Pondok Pesantren Darmaniyah
Desa Bilapora Rebba

Pendirinya Ikut Berjuang Melawan Penjajah

Memertahankan hasil kemajuan lama yang baik, dan mengambil kemajuan baru yang lebih baik. Demikianlah peran yang dijalankan Pondok Pesantren (Ponpes) Darmaniyah. Sebagai lembaga keagamaan, pesantren di Desa Bilapora Rebba, Kecamatan Lenteng ini tidak pernah berhenti menyuarakan semangat amar makruf nahi mungkar.

Dengan semangat perjuangan meninggikan kalimat Allah (li i'laa kalimatillah), pada 1940, KH Zainal Abidin mendirikan Ponpes Darmaniyah. Menurut informasi, pesantren ini termasuk salah satu pesantren tertua di wilayah Lenteng. Tepatnya di Kampung Darman, Desa Bilaporah Rebba, Kecamatan Lenteng, Sumenep.

Kiai Achmad Abbasi, cucu KH Zainal Abidin, menjelaskan, sebelum mendirikan pesantren, pengasuh meminta restu kepada sejumlah tokoh masyarakat di desa itu. Bahkan, Kiai Zainal minta restu kepada sejumlah gurunya di dalam ataupun di luar Madura. "Hal itu dilakukan kakek agar menjadi pesantren yang mampu berdiri kokoh dan bermanfaat bagi semua umat," ujarnya.

Menurut Ra Abbasi -Sapaan akrab Kiai Achmad Abbasi, Desa Darman termasuk salah satu areal yang pernah di datangi penjajah. Bahkan, kisahnya, suatu ketika terjadi kontak fisik antara penjajah dengan masyarakat. Dan Kiai Zainal sempat menjadi incaran antek-antek penjajah. Sebab, pendiri pesantren Darmaniyah ini dinilai selalu melawan penjajah.

Namun, beliau memang termasuk salah seorang pejuang yang gigih. Meski sering diteror, Kiai Zainal tetap menyerukan untuk melawan penjajah. "Kakek menjadikan pesantren ini untuk menggembleng kader pejuang," kenangnya.

Tahun demi tahun, setelah Kiai Zainal wafat, sekitar 1980, wajah pesantren mengalami perubahan. Sehingga membuat pesantren ini semakin dikenal masyarakat.

Jika awalnya pesantren Darmaniyah hanya terfokus pada penguasaan ilmu agama, tahun berikutnya memasukkan pengetahuan ilmu umum. Pada 1990, pesantren ini sudah mempunyai lembaga pendidikan dari semua tingkatan. Mulai tingkat Raudlatul Adfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Masdrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Sedangkan jumlah santri mencapai 450 orang putra dan putri.

Ra Abbasi menegaskan, lembaga yang didirikan menjadi media belajar bagi semua santri. Di lembaga itulah mereka bisa berproses. Dengan demikian, harapan menciptakan generasi berilmu, beriman, berpengalaman luas tercapai. "Kami ingin semua santri menjadi generasi yang ulul albab," imbuhnya.

Dia menambahkan, sejak Kiai Zainal wafat, pengelolaan pesantren ditangani putra dan menantunya. Yaitu, KH Zammil, KH Thoyyin, KH Basyir AS, Kiai Imam Syafie. Selain itu KH Fathoni, Kiai Hamdi Hamid, Kiai Burhan, Kiai Taifur, Kiai Raji, Ny Hj, Marwa, Ny Hj. Riyadlah, Ny Hj. Khalifah, dan Ny. Hj. Luthfiyah. (ZAITURRAHIEM)

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 16 Agustus 2008

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda