Madura dengan Spirit Deng Xiaoping

Jika mau belajar dari sejarah Kota Shenzhen, pembangunan Madura bukan hal yang tidak mungkin. Sama dengan membayangkan Jembatan Suramadu beberapa tahun lalu sebagai hal yang mustahil.

Oleh: Satrijo Prabowo

MELIHAT wajah Pulau Madura pasca-operasional Jembatan Suramadu mengingatkan saya pada sejarah Kota Shenzhen di Provinsi Guangdong, China. Sekitar 30 tahun silam, kota kecil di seberang Hongkong ini, masih berupa kampung nelayan bernama Baoan County. Baru tahun 1992-an, kota seluas 2.020 km2, dengan enam kabupaten, yang saat itu berpenduduk 200.000 jiwa menjadi perhatian Deng Xiaoping.

Pemimpin China ini mengumpulkan para arsitek andal untuk mereformasi kota kering itu menjadi kota tujuan wisata. Hanya melalui pembicaraan selama empat hari, tepatnya tanggal 19-22 Januari, para arsitek berhasil membuat gambaran kasar tentang wajah baru Shenzhen. Hasilnya?

Sepuluh tahun kemudian, Shenzhen menjadi kota wisata. Tak kalah dengan Hongkong. Produk Domestik Bruto (PDB) yang tahun 1992 hanya 31,73 miliar yuan melonjak menjadi 190,82 miliar yuan pada 2002. Konsumsi per kapita masyarakat, dari 5.000 yuan menjadi 20.000 yuan. Kampung nelayan itu menjadi kota industri modern, yang tidak saja berpengaruh di China, melainkan dunia.

Sediktinya ada 1.000 jenis industri, 34 di antaranya memimpin di China, tujuh di antaranya industri besar berpengaruh di dunia, yang memproduksi perangkat lunak komputer, microelectronic dan komponen, video, audio dan produk elektro-mekanis.

Meski tak punya keindahan alam, Shenzhen membangun taman-taman kotal. Silakan masuk Window of The World, tempat wisata seluas 480.000 m2, yang memiliki lansekap dengan lampu indah di malam hari. Anda dapat melihat keindahan Menara Eiffel, Piramid Mesir, Menara Pisa, Taj Mahal dari India, Grand Canyon, bahkan Borobudur yang dibangun dalam duplikasi dengan rasio 1:3.

Untuk menarik wisatawan dunia, Shenzhen tidak saja membangun hipermarket raksasa yang memperdagangkan produk merek terkenal melainkan meredesain pasar tradisional. Kalau Anda ingin mengunjungi pasar tradisional yang bersih dengan air selalu bening, sayur segar, buah segar, bahkan ikan segar hidup, di sanalah tempatnya. Shenzhen punya Buji Farm Produksi, pasar peternakan di atas lahan 12 hektare dan luas lantai 20 hektare. Lebih dari 2.000 perusahaan dari 30 provinsi, kota dan daerah otonom di China terlibat dalam transaksi 3.000 jenis produk peternakan.

Potensi Madura

Secara geografis, Madura punya krakteristik hampir sama dengan Baoan County sebelum menjadi Shenzhen. Dataran itu juga sebagian besar diisi nelayan. Bedanya, jika Baoan County di Delta Sungai Pearl, Madura berada di antara Laut Jawa dan Selat Madura. Jika Baoan County berseberangan dengan Hongkong, Madura berseberangan dengan Surabaya.

Jika Madura sebelumnya sulit berkembang, itu semata-mata karena transportasi menuju Surabaya dimonopoli oleh satu jenis transportasi, yakni feri. Sampai suatu kali ketika KH Abdurrahman Wahid masih menjabat Ketua Umum PBNU sempat melontarkan joke. Gus Dur, panggilan akrab mantan Presiden RI itu mengungkapkan, ada sesuatu yang menghalangi rasa rindunya pada nahdliyin di Madura. “Perjalanan dari Jakarta ke Madura membutuhkan waktu seperti Jakarta ke Amerika. Yang paling lama, ngantre feri,” katanya.

Pulau Madura menyimpan banyak potensi. Banyak lahan kosong yang tidak produktif untuk pertanian berpotensi dijadikan kawasan pengembangan industri dan kawasan perdagangan. Apalagi, didukung dua pelabuhan besar, Pelabuhan Kamal di Kabupaten Bangkalan dan Pelabuhan Kalianget di Kabupaten Sumenep.

Madura juga dikelilingi kawasan pantai dengan panorama indah yang telah menarik perhatian wisatawan domestik maupun internasional. Sebut saja Pantai Camplong di Kabupaten Sampang, Pantai Tlanakan di Kabupaten Pamekasan, Pantai Lumbang dan Pantai Omben di Kabupaten Sumenep.

Menurut catatan saya, beberapa wisatawan internasional rela membuang dolar untuk mengunjungi Madura melalui Pelabuhan Kalianget. Tidak tangung-tanggung, mereka adalah peserta Cruise Tour, wisata mengelilingi bahari dengan kapal mewah seharga ribuan dolar, Selain panorama pantai, para turis selalu mengunjungi Kraton Kerajaan Sumenep, Makam Asta Tinggi dan melihat atraksi budaya Kerapan Sapi dan Kontes Sapi Sonok. Mereka selalu membawa menyempatkan membeli suvenir, berupa batik khas Madura.

Masih banyak potensi lain yang berpeluang menjadi sumber pendapatan negara. Sebut saja tradisi Otok-otok (arisan persaudaraan khas Madura), tradisi pernikahan, rumah etnik Madura, Tari Topeng, Hisory Arek Lancor, atau peluang wisata kuliner seperti Sate Madura, Soto Madura, Sambal Madura, Rujak Madura, Rujak Culek dll. Souvenir Madura pun sebenarnya tidak cuma batik. Tapi bisa topeng, pecut, udeng Madura, krupuk tenggeng, petis, dll.

Semangat Deng Xiaoping

Menjelang Pilpres, belum ada satupun capres dan cawapres yang menaruh perhatian bagaimana membangun Pulau Madura pasca-Jembatan Suramadu. Jika mau belajar dari sejarah Kota Shenzhen, pembangunan Madura bukan hal yang tidak mungkin. Sama dengan membayangkan Jembatan Suramadu beberapa tahun lalu sebagai hal yang mustahil.
Adakah di antara capres dan cawapres mempunyai spirit baja seperti Deng Xiaoping, saat memulai pembangunan Shenzhen. Satu kunci keberhasilannya adalah keberaniannya membuat kebijakan, membagi pembangunan China dalam lima Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zone), dan menjadikan Shenzhen dalam prioritas.

Masyarakat semestinya memanfaatkan masa promosi calon pemimpin dengan menjadikan pembangunan Madura sebagai nilai tawar politik. Yang terjadi, malah menghabiskan energi membahas misteri raibnya mur dan baut Suramadu. Padahal, jika Madura menjadi agenda bangsa, tidak menutup kemungkinan pembangunannya Madura melejit.

Meski tidak sehebat Shenzhen, setidaknya dalam waktu dekat Pulau Madura bisa mendapingi Surabaya sebagai Kota Indamardi (industri, perdagangan, maritim, dan pendidikan). Dengan begitu masyarakat Madura tidak perlu ke menyeberang ke Surabaya hanya untuk membeli baju.

Satrijo Prabowo, Mantan wartawan, sering bepergian ke China

Sumber: Surya, Kamis, 25 Juni 2009

Label: , , ,

Membumikan Sape Sonok

Madura, salah satu pulau bagian timur Jawa, dikenal sebagai pulau yang penuh dengan keunikan budayanya, tempat sapi menjadi bagian terpenting budaya tersebut. Selain kerapan sape, Madura juga memiliki budaya sape sonok.

Perbedaan dengan karapan sapi adalah, karapan sapi didominasi oleh sapi jantan untuk diadu keindahan dan kecepatan larinya, sedangkan sape sonok dikhususkan bagi sapi betina yang akan dipamerkan keindahan dan kecerdasannya.

Oleh Tirmidzi

Istilah sape sonok berasal dari bahasa Madura yang berarti sapi yang mengangkat kakinya dan memasukkannya ke atas papan yang telah disediakan. Dalam konteks ini, sepasang sapi betina didandani bagaikan ratu kecantikan. Tanduknya dipolesi warna-warni, bulunya disemir dan dirapikan dengan berbagai model, lehernya dikalungi perhiasan, perut dan kepalanya dipenuhi dengan hiasan, kakinya pun memiliki ‘sepatu’ khusus yang dibuat dari bahan khusus pula. Lumrahnya, sape sonok ini diiringi dengan musik tradisional Madura, Saronen. Kedua sapi yang berlomba akan berlenggak-lenggok indah ketika berjalan. Tentu saja lenggak-lenggok itu ala para sapi.

Pada awalnya, sape sonok biasanya diparadekan ketika ada pagelaran karapan sapi. Namun, dewasa ini budaya sape sonok mulai dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat. Mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep dapat dipastikan sudah pernah menggelar secara seremonial budaya ini.

Menurut penelitian, terdapat beberapa hal yang mendasari hal tersebut. Di antaranya karena sape sonok bisa dikatakan tidak berbahaya, lain halnya dengan karapan sapi yang seringkali menelan korban ketika pengemudi tidak dapat menghentikan laju sapinya. Pun, sapi betina yang digunakan dalam budaya sape sonok lebih murah harganya dan lebih mudah perawatan dan perlatihannya. Sukardi, salah satu pawai sape sonok asal Sumenep, pernah menuturkan bahwa sapi betina lebih mudah mengerti dan lebih cekatan.

Di samping itu, kecenderungan masyarakat yang mulai bergeser juga menjadi salah satu alasan mengapa sape sonok lebih membumi.

Dewasa ini, masyarakat mulai bersikap ‘emoh’ dengan budaya-budaya atau tradisi yang arogan semisal karapan sapi. Bayangkan, ketika sapi dalam karapan tidak berlari kencang maka pahanya ditusuk dengan paku, dicambuk, diolesi dengan bahan penghangat, dan itu pun masih digertak dengan keras. Saat ini mereka lebih cenderung simpati dan lebih melirik budaya yang humanis, hewanis, estetis, tapi menarik dan mengandung nilai budaya yang tinggi. Mencederai hewan menjadi salah satu masalah yang sering disorot dan itu lama-kelamaan akan membuat wisatawan enggan menonton karapan sapi lagi karena merasa ada unsur sadis di sana.

Sebagai budaya yang mulai menjamur di masyarakat, kehadiran sape sonok patut diapresiasi secara positif oleh seluruh elemen masyarakat Madura tanpa terkecuali sehingga budaya itu dapat terjaga dan terlestarikan. Perlu dicatat bahwa kebudayaan dalam sebuah negara (termasuk daerah) merupakan cermin kekayaan negara dimaksud. Bahkan Ali Nabhan (1998) menyatakan bahwa kondisi baik maupun buruk masyarakat dalam sebuah Negara dapat diketahui dari kebudayaan yang ada, karena keduanya memiliki keterkaitan dan keterikatan yang amat erat.

Persamaan Gender

Lebih jauh Ali Nabhan menambahkan, pelestarian sebuah budaya bukan hanya dilihat dari apresiasi, implementasi dan gandrungnya masyarakat terhadap budaya tersebut. Lebih dari itu, sebuah budaya dapat dikatakan lestari dan memasyarakat ketika budaya tersebut dapat berimplikasi positif terhadap kondisi masyarakat yang lebih riil, yaitu ketika mereka dapat memetik hikmah di dalamnya. Karena dapat dipastikan setiap budaya memiliki nilai substansial yang inheren, dimana nilai tersebut dapat diperoleh dengan adanya penghayatan yang mendalam terhadap segala ekspresi budaya itu sendiri.

Dari itu, maraknya sape sonok dewasa ini patut dihayati oleh masyarakat Madura khususnya, sehingga mereka tidak terjebak pada seremonialisme an sich, dan budaya tersebut dapat menjadi energi penggerak bagi masyarakat menuju kehidupan yang lebih bernilai positif. Persepesi penulis, ada beberapa nilai yang inheren dalam budaya sape sonok yang patut direnungkan dan kemudian diimplementasikan dalam kehidupan riil.

Pertama, nilai estetik. Keindahan sepasang sapi dalam sape sonok setidaknya dapat dijadikan sebagai parameter oleh masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang lebih indah, baik budi pekerti, pikiran, penampilan, dan termasuk juga membangun keindahan alam semisal peningkatan keindahan objek wisata yang ada.

Kedua, nilai pendidikan. Di tengah sistem pendidikan yang semakin tidak menentu, nilai pendidikan sape sonok mungkin dapat diaplikasikan dalam sistem pendidikan kita. Dalam sape sonok, seorang pendidik harus benar-benar telaten, sabar, semangat, kreatif, kaya strategi, faham pisikologi objek didik, dan penuh perjuangan dan pengorbanan. Jika tidak, proses pendidikan dan pembentukan karakter objek didiknnya akan gagal.

Sama hal dengan pendidikan, seorang pendidik dituntut untuk memiliki sikap-sikap sebagaimana disebutkan, yang kemudian ditopang dengan fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga proses pendidikan benar-benar menjadi media transformatif dalam mencetak generasi bangsa di masa depan.

Ketiga, nilai kesetaraan gender. Pada awalnya, sapi betina hampir sama nasibnya dengan perempuan dalam masyarakat kita, termarginalkan. Namun, dominasi sapi betina dalam budaya sape sonok sedikit telah mengangkat martabatnya, sehingga bisa tampil sama dengan sapi jantan, sama-sama menjadi ikon budaya yang dibanggakan.

Artinya, benar bahwa betina (perempuan) tidak memiliki kemampuan sebagaimana jantan (laki-laki), tapi perlu diingat bahwa mereka dapat tampil seimbang dengan keistimewaan yang tidak dimiliki laki-laki. Pesan akhir, ‘persamaan’ gender antara kaum Adam dan Hawa bisa saja tidak memungkinkan, tapi ‘kesetaraan’ gender antara mereka harus diyakini masih bisa diproses dan diperjuangkan. (n)

Tirmidzi, PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya

Sumber: Surya, 26/07/201o

Label: ,

Kesenian Madura Bisa Mendunia

Kesenian Madura mendapat perhatian tersendiri dari kalangan artis Ibu Kota. Menurut mereka, bila kesenian tersebut dirawat, dimodifikasi, dan dilestarikan, suatu saat kesenian Madura tidak hanya bergema di pentas nasional. Tetapi, gaung kesenian Madura sampai ke manca negara.

Itulah kesimpulan dari pembicaraan Pemred Koran Madura Abrari saat berbincang dengan Arzeti Bilbina di studio TV One Jakarta (28/12). Menurut Arzeti, sejauh ini Madura seolah-olah hanya mendengar kerapan sapi, batik, dan sate Madura yang terkenal. Tetapi saat bertemu langsung dengan sejumlah orang Madura di Jakarta, Arzeti memahami kesenian Madura jauh lebih banyak dari yang dia ketahui.

Salah satu contohnya, Arzeti menyebut rag-aragen yang ditampilkan Said Abdullah Institute (SAI) di hari terakhir Kongres Kebudayaan Madura II beberapa waktu lalu. Di dalam tayangan itu, Arzeti mengaku temukan banyak kesenian dan pakaian adat. Diantaranya, baju lega (baju kebesaran), pakaian cebbing, ul daul, saronen, sape sono’ dan banyak lagi yang lainnya. “Madura untuk Dunia, wow keren,” Arzeti memberi semangat.

Sebelum Arzeti, artis Ibu Kota, Kirey datang ke acara Kongres Kebudayaan Madura II. Kirey tidak hanya datang sebagai peninjau. Tetapi, dia hadir justru ikut menjadi bagian dari pelaku rag-aragen bersama masyarakat dengan mengendarai kereta kencana. Hal yang sama juga dilakukan Ayu Azhari yang untuk beberapa hari tinggal di Kabupaten Sumenep. Ayu, saat itu, cukup terkesan dengan makanan dan minuman tradisional Madura.

Budayawan Madura, Edhi Setyawan sependapat dengan para artis yang meyakini kesenian Madura untuk mendunia. Di era 1990-an, kesenian Madura (topeng) telah melanglang ke Eropa. Di pentas internasional, kesenian Madura mendapat apresiasi yang luar biasa sebagai karya seni anak bangsa. Tetapi, Edhi merasa telah terjadi ketidakseimbangan antara apresiasi di daerah dengan jagat internasional. Menurutnya, di daerah regional kesenian tidak sepenuhnya mendapat tempat yang layak. “Waktu itu, di Eropa, usai kami tampil terdapat tiga aplaus dari pemiarsa. Tiga aplaus tersebut menjadi tanda bahwa grup yang tampil sangat bagus,” Edhi bercerita.

Ketua Dewan Pembina SAI (Said Abdullah Institute) Said Abdullah mengaku hanya melakukan remotivasi berbudaya. Said yakin jika bukan warga Madura sendiri yang memelihara dan merawat budayanya sendiri, dapat dipastikan budaya Madura habis pada saatnya. Karena itu, sebelum hal terburuk itu datang, Said melakukan budaya tanding terhadap masuknya globalisasi yang tanpa batas. Antara lain, dia bersama masyarakat secara gotong-royong menyelanggaran Kongres Kebudayaan Madura I dan II disusul rag-aragen serupa parade budaya Madura secara kolosal. “Nah, kami ingin menggugah kesadaran bersama bahwa budaya lokal itu sangat penting,” dia menjelaskan.

Sekedar diketahui, tanggal 28 Desember 2012 lalu rombongan dari Madura bertandang ke Jakarta. Mereka antara lain Pemimpin Redaksi Koran Madura Abrari, Model Cebbing dan Penari Mowang Sangkal masing-masing Indah, Mazida, Fethy, Serly, Vera, dan Ketua Dewan Pembinan SAI, MH Said Abdullah untuk mengkampanyekan Madura untuk Dunia di live TV One, Jakarta. (dav/bet)

Sumber: Koran Madura, 01 Jan 2013

Label: , ,