Memperbincangkan Nasib Bahasa Madura

Cacatan dari Seminar Pra Kongres Bahasa Madura

Bahasa Madura (BM) kembali menjadi pemikiran serius para penuturnya, apakah akan dibiarkan hilang sejalan dengan hilangnya kebanggaan penuturnya, ataukah dipertahankan? Kedua pilihan itu menjadi perbincangan dalam seminar pra kongres BM (15/11).

Kekhawatiran terhadap nasib BM tak berlebihan jika bercermin pada penelitian Unesco. Berdasarkan data Unesco, terdapat 6500 bahasa setiap tahun dan 100 bahasa di dalamnya alami proses kematian. Penyebabnya, pertama karena perkawinan antarbangsa dan suku yang menghasilkan keturunan dengan menggunakan bahasa pengantar berbeda dari bahasa ibunya sebagai langkah kompromistis.

Kedua, karena hilangnya kebanggaan dan rendahnya komitmen penuturnya. Ketiga, tidak dilakukannya pembukuan dan pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa itu. Keempat, adanya pergeseran nilai di tengah masyarakat yang mengedepankan aspek ekonomis dan praktis. Bahasa yang ditinggalkan, biasanya dianggap tak memiliki nilai ekonomis dan tidak praktis.

Empat penyebab di atas menjadi penyebab pula dalam proses kematian bahasa daerah, termasuk BM. Pada 2005, berdasarkan penelitian Pusat Bahasa Depdiknas RI, bahasa daerah berjumlah 731. Pada 2007 tinggal 726 karena 5 bahasa diantaranya mati. Keadaan ini juga terjadi dalam BM. Pada tahun 2000 (hasil penelitian B.K Purwo) penutur BM sebanyak 13 juta atau sekitar 5% dari jumlah penduduk Indonesia. Pada 2007 (hasil penelitian Pusat Bahasa) penutur BM tinggal 10 juta atau sekitar 2,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Ini berarti BM alami ancaman kepunahan serius jika tak dilakukan upaya penyelamatan.

Keinginan menyelamatkan BM dari ancaman kepunahan inilah, seminar pra kongres dilakukan. Sebab, kongres BM yang akan dilaksanakan jika tak disiapkan secara matang akan kembali menjadi ajang temu alumni para tokoh yang diwarnai perdebatan tanpa ujung dan sia-sia. Padahal kongres adalah harapan terakhir semua pihak mengakhiri polemik tentang BM selama ini.

Kongres BM akan menjadi tumpuan untuk menjadikan BM sebagai bahasa yang besar. Bahasa akan menjadi besar apabila memiliki empat ciri. Pertama, adanya pembakuan terhadap sistem dan struktur bahasa. Kedua, adanya media sebagai sarana ungkap penuturnya. Ketiga, berlangsungnya proses pengajaran di lembaga pendidikan. Keempat, adanya komitmen penuturnya untuk mengunakannya dalam komunikasi.

Merujuk pada empat ciri di atas, upaya penyelamatan BM dapat dilakukan dengan empat cara pula. Yakni membukukan dan membakukan, menguatkan tradisi menulis dan bertutur melalui media. Selain itu, mengajarkan di lembaga pendidikan dan peningkatan komitmen penuturnya.

Upaya pembakuan harus melewati proses kodifikasi (tahap pembakuan kosa kata, ejaan, dan tata bahasa). Pembakuan tersebut dicapai melalui pembukuan dengan penyusunan kamus bahasa. Bahasa yang telah mengalami proses ini menjadi bahasa standar/baku yang dilakukan dengan tulisan. Sebab standardisasi bahasa ditemukan dalam tulisan, bukan dalam tuturan.

Jika menengok ke belakang, upaya pembakuan dan pembukuan BM sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1904 yang dimulai dengan penyusunan kamus BM yang ditulis Kiliaan. Tahun 1913 Penninga dan Hendriks menerbitkan kamus BM dengan mendaftar sekitar 7000 lema kosa kata Madura (termasuk kosa kata Madura Kuno).

Langkah penyusunan kamus diikuti Safioedin (1977) dan tahun 2007 Pemkab Pamekasan bersama tim Pakem Maddu menyusun kamus BM. Upaya lain pembakuan kosa kata dilakukan tahun 2006 dengan memasukkan sejumlah kosa kata Madura ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang akan diterbitkan 2008. Tahun 2007 Balai Bahasa Surabaya (Kini Balai Bahasa Jatim) menyusun kamus Indonesia-Madura.

Pada kedua upaya terakhir, penulis menjadi ketua tim. Sementara upaya pembakuan ejaan dimulai 34 tahun silam. Yakni melalui serasehan yang dilaksanakan 28-29 Mei 1973 di Pamekasan. Hasilnya hanyalah berupa konsep mengambang yang belum menjadi kata sepakat diantara para pakar BM. Baru tahun 2002 dilakukan upaya lanjutan berupa lokakarya, "Pemantapan Ejaan Bahasa Madura" di Surabaya. Hasilnya, rumusan serasehan 1973 dapat dilaksanakan dengan beberapa penyempurnaan. Kemudian tahun 2004 diterbitkan EYD BM yang disempurnakan lagi pada 27 September 2005 dalam acara "Pemasyarakatan Pedoman EYD Bahasa Madura" yang dilaksanakan di Hotel Elmi Surabaya.

Walaupun demikian, sejumlah kritik dan perdebatan tentang EYD BM masih berlangsung yang membutktikan bahwa EYD BM belum sepenuhnya diterima sejumlah kalangan. Melihat kenyataan itu, Balai Bahasa Jatim kembali mengumpulkan para tokoh BM dalam seminar "Bahasa Madura" di Surabaya (22-23 November 2005). Dari seminar ini, upaya pembakuan ejaan masih belum sepenuhnya disepakati walaupun terdapat langkah kompromistis bahwa EYD BM 2004 dapat digunakan (sementara).

Upaya pembakuan tata bahasa telah lama dilakukan. Diantaranya, Depdikbud Jatim (1988) bekerja sama dengan IKIP Malang yang menerbitkan buku "Tata Bahasa Acuan Bahasa Madura". Untuk menyempurnakannya, tahun 2007 lalu, Balai Bahasa Jatim mengadakan acara "Lokakarya Penyusunan Tata Bahasa Madura" di Malang yang hingga hari ini masih dalam tahap revisi. Ini artinya BM belum memiliki tata bahasa baku. Kongres BM 2008 di Pamekasan sebagai diharapkan sebagai langkah akhir perdebatan tentang EYD, Tata Bahasa Madura dan keduanya dapat dibakukan. Walaupun sebenarnya polemik sejak awal dapat diatasi jika masing-masing mengedepankan misi penyelamatan dan mengubur egosentrisme masing-masing.

Kedua, terkait dengan media Mien Ahmad Rifai (Manusia Madura 2007) mengatakan keprihatinanya terhadap perkembangan media cetak berbahasa Madura. Menurutnya, tidak terdapat surat kabar atau majalah dalam bahasa Madura yang mampu bertahan lama. Menurut Haiyadi (Basar, 2006) disebutkan bahwa tahun 1981 jumlah majalah berbahasa Madura sebanyak 75 eksemplar, buletin 7 eks, selebaran 3 eks, dan buku pelajaran 47 buah.

Namun pada tahun 1990, tinggal 1 buletin yang masih eksis (Buletin Konkonan) terbitan tim Nabara Sumenep (kini juga pasang surut). Tahun 2005, terbit Buletin Pakem Maddu yang diterbitkan Pakem Maddu Pamekasan dan kini sering mengeluh karena tak banyak tulisan yang disumbangkan masyarakat (karena masyarakat tak memiliki tradisi menulis).

Dari 726 bahasa daerah yang penuturnya memiliki tradisi menulis, hanya 11 bahasa yang eksis. Adapun media elektronik yang saat ini masih peduli terhadap BM hanyalah RRI Sumenep, Karimata FM di Pamekasan dan JTV (walau sangat banyak kritikan terhadap bahasa yang digunakan). Dari acara di atas, yang cukup memprihatinkan karena pengasuhnya hampir semua para tokoh tua dan yang merespon juga dari kalangan yang sama. Tak banyak anak muda yang terlibat dalam media tersebut.

Semua menunjukkan bahwa komitmen, minat, dan kemampuan masyarakat Madura terhadap bahasanya masih rendah. Artinya menuju besarnya bahasa Madura masih butuh waktu lama, atau justru akan semakin menipis dan hilang sama sekali.

Ketiga, upaya pengajaran di lembaga pendidikan. Sejak Indonesia sebelum hingga merdeka, pengajaran BM telah dilakukan di satuan pendidikan/sekolah. Tercatat para penulis buku pelajaran BM di sekolah antara lain, Ratnawi Padmodiwirjo, Djufri, Umar Sastrodiwirdjo (orang tua Kadarisman Sastrodowirdjo), M. Dradjid, Muakmam, H. Kutwa, Moh.Tayib, dll. Dalam perkembangannya pengajaran BM di satuan pendidikan ditetapkan melalui Kep. Kandepdikbud Jatim No. 1702/104/M/94 tanggal 30 Maret 1994 tentang Kurikulum Muatan Lokal. Sejak keluarnya keputusan dimaksud, BM menjadi muatan lokal di SD dan SLTP.

Untuk jenjang SMA hanya diajarkan di SPG, SGO, dan PGA. Dalam perkembangannya, tahun 2006 Pemkab Pamekasan melalui Perda No. 13 tahun 2006 tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan, nasib BM mulai tampak menunjukkan eksistensiya karena di Pamekasan, BM harus diajarkan mulai dari TK hingga SMA. Sayangnya komitemen terhadap pengajaran BM melalui Perda hanya terdapat di Pamekasan. Sementara di tiga kabupaten lainnya di Madura belum melakukan hal yang sama.

Namun, yang menjadi kendala dalam impelemntasi Perda tersebut adalah tenaga edukatifnya. Keterbatasan tenaga edukatif disebabkan hampir tidak ada sarjana strata 1 (S1) yang berlatar belakang BM di samping kelompok-kelompok pelestari bahasa Madura yang ada saat ini terkesan eksklusif dan menutup diri dari upaya regenerasi dan di sisi lain sepi peminat. Harapan kita adalah kesuksesan para tokoh Madura saat ini sedang melakukan upaya membuka jurusan BM di perguruan tinggi walaupun kendala utama adalah tenaga edukatif karena untuk membuka jurusan atau Prodi baru mempersyaratkan tenaga dosen sarjana (S1 dan S2) yang relevan.

Keempat, terkait komitmen penutur BM yang rendah sangat dipengaruhi oleh perkembangan globalisasi modern. Perkembangan sebuah bahasa akan senantiasa mengikuti dua hal, yakni nilai ekonomis dan kedua aspek kepraktisan. Orang Madura terkesan enggan berbahasa Madura karena BM dianggap kurang memiliki nilai tawar ekonomis. Misalnya tidak menjadi pertimbangan utama untuk melamar sebuah pekerjaan tertentu atau tidak mempu mengangkat pristise penuturnya sebagai orang modern dan ilmuan.

Kedua, BM dianggap tidak praktis dan justru menyulitkan, baik dalam tindak tutur (karena diikat oleh tingkatan bahasa) maupun dalam tulisan karena memiliki fon dan fonem yang sangat banyak, apalagi dengan menggunakan sistem penulisan secara fonemis (satu bunyi dilambangkan dengan fonem berbeda). Untuk menumbuhkan komitmen ini, perlu dimulai dengan menggunakan pendekatan birokratis. Artinya penguasa daerah yang harus berdiri di pihak terdepan melakukan upaya pelestarian. Pendekatan birokratis pernah sukses dilakukan di India dalam upaya pelestarian bahasa daerah Hindi.

Hal yang sama dilakukan di Amerika untuk melestarikan bahasa daerah di Mexico. Langkah yang dilakukan kedua negara itu antara lain, menerbitkan perundang-undangan perlindungan bahasa daerah, mendirikan revisi khusus semacam lembaga yang didanai daerah yang khusus mengurusi pelestarian dan pengembangan bahasa daerah (tidak sekedar organisasi milik masyarakat).

Selain itu, berupaya mendorong masyarakat untuk meningkatkan bahasa daerah dengan menyediakan alokasi dana cukup dari pemerintah, melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dalam acara tertentu, pembakukan ejaan, memfasilitasi penelitian bahasa daerah, dan menerbitkan media berbahasa daerah dan buku yang dibuat masyarakat. Jika langkah-langkah yang dilakukan kedua negara terjadi di Madura, BM akan berkembang pesat. Selain itu kongres BM akan ada wujudnya.

Penulis: Akhmad Zaini, Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia Unira dan Sekretaris HPBI Pamekasan

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 25 Nov 2007

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda