Kawasan Bebas BAB Sembarangan (2)
Terbiasa Bersih Setelah Digalikan Sumur 100 Meter
PADA era 1980-an, pemerintah pernah mengucurkan proyek Inpres Samijaga (Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga), termasuk di Madura. Proyek yang hanya mengedepankan pembangunan sarana fisik tanpa melihat kebutuhan masyarakat ini akhirnya sia-sia.
“Inpres Samijaga harus terlaksana tepat waktu. Bentuk dan ukurannya pun sudah disesuaikan dari pusat. Pemerintah tidak pernah berpikir, apakah proyek tersebut benar-benar dibutuhkan masyarakat,” kata Joko Suhartono, Petugas Kesehatan Lingkungan Puskesmas Tanah Merah, Bangkalan, kepada Surya.
Sejumlah sarana jamban umum yang berdiri di perkampungan, kenyataannya tidak dimanfaatkan dengan baik. Masyarakat masih memilih dan merasa lebih nyaman buang hajat di sembarang tempat. Jamban yang dibangun dengan biaya jutaan rupiah itu pun berubah fungsi sebelum akhirnya dirobohkan.
Untuk mengubah pola hidup jorok ini tidak pernah berhenti. Para pejabat yang ditempatkan di kawasan pinggiran Bangkalan, juga tak henti memberi pengertian kepada masyarakat untuk meninggalkan kebiasaan buang air besar (BAB) sembarangan.
“Saya pernah menyarankan agar setelah buang hajat ditutup dengan tanah. Kalau tempatnya di pekarangan, mungkin bisa menjadi pupuk organik,” kata H Basori, mantan camat Tanah Merah tahun 1999. Sayangnya, saran itu tak pernah disambut warga dengan baik.
Kebutuhan air yang selama ini sulit didapat menjadi persoalan utama. Air yang di musim kemarau harus diambil dari sumur di desa tetangga, lebih diutamakan untuk minum dan memasak. Sementara untuk mandi dan cuci, urusan yang berikutnya.
Setelah dua dekade kemudian, tepatnya tahun 2004, masyarakat mulai tergerak untuk membiasakan pola hidup bersih. Berbagai penyuluhan kesehatan lingkungan yang disisipkan di kegiatan keagamaan mulai gencar dilakukan.
“Kami tidak pernah berhenti bercerita kepada masyarakat tentang pentingnya kesehatan lingkungan. Berak yang ditinggalkan di sembarang tempat ini dihinggapi lalat dan bisa menimbulkan penyakit,” ujar Joko Suhartono yang mendampingi Kepala Puskesmas Tanah Merah, dr Nurul Hidayat.
Dalam kondisi sakit, seperti diare dan muntaber, lanjut Joko, mereka tentu tidak bisa BAB sembarangan. Karena setiap saat harus segera berlari ke lokasi yang sepi dan tidak terlihat orang. “Membuat jamban tidak perlu biaya. Cukup dengan menggali tanah dan menutupnya dengan kerobong sesek. Mengubah kebiasaan masyarakat ini butuh waktu panjang. Mereka baru tergerak setelah merasakan manfaat dari pola hidup yang bersih,” tandasnya.
Untuk mempertahankan pola hidup bersih ini, Klebun Cholid nekad membangun sumur bor dengan kedalaman sekitar 100 meter. Dengan dana swadaya masyarakat, dimulailah pengeboran yang penentuan lokasi titik sumur bor ini didatangkan ahli dari Bandung.
“Kami pernah dijanjikan bantuan oleh pejabat Jakarta dan luar negeri (Bank Dunia, Red), proyek ini sukses. Tapi sampai saat ini, bantuan itu tidak pernah ada. Masyarakat juga sudah lupa,” kata Klebun (Kepala Desa) Dlambah Dajha, H Abdul Cholid, yang harus membiayai rekening listrik sumur bor Rp 1,2 juta per bulan.
Pilot proyek di Desa Dlambah Dajha, Kecamatan Tanah Merah ini, selayaknya dikembangkan ke seluruh pelosok Madura. Sehingga cap atau stigma masyarakat Madura yang suka berperilaku jorok, bisa digusur dari seluruh muka bumi. Ta' iya? (Arie Yoenianto)
Sumber: Surya, Selasa, 6 Januari 2009
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda