Anis Sulalah, Cebbing Favorit Sampang 2009
Sejak Umur Tujuh Hari Ditinggal Ibunya Jualan Es, Sempat Minder
Anis Sulalah mungkin tak seperti finalis lainnya. Dia dari keluarga yang pas-pasan. Tapi, dialah yang terbanyak mengumpulkan dukungan pembaca. Seperti apa kondisi keluarga Anis?
SIANG itu rumah sederhana di RT 03/03 Kampung Kasenih, Jalan Kramat yang tepat berada di seberang kantor Kelurahan Karang Dalam tampak sepi. Di rumah yang sebagian dindingnya belum dikuliti itulah Anis Sulalah tinggal bersama kedua orang tuanya.
Karena tidak ada orang, kemarin Anis mengajak koran ini untuk menunggu di rumah pamannya, Moh. Sadik, yang tidak jauh dari rumahnya. Sementara gadis kelahiran Sampang 9 Juli 1992 itu segera mencari ayahnya dengan naik sepeda motor sang paman.
Sembari menunggu kabar dari Anis, koran ini mulai membuka perbincangan dengan Sadik. "Sejak kecil Anis biasa ditinggal kerja oleh kedua orang tuanya. Ayahnya (Faridi, 48, Red) adalah petani yang juga pekerja bangunan. Sedangkan ibunya (Toyyinah, 39, Red) biasa berjualan es di Pasar Srimangunan," ungkap lelaki berkumis itu.
Tak lama, handphone (HP) Sadik berbunyi. Panggilan itu dari Anis. "Ayahnya Anis sudah ada di rumahnya. Mari saya antar ke sana," tutur Sadik dan koran ini pun mengiyakannya.
Ketika sampai di rumah Anis, Faridi baru saja selesai memandikan Aisyah Okta Ramadani, adik Anis yang baru berusia tiga tahun. Faridi mengaku baru pulang kerja sebagai kuli bangunan di kampung sebelah. Tak lama kemudian, datang seorang perempuan naik sepeda pancal yang membawa barang bawaan di bagian belakangnya.
"Setiap hari saya pulang jam segini (pukul 13.00, Red), kadang lebih. Saya biasa jualan es dan pisang goreng di Pasar Srimangunan," ungkap Toyyinah yang sudah berjualan sejak 1992.
Toyyinah mengaku sudah biasa menitipkan Anis ke kerabatnya sejak ia masih berusia tujuh hari. "Itu saya lakukan demi membantu suami membiayai sekolah anak pertama kami. Saat itu anak pertama kami mulai masuk sekolah dasar," ungkap ibu yang biasa berjualan sejak pukul 06.00 hingga siang hari itu.
Namun, ketika Anis mulai masuk SD, dia biasa menemani ibunya berjualan di pasar. "Sejak sekolah di SD dan di SMP saya sering bantu ibu. Tapi setelah SMA dan kuliah, saya tidak bisa nganter ibu lagi. Saya bertugas mengerjakan pekerjaan rumah," terang Anis.
Kondisi ekonomi keluarga seperti itu, diakui Anis sempat membuatnya minder. Hal itu dia rasakan ketika awal audisi peserta Kaceb Batik 2009 beberapa waktu lalu. "Kepercayaan diri saya mulai muncul ketika kakak saya (Moh. Abdurahman, Red) meyakinkan saya kalau semua peserta sama. Mereka makan nasi juga," ungkap Anis.
Selain sempat minder, kondisi ekonomi keluarga juga memaksa Anis untuk mengurungkan cita-citanya menjadi dokter. "Dulu saya ingin kuliah di kedokteran. Tapi bapak tidak punya uang. Untuk masuk di akademi kebidanan (akbid) saja, bapak harus menjual sapi hasil paruhannya dengan tetangga rumah," tutur mahasiswi Akademi Kebidanan Graha Husada Sampang semester I ini.
Lalu, dari mana suara dukungan pembaca untuk Anis? Yang pasti, Anis mendapat dukungan keluarga dan kerabatnya. Para tetangganya juga memberikan dukungan dengan mengumpulkan guntingan balot ke panitia. Selain itu, Anis banyak mendapat suara dari teman-temanya di akbid. (FERI FERDIANSYAH)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 09 Desember 2009
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda