Ponpes Salafiyah Syafi'iyah, Mencetak Waliyullah

"Terus terang saya tidak menginginkan santri yang hanya doktorandus. Tapi, saya menghendaki santri yang pandai membaca Fathul Wahab. Saya bercita-cita agar santri saya bisa mempunyai pangkat yang sama dengan santri Sunan Ampel."

Itulah salah satu nasihat almarhum KH As'ad Syamsul Arifin, pengasuh ponpes Salafiyah Syafi'iyah, kepada para santrinya seperti tertulis dalam bukunya 'Percik-percik Pemikiran Kiai Salaf'.

Melalui ponpes Salafiyah Syafi'iyah yang terletak di Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Almarhum Kiai As'ad benar-benar berkeinginan kuat menelurkan alumni yang menjadi waliyullah. "Meski hanya sepuluh orang. Daripada ratusan alumni yang kemudian menjadi koruptor atau tukang pungli."

Visi sang kiai kharismatik yang tutup usia pada 4 Agustus 1990 ini, masih melekat di kalangan para pengajar PP Salafiyah Syafi'iyah hingga saat ini. Bahkan, putra KH As'ad, KH Achmad Fawaid As'ad, menetapkan visi yang lebih kompleks dan modern dari pada pendahulunya. Yakni, bertujuan mencetak manusia yang beriman, berilmu, beramal, bertakwa, dan berakhlaqul karimah.

Kiai Achmad Fawaid bin As'ad mengungkapkan, apa yang ada dan dilakukan manajemen Ponpes Salafiyah Syafi'iyah sekarang merupakan wujud dari apa yang dicita-citakan para pendahulunya, meski tidak semuanya terpenuhi. Misalnya, almarhum berobsesi mendirikan Fakultas Ekonomi, Kedokteran, Pertanian, Kelautan, dan Perikanan.

"Beliau ingin nuansa santri pada dokter-dokter yang dicetak dari fakultas itu. Dan tidak ingin santrinya menjadi kuli atau juragan yang koruptor," papar Kiai Fawaid.

Karena itu, ke depan Kiai Fawaid berencana meningkatkan apa yang sudah berjalan di pesantrennya. Tidak ada yang spesifik lagi dengan programnya. Namun, sedikit peningkatan dengan membangun sekolah kebidanan yang sudah ia rancang.

Dari realitas yang berkembang di lingkungan ponpes di ujung barat Laut pulau Jawa ini, visi yang diinginkan almarhum Kiai As'ad ini memang terwujud. KH Fawaid, putra sulungnya, memang sangat menyukai mengembangkan SDM santri dengan menyisipkan pendidikan formal. Yaitu, mulai tingkat SD hingga perguruan tinggi dan berbagai pendidikan nonformal.

Di lingkungan ponpes yang berjarak sekitar 200 kilometer timur Surabaya ini, sedikitnya ada 14 lembaga pendidikan formal yang saat ini tengah aktif. Di antaranya, Universitas Ibrahimi yang memiliki 5 fakultas dan 2 program pascasarjana. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut, ditangani oleh 624 guru dan dibantu 232 karyawan. Sedangkan jumlah santri yang harus ditangani mencapai 13.304 orang.

Sementara itu, Kepala Bidang Pendidikan Ponpes Salafiyah Syafi'iyah, Drs KH Afifuddin Muhajir M.Ag mengidentifikasi, santri-santri tersebut sebanyak 59,8 persen dari kalangan petani, 15,8 pedagang, 3,4, pegawai, 18,9 nelayan, dan 2,1 persen dari kalangan ulama. Mereka berasal dari pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Aceh, Lombok, Irian, bahkan Timor Leste dan Malaysia.

Berdiri di atas lahan seluas 11,9 hektar, Ponpes Salafiyah Syafi'iyah memiliki 12 gedung sekolah dengan 253 ruang belajar dan 3 aula. Disamping juga terdapat 29 kantor unit yang dikendalikan dari satu kantor pusat. Meskipun berada di lokasi jauh dari keramaian, namun para santri tetap dapat mengenal dunia maya. Pesantren menyediakan fasilitas 3 saluran internet dengan 30 unit komputer tersedia.

Kini para santri tinggal di 277 asrama. Untuk kegiatan ibadah mereka, pesantren juga menyediakan 1 buah masjid besar dan 12 mushala. Namun, mengingat banyaknya jumlah santri, masjid yang berkapasitas sekitar 3 ribu santri itu kini dirasakan tidak mencukupi lagi.

"Kalau shalat berjamaah terpaksa kami bergantian," tutur Afifuddin Muhajir. Meski di sebuah desa terpencil, lokasi PP Salafiyah Syafi'iyah cukup strategis. Ponpes ini berda di tengah-tengah dua pelabuhan aktif, Jangkar dan Kalbut. Keduanya sampai sekarang masih aktif melayani jalur pelayaran Situbondo-Madura atau ke tempat lain di pesisir utara pulau Jawa dan jalur transportasi darat Jawa-Bali lewat pantai utara. "Kami masih harus menggali potensi dua pelabuhan di utara pondok. Kendala untuk itu cukup berat karena tidak ada yang menangani secara serius," ungkapnya.

Ponpes Salafiyah Syafi'yah didirikan tahun 1914 oleh almarhum Kiai Syamsul Arifin alias Raden Ibrahim bin Ruham, kakek Kiai Achmad Fawaid pengasuh ponpes sekarang ini. Prosesnya, menurut Afifuddin, cukup panjang. Dimulai pada tahun 1908 atas saran Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah, ulama besar Semarang waktu itu, Kiai Syamsul Arifin dibantu As'ad muda dan beberapa santri ayahnya.

Di antaranya adalah Kiai Ruham asal Kembang Kuning, Pamekasan, Madura, merambah hutan yang membentang dari Gunung Baluran hingga Asembagus. Kawasan itu, dulunya dikenal hutan Suko Belos, yang artinya kesatuan antara hutan dan pantai, sebelum dikenal dengan nama Sukorejo. Penguasa waktu itu, adalah Kaji Maiya. Sebutan Kaji adalah untuk bangsawan setempat.

Hingga kini, orang mengenal dan menyebut kawasan itu Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Padahal, Sukorejo ternyata adalah Dusun di Desa Sumberejo, Kecamatan Banyuputih, Eks Kawedanan Asembagus, Kabupaten Situbondo.

Afifuddin mengisahkan, proses perambahan hutan kala itu kerapkali terhenti karena banyaknya binatang buas yang menghuni Gunung Baluran. Namun, perjuangan berat itu pun akhirnya membuahkan hasil dan berdirilah ponpes yang masih berupa gubuk. Sisa lahan rambahan, mereka manfaatkan sebagai lahan pertanian. "Sejak itulah perjalanan pesantren ini dimulai," jelasnya.

Raden Ibrahim bin Ruham, adalah kiai kelahiran Madura, tepatnya di Desa Kembang Kuning, Pamekasan, pada tahun 1841. Ketika menginjak remaja, ia menuntut ilmu di Makkah, Saudi Arabia.

KH As'ad Syamsul Arifin Tokoh NU Penggagas Ma'had Ali

KH As'ad Syamsul Arifin adalah ulama terkemuka dan tokoh NU. Ia memimpin Ponpes Salafiyah Syafi'iyah pada 1951-1990. Ayahnya yang juga bernama Kiai Syamsul Arifin adalah ulama besar asal Madura.

Masa kanak-kanak As'ad dilewati di Tanah Suci Makkah bersama kedua orang tua dan adiknya, R Abdurrahman. Pada usia 6 tahun ia pulang ke Pamekasan, Madura. Setelah 5 tahun di Madura, yaitu pada 1908, ayahnya, Kiai Syamsul Arifin, mempunyai gagasan mendirikan pesantren di Sukorejo, Asembagus, Situbondo.

Menginjak usia remaja, seperti ditulis Ensiklopedi Islam, As'ad kembali dikirim ayahnya ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Di sana ia berguru pada ulama-ulama besar, seperti Sayid Muhammad Amin al-Qutbi (guru ilmu tauhid dan fikih), Syekh Hasan al-Massad dan Sayin Hasan al-Yamani (keduanya guru bidang sastra dan bahasa Arab), dan Syekh Abbas al-Maliki (guru ilmu tasawuf). Pada 1914, dalam usia 17 tahun ia kembali ke tanah air dan menjadi santri KH Mohammad Cholil di Bangkalan, Madura dan KH Hasyim Asy'ari di Jombang.

Pada 1942, As'ad memulai kariernya sebagai guru di pesantren ayahnya. Ia melakukan banyak perubahan dalam pesantren, baik sistem pendidikan maupun pengelolaan administrasi. KH As'ad dipandang sebagai orang yang memajukan Ponpes Salafiyah Syafi'iyah, terutama dengan mendirikan Ma'had Ali (Pesantren Tinggi) di pesantren tersebut. Para pengajarnya adalah ulama besar yang didatangkan dari Makkah serta beberapa ulama terkemuka Indonesia.

Dalam jajaran tokoh NU, KH As'ad termasuk generasi perintis. Dari muktamar ke muktamar, ia selalu dipilih sebagai mustasyar (penasihat) NU. Ia pun dikenal sebagai tokoh yang sangat berwibawa, memiliki pola hidup sangat sederhana dalam pakaian, makanan, dan tempat tinggal.

Nama KH As'ad sangat populer pada 1984, saat menjelang Muktamar NU ke-27 di pesantrennya. Muktamar tersebut menetapkan NU melepaskan keterkaitannya pada politik dan kembali ke Khittah 1926, yaitu kembali menjadi organisasi sosial keagamaan. (sam/dokrep/Oktober 2003)

Sumber: Republika, Rabu, 24 Desember 2008

Label: , , , ,

1 Komentar:

Pada 14 Juni 2010 pukul 00.43 , Anonymous DIDIK ABBASIYAH mengatakan...

HARUSNYA MEMANG SEPERTI ITU BIAR TIDAK TUMPANG TINDIH ANTARA AGAMA N POLITIK , NADLIYIN JG SUPAYA TIDAK LUNTUR TAQDIMNYA PADA ULAMA ATAU KYAI N U ......

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda