Pondok Pesantren Anwarul Abror Desa Jadung

Sinergi dengan Aktifitas Kaum Perempuan,
Berdayakan Warga Setempat


Keberadaan pondok pesantren (ponpes) dilahirkan untuk mentansfer ilmu-ilmu agama. Namun, ponpes juga harus mampu memberdayakan bidang-bidang lainnya. Sehingga mampu memberi pencerahan bagi warga setempat. Nah, upaya ini dilakukan oleh Ponpes Anwarul Abror di Desa Jadung, Kecamatan Dungkek. Salah satunya bersinergi dengan aktifitas kaum perempuan.

Kecil. Itu kesan yang akan diperoleh dari Ponpes Anwarul Abror yang berada di Desa Jadung, Kecamatan Dungkek, tepatnya di Dusun Sukun. Itu pun diakui pengasuhnya, KH Roji Fawaid Baidlawi. Namun, itu tidak mengurangi secuil pun semangatnya untuk menyebarkan ilmunya. "Ini adalah upaya saya untuk mengamalkan ilmu," katanya kemarin.

Salah satu yang membuat semangatnya selalu menyala adalah pesan gurunya agar senantiasa menerapkan dan menyebarkan ilmu pada masyarakat secara ikhlas. "Jadi, tidak usah melihat banyak atau sedikitnya santri. Transfer ilmu itu yang paling utama dan harus dilakukan tanpa pamrih," kata alumnus Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo ini.

Kiai Fawaid -sapaannya, mengaku, dirinya sebenarnya seorang pendatang di Desa Jadung. Ternyata, sekitar 1980-an, warga setempat mendirikan musala (langgar, bahasa Madura). "Warga meminta saya mengajari anak-anaknya untuk ngaji Alquran pada sore dan malam hari. Langgar itu juga saya fungsikan untuk membudayakan salat jamaah," katanya mengenang.

Kala itu, lanjutnya, di lingkungan sekitarnya memang banyak langgar yang menjadi pusat kegiatan agama. Sehingga, belum ada bayangan untuk merubah langgar miliknya menjadi ponpes. "Namun, proses menuju ponpes terjadi pada 1986. Sejumlah warga menitipkan anaknya untuk mondok (bermukim dan tidak pulang, kecuali diizinkan pulang, Red.)," katanya.

Kiai Fawaid mengaku, Anwarul Abror secara resmi dibukukan pada 1993. Aktifitas bagi santri-santrinya dilakukan pada malam hari. Sedang pada pagi sampai sore harinya, santrinya menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal (MTs-SMA Tarbiyatus Shibyan) dan sore harinya di lembaga diniyah. "Saya juga mengelola lembaga pendidikan Tarbiyatus Shibyan," ujarnya.

Langgar yang menjadi bangunan inti ponpesnya, ternyata sejak beberapa tahun lampau juga dijadikan pusat pengajian aktifis perempuan (Muslimat). Kemudian, sekitar 2000 lalu, peserta pengajian yang dikelolanya itu sepakat menbentuk unit usaha simpan pinjam. "Awalnya, simpan pinjam itu bagi anggota sendiri yang punya usaha kecil-kecilan," katanya.

Kiai Fawaid mengaku, modal awalnya sangat kecil, hanya pada kisaran ratusan ribu rupiah. Namun, komitmen dari anggota pengajiannya, membuat modal yang awalnya sangat kecil itu lambat laun bertambah. "Sekali lagi, ini kecil bagi kalangan tertentu. Tapi, manfaatnya sangat besar dirasakan oleh warga setempat yang memang kurang mampu," ujarnya.

Usaha simpan pinjam yang awalnya digagas untuk memberdayakan kalangan sendiri itu, akhirnya merembet ke luar. Warga setempat yang notabene bukan anggota pengajian, meminta agar bisa memanfaatkan dana tersebut. "Saat ini, modal kita itu menjadi Rp 17 juta. Padahal, tidak ada upaya yang mengikat hitam putih pada anggota yang minjam," katanya.

Ikhlas. Itu yang diterapkan Kiai Fawaid. Sehingga, warga setempat yang meminjam uang di kelompok pengajian perempuannya itu, tidak dibebankan untuk bayar ini dan itu. "Kita hanya minta mereka melunasi secara tepat waktu, biasanya dihitung per pekan. Ternyata, anggota yang merasa berhasil, mengembalikan uangnya agak lebih dari pinjaman awalnya," katanya.

Tapi, ada pula yang mengembalikan sesuai pinjamannya. Untuk anggota yang seperti itu, tidak ada sanksi apa pun. Sebab, sejak awal, usaha simpan pinjam yang digagasnya bersama aktifis pengajian perempuan itu, dilandasi semangat ikhlas. "Ponpes kan tidak dilarang punya aktifitas yang bersendi ekonomi sepanjang itu bermanfaat," katanya sambil tersenyum. (SLAMET HIDAYAT)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 16 Feb 2008

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda