Batik Tanjung Bumi di Tengah Gempuran

Pertahankan Batik Gentongan, Saingi dengan Batik Thorthor

Ironis ketika batik masuk dalam warisan budaya dunia, batik cap dan printing dengan teknologi modern merambah. Termasuk bersaing dengan batik tulis di Kecamatan Tanjung Bumi. Malah, kemarin Departemen Perindustrian mengucurkan bantuan alat batik printing ke Tanjung Bumi. Bagaimana dengan batik tulis tradisional?

PEMANDANGAN ibu-ibu sedang membatik tampak di beberapa rumah di Desa Telaga Biru, Kecamatan Tanjung Bumi. Hal yang sama juga terlihat di dua desa lainnya, Tanjung Bumi dan Paseser. Delapan desa lain di Kecamatan Tanjung Bumi juga dikenal dengan sentra batik. Berdasarkan data, seribu lebih warga Tanjung Bumi bisa membatik.

Setelah beberapa kali menghampiri para perajin batik tradisional, koran ini akhirnya sampai di rumah Achmadi. Sebuah rumah yang tampak asri tepat di bibir pantai. Dengan menggunakan nama UD Fathor Jaya, Achmadi menekuni produksi batik gentongan yang sangat terkenal.

Sembari menunggu kehadiran si pengusaha muda itu, koran ini melihat ruang produksi batik miliknya. Sebuah bangunan seperti dapur terbuat dari anyaman bambu berada tepat di belakang rumahnya. Di sana segala peralatan batik tradisional ada. Juga ada beberapa kain batik setengah jadi (masih dalam tahap pewarnaan) terserak tak beraturan.

Setelah yang ditunggu datang, Acmadi mengajak koran ini melihat dari dekat koleksi batik tulisnya. Dia mengaku lebih banyak memroduksi batik yang pewarnaannya menggunakan genthongan. Meski pengerjaannya lebih rumit dan butuh waktu lama, Acmadi mengaku ada kepuasaan tersendiri jika menghasilkan batik genhtongan ini.

"Memang yang banyak dicari para kolektor batik genthongan dan batik Tanjung Bumi yang umurnya sudah lama. Harganya juga sangat mahal," ujarnya.

Namun begitu, Acmadi akan tetap memroduksi batik tulis dengan harga murah. Batik yang tampak kasar permukaannya atau dikenal dengan batik thorthor dia produksi karena tingginya permintaan pasar. Batik yang bisa diselesaikan dalam jangka waktu sehari itu dijual dengan harga Rp 60 ribu ke pasaran.

"Biasanya, karena permintaan pasar atau pesanan dalam jumlah banyak yang minta batik jenis ini," ungkapnya.

Namun, permintaan batik dengan harga murah kini mulai disaingi batik cap. Dengan adanya alat bantu, para pembatik tidak perlu lagi bersusah payah melukis kain putih atau membatik. Bahkan, dengan teknologi terbaru dalam produksi batik yang disebut printing, dalam hitungan menit mampu menghasilkan puluhan meter kain batik. Nah, dua jenis produksi batik ini kini sudah merambah Tanjung Bumi.

Hal ini diakui Achmadi. Bahkan, dia pernah mencoba batik cap. Namun, dia memastikan, kualitas yang dihasilkan tetap jauh dari harapan. Perbedaan antara batik tulis dengan batik cap sangat kentara. Begitu pula hasil produksi batik printing yang banyak dilakukan pengusaha Surabaya, Solo, dan Jakarta. "Sebenarnya batik-batik murah seperti ini yang merusak citra budaya batik kita," keluhnya.

Hal yang sama disampaikan Wuri Alim. Pemilik Zulva Batik ini mengaku tidak terlalu tertarik dengan batik cap dan batik printing. Alasannya, pangsa pasar batik cap dan printing hanya pada kalangan menengah ke bawah yang mencari batik-batik murah. Wuri menyatakan tetap bertahan dengan batik tulis.

Namun, kekhawatiran terganggunya para perajin batik tradisional dengan masuknya mesin batik, tidak dapat dia pungkiri. Sebab, sudah ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mencampur adukan batik tulis, cap, dan printing. Sehingga, konsumen yang tidak paham banyak tertipu dengan membeli batik cap dan batik printing dengan harga semahal batik tulis.

"Jadi, sudah saatnya dibutuhkan aturan yang melindungi kita para perajin batik tulis. Sehingga, teknologi modern tidak menggangu para pebatik tradisional," harap Wuri. (AHMAD MUSTAIN SALEH)

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 09 September 2009

Label: