. (SILVIA RATNA DEWI D)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 22 Des 2007

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda