Sebanyak 106 Santri Al-Amien Tak Masuk DPT

Sebanyak 106 santri Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Amien, Prenduan, Sumenep yang punya hak pilih dalam pilpres 8 Juli dipastikan tidak bisa menggunakan haknya,karena tidak masuk dalam daftar pemilih tetap.

Ketua Panwaslu Sumenep, Drs H Bambang Hermanto MM Msi, mengatakan temuan itu merupakan laporan masyarakat dan panwascam setempat. Ia mengaku belum tahu mengapa hingga ratusan santri terlewat dari pendataan. ”Saya minta KPU bekerja keras untuk memasukkan 106 santri itu ke DPT. Bisa juga usul DPT susulan, sehingga suara santri tidak hilang,” kata Bambang, Jumat (19/6).

Bambang juga mengaku akan menekan para pengawas di lapangan agar menindaklanjuti temuan itu, karena mungkin masih ada warga lain yang tidak masuk DPT.

Anggota KPU Sumenep, Hidayat Andiyanto SH MSi mengatakan, tidak masuknya para santri itu dalam DPT bukan kesalahan petugas pemutakhiran data pemilih (P2DP) dan KPU. ”Sebelum DPT itu ditetapkan dan pada masa pemutakhiran data pemilih, pengasuh Ponpes Al-Amien sudah memberikan data santri yang berhak memilih kepada petugas dan semua sudah terakomodasi. Namun usai penetapan DPT, pengasuh ponpes memberikan data 106 santi itu,” katanya.st2

Sumber: Surya, Sabtu, 20 Juni 2009

Label: ,

Lembaga Pendidikan Islam Al Amin Palengaan

Santri Belajar di Sekolah Formal, Lembaga Tularkan Wirausaha

Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Al Amin berada di dataran tinggi Kecamatan Palengaan, Pamekasan. Apa istimewanya?

LPI Al Amien terletak di Dusun Taretah, Desa Palengaan Daja, Kecamatan Palengaan, Pamekasan. Di kompleks pendidikan ini terdapat asrama yang menjadi hunian ratusan santri. Sebagian santri di lembaga ini berasal dari keluarga ekonomi lemah. Sebagian lainnya para yatim yang biaya pendidikannya dibiayai lembaga.

Memasuki LPI Al Amin memerlukan kehati-hatian. Sebab, banyak jalan kecil yang hanya pas untuk dua mobil saat berpapasan. Selain itu, di musim hujan seperti saat ini jalanan licin. Tetapi bagi yang sudah biasa seperti pengasuh LPI Al Amin, KH Muhdlar Abdullah, jalan licin dan agak sempit bukan tantangan. "Tak akan ada pemilik rumah tersesat di kampung halamannya," dia bercanda.

Muhdlar Abdullah memperkenalkan lembaga yang dipimpinnya. Dia menunjuk bangunan lantai dua yang berada di sisi utara masjid kompleks lembaga ini. Di bagian depan masjid, Muhdlar mengaku sengaja menanami pohon palem, euphorbia, dan aneka tanaman hias lainnya. Tujuannya, lelaki tinggi besar itu ingin agar penghuni lembaga peduli terhadap keasrian pekarangan.

Dia menolak lembaganya disebut pesantren. Pria yang tak lain wakil ketua DPRD Pamekasan beralasan, lembaga yang didirikannya lebih pas disebut LPI. Alasannya lembaga yang dipimpinnya belum memiliki ruang kelas yang mengelompokkan santri di kelas ula (petama), wustha (menengah), dan ulya (atas).

Muhdlar menyebut lembaga karena memanfaatkan masjid sebagai majelis (lembaga belajar) santri yang sebagian besar tak mampu dan yatim. "Masjid ini yang sementara menjadi ruang belajar untuk ilmu agama," ujarnya sambil menunjuk sebuah masjid.

Untuk belajar di sekolah formal, para santri telah tertampung di berbagai lembaga di sekitar asrama. Di antaranya, sebagian santrinya sekolah di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA di sekitar LPI Al Amin. Bahkan, Muhdlar bilang sebagian santrinya kuliah di berbagai perguruan tinggi di Pamekasan. Bila dluhur usai, santri kembali lagi ke asrama untuk menunaikan ritual LPI. Antara lain, santri salat berjamaah dan mengaji kitab kuning usai salat magrib. "Jangka panjang kami proyeksikan punya jenjang pendidikan TK sampai setingkat SMA," kata alumni Ponpes Sidogiri ini.

Selain belajar di sekolah formal dan mengikuti ritual lembaga, santri diajak wirausaha. Sesuai kompetensinya, santri berbisnis yang dimodali Yayasan Sosial Muara 99. Dia bilang yayasan ini menaungi LPI Al Amin dan lembaga sejenis di dalam maupun luar Pamekasan. Dia mencontohkan, sebagian santri ada yang berusaha di bidang konveksi.

Muhdlar menyadari santri tidak total berwirausaha. Sebab, santri memiliki waktu yang terbatas. Sisa waktu dari sekolah formal dan ritual lembaga, santri magang di berbagai sentra konveksi. "Jika nanti sudah menguasai ilmunya, santri berwirausaha sendiri," paparnya.

Selain konveksi, santri berwirausaha di bidang jual-beli tanaman hias, printing, jasa komputer, fotografi, dan sablon. Hasil dari wirausaha santri, dibagi secara proporsional. Yakni, yayasan, LPI Al Amin, dan santri yang berwirausaha juga menerima keuntungan.

Muhdlar katakan seluruh biaya pendidikan dan lembaga selama ini berasal dari keuntungan wirausaha yang dibina yayasan. "Selain imtaq dan iptek, kami juga tekankan wirausaha," ungkap sosok yang enggan duduk di eksekutif ini. (ABRARI)

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 13 Des 2007

Label: , , ,