Membumikan Sape Sonok
Madura, salah satu pulau bagian timur Jawa, dikenal sebagai pulau yang penuh dengan keunikan budayanya, tempat sapi menjadi bagian terpenting budaya tersebut. Selain kerapan sape, Madura juga memiliki budaya sape sonok.
Perbedaan dengan karapan sapi adalah, karapan sapi didominasi oleh sapi jantan untuk diadu keindahan dan kecepatan larinya, sedangkan sape sonok dikhususkan bagi sapi betina yang akan dipamerkan keindahan dan kecerdasannya.
Oleh Tirmidzi
Istilah sape sonok berasal dari bahasa Madura yang berarti sapi yang mengangkat kakinya dan memasukkannya ke atas papan yang telah disediakan. Dalam konteks ini, sepasang sapi betina didandani bagaikan ratu kecantikan. Tanduknya dipolesi warna-warni, bulunya disemir dan dirapikan dengan berbagai model, lehernya dikalungi perhiasan, perut dan kepalanya dipenuhi dengan hiasan, kakinya pun memiliki ‘sepatu’ khusus yang dibuat dari bahan khusus pula. Lumrahnya, sape sonok ini diiringi dengan musik tradisional Madura, Saronen. Kedua sapi yang berlomba akan berlenggak-lenggok indah ketika berjalan. Tentu saja lenggak-lenggok itu ala para sapi.
Pada awalnya, sape sonok biasanya diparadekan ketika ada pagelaran karapan sapi. Namun, dewasa ini budaya sape sonok mulai dilaksanakan secara mandiri oleh masyarakat. Mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep dapat dipastikan sudah pernah menggelar secara seremonial budaya ini.
Menurut penelitian, terdapat beberapa hal yang mendasari hal tersebut. Di antaranya karena sape sonok bisa dikatakan tidak berbahaya, lain halnya dengan karapan sapi yang seringkali menelan korban ketika pengemudi tidak dapat menghentikan laju sapinya. Pun, sapi betina yang digunakan dalam budaya sape sonok lebih murah harganya dan lebih mudah perawatan dan perlatihannya. Sukardi, salah satu pawai sape sonok asal Sumenep, pernah menuturkan bahwa sapi betina lebih mudah mengerti dan lebih cekatan.
Di samping itu, kecenderungan masyarakat yang mulai bergeser juga menjadi salah satu alasan mengapa sape sonok lebih membumi.
Dewasa ini, masyarakat mulai bersikap ‘emoh’ dengan budaya-budaya atau tradisi yang arogan semisal karapan sapi. Bayangkan, ketika sapi dalam karapan tidak berlari kencang maka pahanya ditusuk dengan paku, dicambuk, diolesi dengan bahan penghangat, dan itu pun masih digertak dengan keras. Saat ini mereka lebih cenderung simpati dan lebih melirik budaya yang humanis, hewanis, estetis, tapi menarik dan mengandung nilai budaya yang tinggi. Mencederai hewan menjadi salah satu masalah yang sering disorot dan itu lama-kelamaan akan membuat wisatawan enggan menonton karapan sapi lagi karena merasa ada unsur sadis di sana.
Sebagai budaya yang mulai menjamur di masyarakat, kehadiran sape sonok patut diapresiasi secara positif oleh seluruh elemen masyarakat Madura tanpa terkecuali sehingga budaya itu dapat terjaga dan terlestarikan. Perlu dicatat bahwa kebudayaan dalam sebuah negara (termasuk daerah) merupakan cermin kekayaan negara dimaksud. Bahkan Ali Nabhan (1998) menyatakan bahwa kondisi baik maupun buruk masyarakat dalam sebuah Negara dapat diketahui dari kebudayaan yang ada, karena keduanya memiliki keterkaitan dan keterikatan yang amat erat.
Persamaan Gender
Lebih jauh Ali Nabhan menambahkan, pelestarian sebuah budaya bukan hanya dilihat dari apresiasi, implementasi dan gandrungnya masyarakat terhadap budaya tersebut. Lebih dari itu, sebuah budaya dapat dikatakan lestari dan memasyarakat ketika budaya tersebut dapat berimplikasi positif terhadap kondisi masyarakat yang lebih riil, yaitu ketika mereka dapat memetik hikmah di dalamnya. Karena dapat dipastikan setiap budaya memiliki nilai substansial yang inheren, dimana nilai tersebut dapat diperoleh dengan adanya penghayatan yang mendalam terhadap segala ekspresi budaya itu sendiri.
Dari itu, maraknya sape sonok dewasa ini patut dihayati oleh masyarakat Madura khususnya, sehingga mereka tidak terjebak pada seremonialisme an sich, dan budaya tersebut dapat menjadi energi penggerak bagi masyarakat menuju kehidupan yang lebih bernilai positif. Persepesi penulis, ada beberapa nilai yang inheren dalam budaya sape sonok yang patut direnungkan dan kemudian diimplementasikan dalam kehidupan riil.
Pertama, nilai estetik. Keindahan sepasang sapi dalam sape sonok setidaknya dapat dijadikan sebagai parameter oleh masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang lebih indah, baik budi pekerti, pikiran, penampilan, dan termasuk juga membangun keindahan alam semisal peningkatan keindahan objek wisata yang ada.
Kedua, nilai pendidikan. Di tengah sistem pendidikan yang semakin tidak menentu, nilai pendidikan sape sonok mungkin dapat diaplikasikan dalam sistem pendidikan kita. Dalam sape sonok, seorang pendidik harus benar-benar telaten, sabar, semangat, kreatif, kaya strategi, faham pisikologi objek didik, dan penuh perjuangan dan pengorbanan. Jika tidak, proses pendidikan dan pembentukan karakter objek didiknnya akan gagal.
Sama hal dengan pendidikan, seorang pendidik dituntut untuk memiliki sikap-sikap sebagaimana disebutkan, yang kemudian ditopang dengan fasilitas pendidikan yang memadai, sehingga proses pendidikan benar-benar menjadi media transformatif dalam mencetak generasi bangsa di masa depan.
Ketiga, nilai kesetaraan gender. Pada awalnya, sapi betina hampir sama nasibnya dengan perempuan dalam masyarakat kita, termarginalkan. Namun, dominasi sapi betina dalam budaya sape sonok sedikit telah mengangkat martabatnya, sehingga bisa tampil sama dengan sapi jantan, sama-sama menjadi ikon budaya yang dibanggakan.
Artinya, benar bahwa betina (perempuan) tidak memiliki kemampuan sebagaimana jantan (laki-laki), tapi perlu diingat bahwa mereka dapat tampil seimbang dengan keistimewaan yang tidak dimiliki laki-laki. Pesan akhir, ‘persamaan’ gender antara kaum Adam dan Hawa bisa saja tidak memungkinkan, tapi ‘kesetaraan’ gender antara mereka harus diyakini masih bisa diproses dan diperjuangkan. (n)
Tirmidzi, PesMa IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber: Surya, 26/07/201o
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda